Pagi itu cuaca sedikit mendung. Alona bangun dengan rasa malas menggerayungi pikiran. Disibaknya selimut yang menutupi tubuh dari dinginnya AC.
Lalu berjalan gontai menuju toilet, dan berhenti tepat di depan sebuah cermin wastafel.
Bulatan hitam yang disebabkan lunturnya eyeliner dan mascara masih melekat di seputar area mata.
Dengan rambut yang juga teracak, Alona menatap netranya yang sembab karena menangis satu malam suntuk.
"Apa yang bakal terjadi sama gue hari ini?" gumamnya sambil menatap pantulan diri.
"Si mesum itu? Apa yang dia rencanakan?" Alona terus menggerutu. "Oh, Tuhaaan! Mengapa kau kirimkan anugerah terindah ini untuk makhluk itu! Huaaaa!" Kali ini ia menangis. Membuat mata sembabnya semakin menyipit.
Pria itu sudah memberinya tempo untuk membayar hutang hingga pagi menjelang. Jika tidak, maka ia harus membuat penjanjian kontrak. Sejenak Alona terdiam. Mendadak ia teringat, ada satu hal penting yang sudah dilewatkan pria itu.
"Bukannya dia gak tau alamat gue! Dia bahkan gak nanya sama gue! Trus, dia juga gak punya nomor gue!" Alona menepuk jidatnya. Sesaat ia termangu. "Kenapa gue baru nyadar sih! Trus, kalo tau gini, ngapain gue nangis coba! Hahaha, yeaaay gue selamaaat!" Gadis kecil itu kegirangan, sambil bersiul, ia melanjutkan niatnya berhiatus dalam bilik yang sempat tertunda.
Selesai mandi, bergegas ia mengenakan pakaian. Setelan hoodie dan hotpant sudah melekat di tubuh. Tak luput mengenakan sepatu boot yang juga penting untuk melengkapi penampilan imut Alona.
Terakhir, dikaitkannya tali tas mini di atas bahu. Sambil memasukkan ponsel yang ditemukan Jesica tadi malam ke dalam tas.
"Beruntungnya gue punya temen sebaik Jesica. Bener-bener gak ada duanya!" ungkapnya di hadapan cermin. Di tatapnya benda pemantul diri itu. Memperhatikan setiap detail make up yang ia pakai. "Perfect!" ujarnya yang kemudian beranjak keluar dari kamar. Lalu berjalan di area teras hotel.
"Hari ini gue harus bisa senang-senang. Karena liburan kan butuh hiburan!" ungkapnya sambil terus melangkah. "Oh iya, emang gue bisa ke mana? Kan gue gak punya duit!" Gadis itu mendadak suntuk. Lalu berjongkok di pinggir teras dengan pandangan menunduk.
Sesekali ia mengangkat kepala, berharap keajaiban datang.
Di seberang hotel, tampak seorang pria berdiri dengan posisi bersandar pada tiang. Pria itu menatap ke arah Alona. Dan berhasil menciptakan khayalan di benak sang gadis.
Perlahan wajah pria itu berubah bak seorang pangeran. Tersenyum ramah dan melambai. Membuat Alona tersenyum dan semakin larut dalam lamunan.
Namun, lambat laun, senyum mengembang itu mulai berubah. Semakin lama semakin menyeramkan.
Lalu, pekikan seseorang yang memanggil namanya, berhasil menghentikan lamunan Alona.
"Woy! Alona!" hardiknya dari seberang.
Kini wajah sang pria tak lagi tampak seperti pangeran. Melainkan, seperti seorang depkolektor yang garang bin ganas.
"Ngapain lu?" tanyanya lantang, agar terdengar oleh si gadis.
Alona terperanjat.
"I-itu 'kan, si mesum! Kok bisa ada di sana!" Ia kelimpungan. "Gawat! Jangan-jangan dia sudah tau alamat hotel gue!" Spontan Alona berlari sekencang mungkin, berusaha menghindar dari si penagih.
