"Mengapa uang penjualan berkurang? Sedangkan lauk hampir habis ludes," Ibu mertuaku terlihat masih sangat bingung dengan pendapatannya hari ini.
Selama ini, aku dan ibu mertua yang menangani kantin, namun tidak pernah ia mengeluh seperti itu.
Ku lihat ia melirik padaku, namun aku bersikap tak acuh, sebab aku merasa jika bukan aku yang mengambilnya, maka aku bersikap masa bodoh.
Ku bereskan piring kotor, dan membersihkan sisanya, sebab kami akan pulang dan kakak ipar tertuaku yang akan menggantikan kami bersama pembayan ku yang bernama Fina, istri dari iparku yang nomor dua untuk menggantikan shift malam.
Melihat aku tak acuh, ibu mertuaku terlihat geram namun aku ingin tetap menjaga kewarasanku dengan bersikap tak perduli.
Ibu mertuaku mengambil uang penjualan dari dalam laci, lalu ia memberiku 35 ribu rupiah untuk keringatku yang sedari subuh sudah terbangun dan berkutat dengan waktu.
"Terimakasih, Bu," ucapku padanya.
"Heem," jawabnya dengan malas. Sepertinya ia menuduhku mencuri karena saat ia menghitung uang penjualan, aku orang yang dekat dengan laci karena masih makan siang yang sudah terlalu telat, namun aku masih berusaha untuk sabar.
Aku menerima uang itu dengan rasa sabar, sebab setidaknya aku tak lagi memikirkan sewa rumah dan makanku sudah ditanggung bersama anakku.
Saat bersamaan, aku melihat sang ibu mertua memberikan uang selembar seratus ribu pada pembayan ku Wita yang saat ini baru saja keluar dari kamar mandi sejak tadi entah apa yang dikerjakannya didalam sana.
Seeeeerr....
Aliran darahku berdesir kencang menuju jantung. Rasanya sakit, ya, tentu saja. Sebab aku melihatnya secara langsung dan ini sangat manusiawi sebab ibu mertuaku membedakan pemberian upahku dan upah pada Wita.
Jika diungkit, aku yang sedari subuh mengantarnya ke pasar dan ikut membantu memasak dan juga melayani para pembeli, lalu mengapa harus dibedakan? Apakah ia benar-benar menuduhku mencuri?
Aku menarik nafasku dengan panjang, lalu menghelanya dengan berat dan mencoba bersabar, hanya itu yang aku mampu.
Ku lihat Fina sudah datang bersama kakak ipar tertuaku, aku mencoba kembali menata hatiku yang sangat sakit, dan berusaha ikhlas, mungkin Sang Rabb hanya memberiku rezeki sebatas ini saja, dan aku harus bersabar.
"Gimana An, ramai hari ini?" tanya pembayanku-Fina.
Aku menganggukkan kepalaku, dan memilih keluar untuk pergi dari kantin menuju mobil pick up diparkiran dan rasanya ingin segera merebahkan tubuhku yang terasa penat.
Dari kejauhan tampak Wita dan juga ibu mertuaku berjalan beriringan sembari bercengkrama ria dan terihat begitu sangat mesra antara menantu dan mertua, aku tak begitu perduli, toh aku adalah orang yang tak pandai bermuka dua apalagi bermanis-manis dihadapan ibu mertuaku.
Aku merasa mengantuk, anak lelakiku yang berusia 5 tahun berjalan bersama suamiku menuju mobil, dan ia memilih duduk didepan bersama ayahnya.
Ibu mertuaku masuk dibagian depan mobil, dan ia melihat puteraku ada disana. "Turun sana! Duduk dibelakang saja dengan ibumu, karena Indra yang akan duduk didepan!" hardik ibu mertuaku pada Arsyad anak lelakiku.
Seketika anakku berwajah sendu, aku yang mendengarnya sangat sakit saat buah hatiku dihardik seperti itu.
"Biarlah Arsyad didepan, Bu. Toh masih cukup untuk Indra dan dia, karena mereka kecil-kecil," bela suamiku pada anaknya.
Ya, itulah suamiku, ia akan bersikap tegas pada siapa saja yang mencoba menghardik anaknya, namun satu sikapnya yang membuat aku merasa kesal, ia sangat pemalas dalam bekerja.
Mendengar suamiku marah, akhirnya ibu mertuaku tak dapat membantah, sebab suamiku suka bersikap ngambekkan dan jika sudah begitu, maka ia tidak mau lagi untuk mengantarkan kami.
Akhirny ibu mertuaku mengalah, dan membiarkan Arsyad duduk didepan bersamanya.
Kini aku dan Wita yang duduk dibelakang dibak mobil bersama panci dan perlengkapan lainnya.
