Belum sempat Arya menyentuh hidangan di hadapannya, bergegas ia keluar dari kafe, meninggalkan beberapa lembar kertas merah bernilai di atas meja.
Sepanjang jalan, Arya mempercepat langkahnya, berharap gadis itu masih ada di sana saat ia tiba nanti.
Kembali ia mencoba menelepon nomor Alona. Sambil meletakkan ponsel di sela telinga. Terdengar nada sambung dari panggilan telepon Arya.
Klik! Tertera nomor baru dari pemanggil di ponsel Alona. [Halo, ini siapa] tanyanya dari dalam telepon.
"Ini gue, loe di mana sekarang?" tanya Arya untuk memastikan bahwa mungkin saja ia salah menduga.
[Eh, elo kan si ...." Alona menghentikan ucapannya sejenak. "Ngapain loe nanya gue ada di mana? Loe pasti mau nagih hutang, ya! Percuma! Gue kagak punya duit] sahutnya yang langsung mematikan telepon secara sepihak.
"Halo? Halo? Alonaa??" Tak ada lagi terdengar jawaban, hanya suara panggilan terputus dari dalam telpon. Membuat pria itu semakin mempercepat langkahnya.
"Gue rasa, firasat gue benar! Tuh cewek memang Alona." gumamnya.
Kembali Arya menelpon. Masuk dan langsung di angkat.
[Mau ngapain lagi sih, loe? Gue kan sudah bilang, gue gak punya duit!]
"Lu tunggu gue di sana, oke!" ungkap Arya, suaranya terdengar sedikit tersengal, seperti orang yang sedang berlari.
Ungkapan Arya itu membuat netra Alona mengedar ke sekitar. Gadis itu tampak bingung sambil terus menggenggam ponsel di sela telinga.
[Ta-tapi, lu kan gak tau gue ada di mana?] ucap si gadis sedikit bingung.
"Gue tau! Lu ada di sini!" Seketika itu juga, suara pria berbicara di belakang Alona berhasil mengagetkannya. Nyaris membuat si gadis terperanjat dan langsung berdiri.
"Lu, lu, lu, kok bisa nemuin gue di sini?!"
"Pertanyaan loe itu, ntar aja gue jawabnya! Sekarang, loe ikut gue!" tukasnya yang langsung menarik lengan Alona. Namun, gadis itu menepisnya.
"Apaan sih! Memangnya kenapa gue harus ikut sama loe?"
Arya menatapnya dengan pandangan prihatin, tatapan tak asing itu sebelumnya hanya dapat Alona temui dalam bola mata almarhum ayahnya. "Lu bisa gak sih, gak usah membantah! Ikut gue sekarang! Lu duduk di sini, kayak pengemis tau gak?!"
Sedetik Alona terperangah. Namun, kembali ia tersadar, bahwa pria di depannya itu hanya seorang pria asing yang sok mengatur-atur. "Terus? Apa urursannya sama loe?"
Seketika Arya terdiam. Ucapan Alona ada benarnya. Kenapa juga ia harus khawatir jika gadis itu terlihat seperti pengemis.
"Mas ini pacarnya, ya?" tanya seorang pria tua di samping Alona. Menyela percakapan Alona dan Arya.
Pria yang tampak tua itu sedari tadi duduk bersebelahan dengan Alona.
Mendadak Arya emosi melihatnya. Curiga jika si bapak tua itulah yang sudah menghasut Alona, gadis polos calon mainan barunya. Hingga membuat gadis itu tak malu duduk di antara para pengemis.
"Bapak ini pengemis yaa?" tuturnya. "Pak, tolong jangan hasut gadis polos ini. Dia bukan gadis yang berasal dari kota ini. Dan saya, pria yang bertanggungjawab jika terjadi apa-apa padanya!" sahut Arya.
Alona terkejut mendengar penuturan Arya. Tak menyangka Arya berkata seperti itu. "Apa-apaan sih loe! Jangan sembarangan bentak orang, ya!" hardiknya.
"Maksudnya? Eh, Alona! Gue di sini karena belain loe, dan loe malah belain ini pengemis? Loe gak ada terima kasihnya ya jadi orang?" balas Arya.
"Saya bukan pengemis, Mas!" ucap si bapak, kembali memasang topi ke atas kepala. Membuat tatapan Arya beralih ke arahnya. "Memang penampilan saya seperti gembel, tapi, di sini saya jualan cilok!" Jelasnya.
Seketika Arya terdiam. Termangu.
Mendadak wajahnya berubah kemerahan. Malu dengan apa yang sudah ia ucapkan. "Be-benaran, Bapak jualan cilok?"
"Iya, Mas. Rombong saya ada di belakang situ!" tunjuknya pada rombong yang tampak jomblo, tak bersama tuannya itu.
"Terus? Bapak kenapa duduknya di sini?" tanya Arya, masih sedikit ragu.
"Saya lagi berteduh, Mas. Kebetulan, sebelah sini rindang. Di sana panas!" ucap si bapak yang kembali menurunkan topi, menjadikannya sebagai alat kipas.
