"Berhenti di tempat! Letakkan tangan di atas kepala! Jangan ada yang bergerak!"
"Jangan coba melarikan diri. Atau kami tembak!" seru salah seorang polisi dengan menggenggam alat pengeras suara di atas bibir.
Puluhan polisi telah mengepung area itu. Sebagian membidik di balik mobil, sebagian lain mendekat lengkap dengan senjata pelumpuh berwarna hitam di tangan.
Para preman semakin kelimpungan dibuatnya. Sebagian preman berusaha kabur dan melawan.
Sinar laser merah dari snapgun yang terpantul di titik-titik jantung para preman menyempurnakan suasana tegang di sore itu.
Sementara mereka yang melawan terpaksa dilumpuhkan dengan tembakan yang tepat mengenai pergelangan betis.
Sedang preman lainnya pasrah, hanya mengangkat tangan dengan wajah lesu.
Para polisi sibuk meringkus para perampok yang belum diketahui dalang dibalik aksi mereka.
Di satu sisi, tampak Boby yang berlari dari jarak dua puluh meter mendekat ke arah Arya.
Betapa terkejutnya ia melihat sang bos CEO, pendiri sekaligus pemilik puluhan cabang industri terbesar dibeberapa kota itu tergeletak bagai kriminal, babak belur dihajar preman.
Segera ia mengangkat kepala sang bos. Meletakkannya di pangkuan. Tak luput di iringi oleh beberapa tim medis yang siap dengan peralatan pertolongan selama perjalanan.
"Arya, Arya? Sadar Arya!" Ditepuk-tepuknya pipi Arya agar pria yang didekapnya itu tersadar. "Aduuh, gimana ceritanya sih lu bisa sampai berakhir begini?" ungkapnya. Beberapa tim medis pun berusaha menolong sang CEO, berharap, saat itu ia masih bisa sadarkan diri.
"Maaf, Bapak, Boby. Sebaiknya, Pak Arya segera dibawa ke Rumah Sakit. Agar bisa mendapatkan penanganan lebih intensif!" saran beberapa dokter pada Boby.
"Tapi ...."
"Pak, ini demi keselamatan pak Arya!"
"Baiklah!"
Karena tak dapat berbuat apa-apa, Boby pun hanya bisa mengiyakan, menuruti saran mereka, ia percayakan semua pada tim medis.
"Baik! Saya percayakan semua pada Dokter! Tolong berikan penanganan yang terbaik!" pinta Boby.
"Baik, Pak. Kami akan lakukan yang terbaik semampu kami!"
Boby membalas dengan anggukan.
Tak ingin memperlambat waktu, seketika itu juga para tim medis langsung mengangkat tubuh malang Arya menggunakan tandu, memasukkannya ke dalam mobil ambulance khusus. Dan langsung melaju menuju Rumah Sakit.
"Pak Boby. Saya akan segera berangkat. Percayakan saja semua pada tim kami!" ungkap salah satu dokter pada Boby.
"Baik! Mohon lakukan yang terbaik. Sementara ini saya masih belum bisa menemani pak Arya. Mohon untuk terus memantau kondisi beliau!"
"Siap, Pak!" sahutnya yang kemudian masuk ke mobil. Menyusul ambulance yang sudah berangkat terlebih dulu. Boby hanya memandangi kepergian sang dokter hingga menghilang di kejauhan lima puluh meter.
Sementara itu, dari arah belakang tampak beberapa tim medis yang juga tengah sibuk mengangkat seseorang di atas tandu, yang tak lain adalah Alona, dan memasukkannya ke dalam ambulance.
Hal itu membuat Boby penasaran, siapa orang itu? Apakah ia juga salah satu korban perampokan dari para preman yang menyerang Arya? Jika benar, sangat kebetulan sekali kejadian yang sama di waktu yang bersamaan?
Tak ingin larut dengan rasa penasaran, bergegas Boby melangkah menuju ambulance yang mendadak di padati oleh tim medis.
Belum juga Boby bertanya, ambulance itu terlebih dulu pergi bahkan sebelum Boby beranjak lebih dekat.
"Ah, mungkin bukan siapa-siapa? cuma orang biasa yang juga lagi apes!" gumam Boby.
Kembali ia mendatangi para polisi yang berhasil meringkus kesepuluh preman tanpa lepas satupun. Meski beberapa dari mereka harus mengalami luka tembakan di betis akibat mencoba kabur.
"Bagaimana? Apa sudah diketahui dalang di balik aksi rampok mereka?" tanya Boby pada ketua satpol.