Aku menatapnya sekilas, namun kembali mengalihkan perhatianku, sebab aku sangat lelah dan letih, aku mencoba memejamkan mataku untuk menghilangkan rasa penat yang ku alami. Sialnya aku tak dapat tidur, meski ku paksa memejamkannya.
Ku rasakan mobil melaju membelah jalanan. Ku merasakan guncangan badan mobil saat tanpa sengaja suamiku melindas kaleng minuman yang ada dijalanan.
Saat bersamaan, mataku terbuka dan tanpa ku sengaja, aku melihat Wita sedang menghitung uang didalam tas sandangnya yang kupastikan jumlahnya cukup banyak.
Aku terdiam sejenak, lalu menutup mataku kembali dan berpura-pura tidak melihat apa yang dilakukan oleh pembayanku. Namun rasa penasaran menggelitik hatiku, sebab dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu, karena suaminya juga pengangguran seperti suamiku, dan itu hal yang mustahil yang membuat ia banyak uang.
Wita baru seminggu ini kembali ke rumah mertuaku, sebab selama setahun ini ia dan suaminya lari ke kampung halaman orangtuanya, sebab iparku yang paling bungsu itu terlibat kasus pencurian dan menjadi buronan polisi, sehingga membuat mereka mengungsi.
Setelah ibu mertuaku mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk mengurusnya, maka ia dapat kembali ke rumah ibu mertuaku.
Aku merasa heran, mengapa iparku yang bungsu itu suka sekali mencuri, jika dilihat keluarga mereka tergolong yang kaya dikampung ini, sebab ayah mertuaku memiliki kebun kelapa sawit yang cukup luas, dan itu dapat mencukupi kehidupan keluarganya, namun kemungkinan adik iparku itu memiliki jiwa klepto.
Aku mendengar Wita mengancingkan tas sandangnya. Sepertinya ia sudah selesai menghitung uang yang kupastikan sekitar kurang lebih satu juta karena uang tersebut dalam lembaran seratus ribu dan pecahan 50 ribu.
Ah, entahlah, hanya ia dan Tuhan-Nya yang tau apa yang saat ini sedang ia sembunyikan. Aku tidak ingin terlalu ikut campur, selagi ibu mertuaku tidak menyebut namaku yang mencuri uang itu, maka aku tidak ambil peduli.
Tanpa terasa, kami tiba dirumah. Aku bergegas mengemasi barang-barang yang ada didalam bak pick up dan membawanya masuk ke dalam rumah. Lalu aku pergi mandi dan juga memandikan putera semata wayangku dan bersiap untuk beristirahat.
Malam semakin beranjak. Suamiku datang memasuki kamar. "An, minta lima belas ribu untuk beli rokok!" pintanya dengan tanpa merasa bersalah.
"Tidak ada, aku hanya diberi sedikit oleh ibumu," jawabku sembari membalikkan tubuhku dan menidurkan puteraku.
"Pelit banget, sepuluh ribu saja pun jadi," rengeknya lagi.
Aku merasa sangat kesal, lalu ku ambil selembar uang lima ribu rupiah dan ku berikan padanya. "Minta pada ibumu, atau setidaknya Kamu bekerja, Mas. Biar jangan taunya meminta padaku saja!" omelku dengan kesal.
Johan hanya diam saja, jika aku sudah mengomel, maka ia tak berani membantah, dan ia mengambil uang lima ribu tersebut, lalu beranjak pergi untuk membeli rokok dua batang dan melepasi dahaganya.
Aku sangat heran dengan anak-anak dari mertuaku yang semuanya laki-laki, sangat malas bekerja dan yang ku dengar dari para tetangga, jika mereka itu semua dulunya sangat dimanja dan semua permintaan mereka dituruti.
Ku melirik suamiku yang keluar dari kamar dan ini sangat begitu mengesalkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Neulis Saja
next
2024-09-08
0
Ira Sulastri
Ana lebih baik kamu cari kerjaan lain misal punya hp kerja online gitu, untuk masalah bantuin keluarga suami kamu lebih minta untuk bantu masak dirumah saja atau sekali2 ga usah ikut ke kantin coba mertua kamu ada ngeluh kehilangan uang LG ga dan untuk suami sampah kamu tinggalkan saja. Mmg dr awal kenal ga tau kl suami kamu itu selain pemalas jg pengangguran, perkenalannya bagaimana
2024-06-24
0
Ira Sulastri
Ana, kl mmg mertua bersikap pilih kasih lebih baik kamu sekali2 menguji dg ga ikut ke kantin. Cukup masak dirumah aja, dan lihat ada kehilangan LG ga
Untuk suami kamu itu mmg dr awal ga tau kl tuh orang pemalas dan pengangguran, buang aja suami seperti itu
2024-06-24
0