"Oh, gitu. Maafin ucapan saya barusan ya, Pak!"
"Gakpapa, Mas. Saya sudah biasa!" Si bapak kemudian merogoh kantung celana lusuhnya. Dikeluarkannya uang yang terdiri dari pecahan dua ribu hingga dua puluh ribu itu, dan menyerahkan pada Alona. "Neng, ini, Bapak ada sedikit uang. Buat tambahan Eneng bayar utang sama rentenir itu!" ungkap si bapak yang membuat netra kedua insan itu melotot tak percaya.
"Jangan, Pak. Gak usah!" Alona menolak sambil mendorong pelan tangan si bapak yang memegang uang hasil penjualannya.
"Gakpapa, Neng. Ini buat Eneng. Bapak ikhlas! Bapak senang sekali, karena gadis kecil seperti Eneng masih mau bercerita sama Bapak." ungkapnya.
"Eneng ini mengingatkan Bapak sama almarhum anak Bapak. Kalau saja, anak Bapak masih hidup, mungkin sudah sebesar Eneng!" tuturnya.
"Maaf, Pak. Tapi Eneng gak bisa terima. Keluarga Bapak lebih butuh uang itu ketimbang Eneng!"
"Beneran nih, Neng gak mau?"
"Iya, Pak. Eneng masih bisa bayar kok. Bapak sudah dengar cerita dari Eneng aja, Eneng udah senang!" ungkapnya semeringah.
"Ya, udah! Kalo gitu, Bapak bungkusin cilok aja ya buat kalian!"
"Gak us ...."
"Jangan menolak! Gak baik nolak rezeki!" ungkap si bapak, meletakkan topinya di tempat ia berteduh, kemudian beranjak menuju rombong. Tangan mahirnya tampak cekatan membungkus dua porsi.
Kembali si bapak mendatangi Arya dan Alona yang tampak saling membisu. "Ini, anggap saja oleh-oleh dari Bapak untuk kalian berdua. Doa Bapak, semoga kalian langgeng!"
Mendadak keduanya terbatuk.
"Terima kasih, Pak. Kalau begitu kami pamit dulu!" ucap Arya yang kemudian menggandeng tangan Alona, mengajaknya pergi bersama. Namun, gadis itu tampak kagok ikut dengannya.
Tampak si bapak yang tersenyum pada Alona, dengan sedikit menganggukkan kepala. Ditatapnya kedua insan itu hingga menghilang di balik mobil yang berlogo taxi. Terlihat sebuah tangan mungil melambai padanya.
Si bapak tersenyum hingga mobil itu benar-benar sudah pergi. Ia kemudian meraih topi yang sempat ia letakkan saat membungkus dua porsi untuk mereka berdua. Dan betapa terkejutnya si bapak menemukan setumpuk uang berwarna merah dari dalam topi itu.
Diedarkannya pandangan ke sekitar. Tak tampak satupun warga dengan pakaian dermawan di lokasi tempat ia berteduh. Hanya beberapa pengemis yang tampak melongo melihat tumpukan kertas merah di tangan si Bapak.
_________&&
Cukup lama keduanya hening. Hingga Alona mulai berbicara, memecahkan suasana sepi yang tampak mencekam bagi mereka berdua.
"Lu ngapain sih ngebuntutin gue mulu?"
Bruuup!
Mendadak Arya keselek mendengar penuturannya.
"A-apa lu bilang? Ngebuntutin elo?"
"Iya!" sahut Alona singkat sambil menatapnya tajam. Arya pun mulai terlihat emosi. Pandangannya tak berarah, dengan bibir bawah yang mulai ia mainkan.
"Eh dengar ya, gue itu gak pernah buntutin elo. Cuma, gue gak ngerti kenapa, penampakan elo selalu mampang di mana aja gue berada!"
"Apa lo bilang? Penampakan gue selalu ada di mana pun loe berada?" tanyanya dengan nada sinis.
"Iya! Apa ucapan gue kurang jelas! Loe itu udah kayak monster pengganggu! Bisa gak sih, loe gak usah mampang mulu!"
"Hah?" tawa Alona tertahan. "Parah otak loe!" ucapnya dengan membuang pandangan.
"Otak lu yang parah!" sahut Arya.
"Haha!" tawa Alona semakin tercekat.
"Eh, jangan lupa, lu harus bayar utang hari ini!"
Seketika Alona menatapnya. Membuat Arya menaikkan alisnya dua senti. Seakan bertanya, apa yang akan gadis itu lakukan.
"Iya, ntar gue bayar!"
"Jangan entar! Sekarang!"
"Gak bisa! Gue gak punya duit kalo sekarang!"
"Ya sudah! Kalo gitu, lu musti ikut gue! Jangan membantah!"
Sedetik Alona terdiam mendengar ucapan Arya. Seketika itu juga, mendadak pikiran kotor menari di atas kepala si gadis. 'Apa si mesum ini mau membawa gue ke hotelnya, lalu ... ! Aaaaaaa!' batinnya berteriak. Dengan tatapan melotot ke depan, Alona berusaha menelan saliva.