"Saat ini, mereka semua masih bungkam! Tapi, kami akan terus usut kasus ini hingga tuntas!"
"Baik, saya tunggu kabar dari markas. Jangan beri mereka ampun, sampai mereka mengungkapkan siapa dalang di balik pemimpi mereka!"
"Baik!
Setelah para satpol pergi, bergegas Boby menuju Rumah Sakit yang menangani sang bos CEO.
Dengan mengendarai mercy yang kecepatan nyaris delapan puluh perkilo meter, Boby akhirnya tiba di Rumah sakit dengan waktu cukup singkat.
Dan langsung berlari sepanjang koridor menuju ruang VIP tempat Arya di rawat.
Selang infus mengalir dan terpasang di pergelangan Arya, dengan sedikit perban di bagian kepala. Meski menggunakan baju pasien, tak mengurangi karisma yang terlanjur men'cap pada sang bos CEO.
Boby masih termangu saat pertama masuk ke dalam ruang VIP, berdiri di depan pintu yang otomatis tertutup rapat, menatap lekat sang bos, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Perlahan ia melangkah, mendekat ke arah Arya.
Ditariknya satu buah kursi yang memang disediakan untuk para pembesuk. Duduk dan merapatkan lengan di atas ranjang stainlees.
"Ar, gimana ceritanya sih lu sampai babak belur begini?" ungkapnya pada pria yang terbaring lemah di hadapan. Pria yang tak mungkin menjawab ucapannya, tapi tetap di ajak ngobrol oleh Boby.
"Ar, lu cepat pulih dong! Gimana caranya gue ngurus perusahaan tanpa elo, bos gue!" gumamnya.
"Ar, maafin gue, ini semua karena kesalahan gue! Kalo bukan karena bujukan gue untuk meliburkan semua karyawan, semua ini pasti gak akan terjadi sama elo! Hikz hikzz!" ungkapnya, menundukkan kepala, menyembunyikan wajah di balik lengan yang ia sanggahkan pada ranjang.
"Lebay banget sih, loe! Gue belum mati kalii! Gue cuma tidur!"
Suara pria yang berbicara lantang disertai sedikit tawa itu mengagetkan Boby. Segera diangkatnya kepala, dan langsung mengusap air mata yang terlanjur merayap di pipi.
"Kampret! Nyesel gue udah ngeluarin air mata buat elo!"
"Hahaha! Ngapain juga lu pake mewek! Pake acara minta maaf segala lagi, kayak cewek aja!"
"Sialan! Gue begini karena kn khawatir sama elo!" ungkapnya. "Nih, bubur buat elo! Makan sendiri!" Disodorkannya bubur hangat yang terletak di atas meja. Segera Boby beranjak setelah meletakkan sendok di samping bubur hangat.
"Eh eh, tunggu, Bob! Waduuh, lu jangan tinggalin gue dong! Tangan gue masih sakit nih! Gimana caranya gue makan?"
"Bod*h amat, mang gue pikirin! Lu suap aja sendiri, manja amat!" ungkapnya. "Oh iya! Kalo gak bisa pakai tangan, lu pake aja kaki!"
"Boby, Boby!! Wah parah lu! Tega lu ya sama bos sendiri!"
"Biarin! Daaagh! Gue mau pergi!"
Arya hanya bisa pasrah dengan wajah ditekuk menatap kepergian sang asisten setianya. Ia tahu persis kalau Boby tak bersungguh-sungguh mengabaikannya. Pria itu hanya malu. Malu tertangkap basah menangisi bosnya.
Sepintas, senyum bahagia terkembang di bibir Arya karena memiliki sahabat setia di sisinya.
Kembali Arya merebahkan tubuhnya yang terasa remuk di atas matras. Rasa yang teramat sakit seperti bekas terjatuh dari jurang dengan ketinggian tiga puluh meter, lalu terhempas di atas tumpukan ranting. Remuk rebam, ngilu di setiap inci tulang punggungnya.
Dipejamkannya netra sejenak, menikmati kedamaian. Hening. Tanpa suara bising dari si ngeyel. Tenang karena jauh dari penderitaan yang selalu ia dapatkan setiap bertemu si pembuat onar.
"Ah, seenggaknya, di RS ini gue gak ketemu dia!" gumamnya.
Baru beberapa saat ia memejamkan mata, seketika suara bising dari luar ruangan mengusik ketenangan Arya.
"Apaan sih itu, ribut-ribut!" serunya.
Seketika seorang perawat masuk membawa beberapa obat dan antibiotik untuk disuntikkan pada infusan di tangan Arya. Dengan senyum ramah ia berbicara.