"Woy! Mau ke mana loe? Tunggu gue!" teriaknya yang juga tampak berlari mengejar Alona.
"Gawat! Ngapain coba dia pake ngejar gue! Dasar rentenir!" keluh Alona yang terus berlari sambil sesekali menoleh ke belakang.
"Taxiiii!" panggilnya sesaat setelah sebuah mobil argo melintas di dekatnya. Dan langsung berhenti tepat di hadapan Alona.
"Mau ke mana, Neng?" tanya si supir.
Alona tak menjawab, buru-buru ia masuk ke dalam, sambil terus memantau ke belakang. "Jalan aja dulu, Pak. Ntar aja saya kasih tau arahnya!" sahut Alona gelabakan.
Gadis itu terus menatap ke belakang. Tampak Arya yang semakin tertinggal jauh. Pria itu berhenti mengejar. Terlihat sebelah tangannya menggaruk kepala.
"Fouuuh!" Alona menghela napas. Sedetik ia merasa lega karena terlepas dari jeratan rentenir. Di pejamkannya mata sesaat. "Apes-apes!" serunya pelan.
Sesekali di palingkannya pandangan keluar jendela. Hanya pemandangan lalu lintas yang terlihat. Kembali pandangan ia fokuskan ke depan. Dan betapa terkejutnya ia melihat si supir yang terus menatapnya memalui kaca depan.
"Ada apa, Om? Kok segitunya melihat gue?" tanya Alona heran. Memang kalau dilihat-lihat, si Om supir itu tak tampak asing. Seperti pernah bertemu, tapi entah di mana.
"Om, kok mukanya gak asing ya?" tanya Alona.
"Iya, Neng. Kan saya memang habis ngantarin Eneng kemarin. Yang bayarin cowok yang ngejar Eneng tadi!" Mendadak Alona terbelalak. Benar-benar suatu kebetulan yang tak disengaja.
"Oh, Iya. Om yang antar saya kemarin. Hehehe. Maafin kelakuan aye yang kemarin ya, Om."
"Gakpapa, Neng. Tapi, harusnya Neng itu jangan kabur!"
"Ka-kabur?" Alona kaget.
Maksudnya apa coba. Apa mungkin si om supir tau semua tentang hutangnya sama si mesum? Apa mungkin, om supir ini temannya si mesum?
Berbagai spekulasi menggerayungi pikiran Alona.
"Loh, bukannya, Eneng ini kabur dari Rumah Sakit ya!"
Alona semakin kaget. "Ta-tapi, saya gak sakit loh, Om. Kok dibilang kabur dari Rumah Sakit, sih?"
"Loh, saya kirain, Eneng ini ada gangguan jiwa!" ungkap si om supir dengan nada datar yang membuat darah panas mengalir ke ubun-ubun Alona.
"Sembarangan! Kata siapa gue sakit jiwa! Parah bener nih otaknya paklek tukang sopir!"
"Eh, Neng. Mulutnya di jaga, masih kecil juga! Ngomong udah kasar gitu."
"Eh! Ngatain gue anak kecil lagi! Badan gue emang kecil. Tapi bukan berarti gue anak kecil!"
"Ahh! Susah deh ngomong sama anak kecil!" tutur si supir yang langsung mengesampingkan kendaraannya. "Turun sini aja!" perintahnya.
"Oke, gue turun! Ogah juga gue naik taxi, Om. Lagian juga, gue kagak punya duit!"
"Wah, kurang ajar! Berani nyetopin taxi tapi gak bawa duit! Beruntung loe cuma ketemu gue, Neng. Kalo ketemu sama supir lain, bisa brabe loe!" hardik si supir yang langsung kembali menyalakan mesin.
Alona membalas dengan menjulurkan lidah. Meledek layaknya tingkah anak kecil.
"Dasar Bocil!" keluh si supir yang langsung berlalu.