"Woy! Diem aja lu di ajak ngomong! Gue ngomong nih, jawab dong!"
"Gue gak mau ikut!"
"Apa? Gak boleh nolak! Kalo nolak, gue seret ke polisi loe!"
"Lu kenapa sih, kejam banget jadi orang! Apa loe terlahir cuma buat jadi orang kejam?"
"Wah, sekate-kate, lu!"
"Lah, emang bener, lu kejam!"
"Oke, gue emang kejam. Puas loe! Jadi sekarang, lu musti ikut gue!"
Alona diam dengan wajah ditekuk. Dilipatnya kedua tangan ke atas dada. Dan membuang pandangan keluar jendela.
Hal yang sama berlaku pada Arya.
Hingga keduanya tak menyadari, sang supir telah membawa mereka semakin jauh dari lokasi hotel tempat penginapan para karyawan.
"Mas, Mbak, dari tadi bertengkar mulu! Ini tujuannya mau ke mana, sih?" tanya si supir.
Mendadak keduanya saling pandang. "Hotel borneo, Pak!" jawab keduanya serempak.
"Wah, kalau hotel borneo, sih, sudah kelewat jauh!"
"Ya udah, muter balik aja, Pak!"seru Arya.
"Oke, Mas." sahutnya yang langsung memutar haluan di jalurnya.
"Kalian, bukan orang sini, ya?"
"Iya!" sahut Arya.
"Oh, pantes kalian gak tahu daerah ini!" ungkap si bapak supir.
Kedua insan itu hening beberapa saat.
Arya terdiam, pun dengan Alona. Namun, pria itu diam karena firasatnya berkata akan mengalami hal buruk. Ia kemudian merogoh dompet dari dalam tas selempang miliknya. Mengecek sisa lembaran yang masih tertinggal di dalam. Dan kembali Arya terkejut. Betapa tidak, tak satupun ia jumpai lembaran kertas bernilai dalam dompetnya.
"Kok, udah habis aja, sih! Perasaan tadi gue bawa banyak!" serunya sambil terus mengacak isi dompet, berharap masih menemukan selembar.
"Pak, bayarnya gesek aja, bisa kan?" tanya Arya pada si supir.
Mendadak senyum menyeringai terpancar dari wajah si supir. Entah apa yang ia pikirkan. "Gak bisa, Mas!"
"Kok, gak bisa! Harusnya kan bisa!"
"Iya, biasanya sih bisa! Cuma sekarang alatnya lagi rusak!"
"Kok bisa kebetulan gitu?!" Arya tampak heran tak percaya.
"Jadi gimana nih, Mas? Bisa bayar cash gak?" tanya si supir yang langsung memarkirkan kendaraannya di pinggir jalan.
"Waduh, kalau cash saya gak ada nih, Pak!" Arya terlupa, sebelumnya, semua uang yang ada di dompet sudah ia berikan pada si bapak penjual cilok.
Mendadak Arya menatap si gadis. "Lu ada uang, gak? Ntar gue ganti di penginapan!"
"Gak ada!" sahutnya singkat.
"Jadi kalian ini, bisa bayar apa enggak?" hardik si supir.
"Pak, bisa antar dulu gak? Ntar saya bayar begitu sampai di penginapan!"
"Ah, gak percaya saya! Turun, turun, turun!" perintahnya. "Ayo bayar sekarang! totalnya sudah dua ratus lima ribu ini!" Ia menunjukkan total pembayaran yang tertera di layar mobil.
"Wah, sudah ngusir, nyuruh bayar lagi!" jawab Arya.
"Ya iya! Kan dari tadi kalian udah numpang!"
"Tapi, kan, gak sampai tujuan! Lagian saya sudah bilang, kalo sekarang gak ada uang. Kalau mau, antar dulu! Ntar saya bayarnya di penginapan!"
"Alaah, banyan alasan. Sudah, siniin itu jam tangannya!" tunjuknya pada jam bermerk di tangan Arya.
"Wah, ini sih namanya pemerasan!" seru Arya.
"Kasih, atau saya panggilin komplotan saya!"
"Wah parah! Saya bisa laporin bapaknya ke polisi kalau begini!"
"Laporin aja! Gak akan ada polisi di sini yang dengar keluhan kalian!"
Arya terdiam sejenak.
"Udahlah, kasih aja!" saran Alona.
"Ini tuh gak sebanding!" tutur Arya.
Si supir tau persis, jam yang digunakan Arya adalah jam bermerk dengan harga jutaan. "Cepat siniin!" pintanya sambil terus menyambungkan telepon.
Sesaat kemudian, puluhan geng motor tua tengah mengepung Arya dan Alona. Membuat gadis itu ketakutan hingga bersembunyi di balik punggung Arya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Ado Nia
hahahaha. ...cie cie awal tumbuh benih cinta 😁
2021-02-24
0
Devan Dhina
hups
2021-01-20
0
Yeyen Dhevan
kasih aja
2020-08-06
0