"Pak, maaf, saya akan menyuntikkan obat antibiotik pada selang infus Bapak!"
"Ya!" sahut Arya.
Netra Arya terfokus pada suara bising di depan. Tak dihiraukannya si suster yang terus berbicara bagai burung murai. Entah arahan apa yang ia sampaikan, Arya hanya menanggapinya dengan deheman.
"Oke, selesai. Saya tinggal dulu ya, Pak. Kalau ada yang diperlukan, hubungi saja kami!" tuturnya dengan senyum ramah.
"Hmm!" Kembali Arya menyahut dengan deheman.
Sekitar dua langkah si suster beranjak, terbesit dalam pikiran Arya untuk bertanya padanya.
"Ess ... Suster, tunggu sebentar!"
"Ya, Pak. Ada yang diperlukan lagi?"
"Iya, saya mau tanya, apa anda tahu suara berisik apa di depan sana?"
"Oh itu?" Si suster langsung menggaruk kepala dengan tawa kecil. Membuat mata sipitnya menghilang. "Dia, pasien salah satu korban yang kami temukan tepat di tempat kejadian saat kami menemukan anda, Pak!"
"Oh ya??"
"Ah, jangan di ambil pusing, Pak. Mungkin saja dia orang gila!" sambung si suster.
"Ahahaa, iya, mungkin saja dia orang gila! Tapi, kenapa dia berisik begitu!"
"Kami kurang tahu, sejak sadar dia terus keluyuran, katanya ingin mencari temannya. Kami sampai kewalahan mengurusinya, dia benar-benar tak menurut! Katanya, ia tak akan berhenti mencari sampai menemukan teman yang sudah menyelamatkannya."
"Lalu, apa yang kalian katakan padanya!"
"Kami sudah jelaskan, bahwa tak ada satu pun teman yang menyelamatkannya. Kecuali tim satpol yang dikirim oleh pak Boby. Tapi dia tetap ngeyel. Jadi kami mengira, dia sakit jiwa."
"Jadi ... dia berisik di luar itu, karena mencari temannya??"
"Iya, Pak. Tapi gak mungkinkan, orang yang dia maksud adalah Pak Arya?" Karena cuma Pak Arya yang saat itu berada di sana!"
"Ahaha, ya tentu saja! Orang yang dia cari bukan aku!" ungkap Arya dengan tawa kecut. "Oh iya, jangan biarkan dia masuk ke ruangan ini!"
"Siap, Pak! Apa ada yang diperlukan lagi?"
"Tidak ada!"
"Baik, kalau begitu, saya tinggal ya, Pak."
"Ya, terima kasih!"
"Sama-sama, Pak!"
Arya menatap punggung si perawat berseragam putih hingga menghilang di balik pintu otomatis.
"Fouuuh!" Arya menghela napas. Lega.
Kriiieet!
Baaam!!
Seketika Boby kembali ke dalam ruang VIP dengan kondisi tergesa-gesa. Ditutupnya daun pintu otomatis secara paksa hingga benda buram itu menimbulkan suara ledum.
Lalu dengan napas tersengal ia bersandar tepat di depan pintu.
"Lu kenapa, Bob?" tanya Arya dengan tawa geli. "Kayak orang lagi kepergok berbuat mesum loe! Hahaha!" Kali ini tawanya membahana.
"Mesum, mesum! Apaan! Loe dicari Alona tuh di depan!" gertaknya.
Bruuup! Arya keselek.
"A-a-apa??"
"Udah kayak orang gila aja dia, sampai di cegah security. Emang eror ya otaknya tuh bocah!" keluhnya.
"Emang kenapa sama dia?"
"Dia ketemu gue, dan maksa gue buat nemuin teman penyelamatnya!"
Mendadak wajah Arya berubah pucat. Sedang mulutnya bungkam seribu bahasa.
"Lu kenapa diam??" tanya Boby sambil mengerutkan dahi. "Lu ada urusan apa sih sama dia? Lagian, gimana ceritanya dia bisa tau loe ada di sini??"
"Mana gue tau??"
"Jangan bilang, ini masalah jaket kemarin. Lu mau bilang ke dia kalo pemilik jaket itu, gue?? Iyaa kan?? Biar gue dibilang pangeran penyelamatnya gitu?"
1
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Raka Pg
msih dlm posisi lieur nanggapinya....
2021-02-07
1
Lidya carlton
ngomong2 dompetnya Aluna kapan di balikin pak bos
2021-02-04
1
Devan Dhina
lnjy
2021-01-20
0