Wanita malang itu berjalan menuju alun-alun kota. Berbagai jajanan tampak melambai padanya. Tapi apalah daya, jangankan duit, identitas saja ia tak punya. Semua raib, hilang bersama dompet bagai ditelan bumi.
Alona akhirnya duduk di salah satu kursi kosong. Suara keroncong dari perut sudah mulai terdengar. Sepertinya, para cacing itu sudah tak kuasa menahan lapar.
"Apa yang bisa gue lakuin ya biar bisa dapat duit, biar bisa makan!" keluh Alona. Dilihatnya seorang pengemis yang sedang menghitung uang di balik rombong penjual cilok, hasil panen si pengemis dengan cara menadah tangan.
"Apa iya gue harus kayak gitu dulu biar bisa makan! Huaaa! Miris banget sih nasib gue!" Kembali Alona mengusap perut.
Kruuuk!
"Lapaar!" keluhnya.
_________&&
Lain hal dengan Jesica. Wanita itu justru asyik makan bersama Boby di salah satu restaurant ternama di pulau itu.
Jesica tak pernah menyerah mendekati Boby. Tujuannya agar memiliki pasangan yang mapan. Ia mengira, Boby salah satu pria yang cukup kaya. Hanya karena sering gonta-ganti mobil mewah, padahal semua yang ia gunakan itu hanyalah milik Arya.
Jesica bukan wanita tukang peras, yang sering menguras harta pasangan seperti wanita-wanita di luar sana. Ia hanya lelah. Lelah menjadi orang melarat. Yang ia inginkan hanyalah pasangan sejati, sehidup semati, dari pria kaya yang bersedia mempersuntingnya. Tapi kali ini, ia salah sasaran.
Pagi itu, mereka sudah memesan sebuah menu makanan khas jepang.
Untuk pertama kalinya Jesica mencicipi kuliner itu. Beberapa menu bahkan sudah tersaji di atas meja.
Sashimi, Udon, Takoyaki, Onigiri, dan Shoba sudah lengkap di hadapan mereka.
"Wahh, kayaknya enak ya, Bob!" seru Jesica.
"Kalo lu suka, makan aja!" sahutnya dengan senyum manis.
Segera si wanita mencicip beberapa menu menggunakan sumpit.
"Hmm, enak!" pujinya. Mengucap dengan mulut yang penuh. Membuat Boby tergelitik melihatnya.
"Enak, ya, Beb? Kalau gitu habiskan aja!" tawarnya pada si gadis manis di hadapannya.
"Semua ini? Mana muat di perut gue, Bob! Ayo dong, lu makan juga!"
"Iya, iya, maniiis, lu takut gendut yaa!" gombalnya sambil mencubit pelan pipi Jesica dan berhasil membuat wanita itu tersipu.
"Tau aja!" Ia tertawa kecil.
Boby tak pernah berniat serius pada Jesica. Sebaliknya, pria itu hanya mempermainkan perasaannya. Yang Boby pikir, Jesica hanyalah salah satu pemeras dari sekian banyak wanita pengincar harta.
"Oh iya, Bob. Ngomong-ngomong, sejak kapan lu jadi asisten CEO kita?"
"Sudah lama, sih! Hampir tujuh tahunan!" ungkapnya sambil mengunyah beberapa hidangan tanpa melirik ke arah Jesica.
"Wow! Lama juga ya!"
"He'em! Emang kenapa lu nanya soal masalalu gue?"
"Ahaha, gakpapa," sahut Jesica sedikit canggung. "Bob, bos Arya itu, tipe pria yang kayak gimana sih?"
Seketika Boby keselek.
"Tumben lu nanya soal bos kita?"
"Gakpapa, gue penasaran aja! Semua karyawan, gak satu pun pernah melihat CEO termasuk gue, kecuali elu! Ya, wajarkan kalo gue juga penasaran!" ungkapnya.
Sejenak, Boby mengira kalau Jesica mendekatinya hanya untuk mengenal bos Arya. Namun, setelah mendengar pernyataannya, rasa curiga Boby sedikit berkurang. Tapi, untuk membuktikannya, pria itu akan tetap menguji.
"Ohh! Gue pikir, lu nanya soal bos, karena pengen kenal sama dia!"
"Yaa ... kalo memang lu mau kenalkan gue ke dia sih, gue pasti mau! Soal ini, gue gak perlu munafik kan?!"
Kembali Boby keselek. "Bob. Lu gakpapa kan? Dari tadi lu keselek mulu!" Segera wanita itu mengambil segelas air untuk meredakan rasa cekat di tenggorokan Boby. "Lu makannya pelan dong, Bob!"
"I-iya, gue gakpapa kok!" Boby meraih gelas yang diberikan Jesica.
Sejenak ia diam.
"Jes, apa lu ngedeketin gue cuma demi bisa kenal sama bos Arya!"
Bruuup! Kini berbalik Jesica yang keselek. Nyaris menyembur ke wajah Boby. Membuat wajah Boby basah dengan berbagai rempahan sebagai pelengkap penderitaannya.
"Makannya yang pelan dong, Beb!" ucap Boby membalas perkataan Jesica.
"A-ah iya!" sahut Jesica yang langsung meraih segelas minuman di hadapannya. Membuat senyum sungging memancar di wajah Boby. 'Sekarang ketahuan sudah kedok loe,' batin Boby.
_________&&
Arya mondar mandir di depan kafe, sedari tadi ia menelpon Alona. Namun, wanita malang itu tak kunjung mengangkat.
Kesal, lelah. Arya akhirnya memilih masuk ke dalam kafe dan memesan makanan untuknya seorang diri.
"Huh! Kemana sih tuh bocah?! Kalau ada dia, seenggaknya kan gue gak sendirian. Ada yang temani gue makan!" rutuknya.
"Fouuuh!" Arya menghela napas. "Gadis itu tadi lari begitu melihat gue!" gumamnya. Sejenak Arya melamun. "Alona pasti kabur karena takut gue nagih hutang sama dia! Huh! Bocil itu, padahal kan, hari ini gue cuma mau ngajak dia makan bareng. Tapi, ya sudahlah!"
Beberapa saat kemudian, menu pesanan Arya sudah tersaji di meja. Lengkap dengan minumannya.
"Ada yang bisa saya bantu lagi?" tanya si pelayan setelah mengantar seluruh pesanan.
"Gak ada!" sahut Arya.
"Kalau masih ada yang diperlukan, silahkan panggil saya!" serunya.
"Oke, makasih ya, Mas!"
Pelayan itu tak menjawab. Hanya acungan jempol dan senyum ramah mengakhiri servisnya pada sang raja alias pelanggan.
Arya pun menikmati menu makanan di setiap suapannya.
Sesekali pandangannya di buang ke depan.
Seluruh dinding kafe di design dengan kaca transparan, membuat Arya dapat melihat semua aktifitas warga yang berada di lokasi dekat kafe.
Termasuk aktifitas mereka yang berada di alun-alun kota, jaraknya berkisar dua ratus meter dari kafe. Namun, tetap tak mengurangi jarak pandang dari dalam kafe.
Sejenak tak ada pemandangan yang menarik. Selain aktifitas lalu lalang kendaraan. Dan lalu lalang warga yang melintas di area trotoar.
Namun setelah cukup lama menatap ke arah alun-alun kota. Mendadak netra Arya menyipit. Berusaha meyakinkan diri dengan apa yang ia lihat.
Tampak seorang gadis yang tak asing, duduk di pinggir jalan, di samping para pengemis.
"Bukannya itu, Alona ya? Ngapain tuh cewek di pinggir jalan?" gumamnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
anthy haryanti
ya ampun,,kasian baget sih alona,ampe gemis gitu
2021-07-09
0
Surono No
apa yg di komen semua muter ga jelas
2021-03-01
0
Devan Dhina
ha..ha
2021-01-20
0