Tuduhan keji langsung hana dapatkan saat pertama kali bertemu dengan maya ibu dari kekasihnya ini. Dalam diam hana menahan sesak di dadanya. Inginnya melawan dan membuka suara tapi hana berusaha menahan diri karena rasa hormatnya kepada maya sebagai ibu dari pria yang begitu hana cintai.
Bukan karena uang, awal hana menyukai pandu memang murni karena pembawaan pandu yang kharismatik ditambah pandu juga menunjukkan sikap penyayang yang memang tak pernah hana dapatkan semenjak kedua orangtuanya meninggal dunia.
"Berapa uang yang kamu mau."
"Ma" sentak pandu saat dengan entengnya maya menghina hana.
"Apa ndu, kamu ini apa ga paham wanita muda seperti dia ini pasti hanya mengincar uang saja. Jadi berikan saja uang yang banyak maka dia pasti akan meninggalkan kamu."
Hana menggeleng, bukan uang. Bukan uang yang hana incar, hatinya tulus mencintai pandu dan memang ingin merajut impian indah bersama.
"Jangan tuduh hana seperti itu ma. Selama kami bersama belum pernah satu rupiah pun hana meminta uang pada ku. Jadi tuduhan mama barusan salah besar."
Diruang tamu rumah orangtuanya disaksikan oleh rasti adik kandung pandu dan juga suaminya. Pandu berteriak membela hana.
"Kamu bentak mama ndu. Kami belain perempuan ini dan sampai berani marah ke mama kayak sekarang."
"Mama asal tuduh tanpa tau seperti apa hana."
Melihat pandu sudah lepas kendali, hana langsung menarik lengan pandu dan menatap pandu dengan mata penuh permohonan.
"Mas, jangan begini."
Rasti dan suaminya hanya duduk diam memperhatikan ketegangan yang terjadi didepan mereka saat ini. Bukan karena mereka meremehkan hana dan menilai hana seperti bagaimana ucapan maya tapi karena mereka sedang memperhatikan dan menilai seperti apa hana sebenarnya.
.
.
.
Tak banyak obrolan yang terjadi saat pandu mengantarkan hana pulang kembali ke kostan nya.
Diamnya hana begitu membuat pandu dirundung rasa bersalah yang amat sangat. Walau pandu sudah tau hal ini pasti akan terjadi tapi saat melihat bagaimana hana terluka dengan semua tuduhan yang ibunya lontarkan ternyata pandu tak sekuat itu.
"Sayang" pandu menggenggam tangan hana yang terasa begitu dingin saat mereka berhenti di lampu merah.
Pandu menatap wajah hana yang sejak keluar rumah orangtuanya banyak diam dengan tatapan kosong.
"Maafkan mas, maaf." Lihir pandu penuh penyesalan.
Hana menggeleng, senyuman penuh keterpaksaan tercetak di wajah hana yang biasanya ayu namun kali ini diselimuti mendung tebal.
"Kamu jangan khawatir. Kita akan teta menikah mau mama merestui ataupun tidak. Mas taka akan mungkin bisa tanpa kamu dan anak anak juga pasti begitu."
Sesak, napas hana seolah sesak. Hana kesulitan menghirup oksigen sekarang. Inginnya menangis sekencang mungkin tapi hana tak mau melakukan itu karena terlalu untuk melakukannya didepan pandu.
"Tetaplah bersama mas ya." Mohon pandu.
Tak ada jawaban hana hanya mengeratkan genggaman tangan mereka dengan mengulas senyum yang masih tetap dipaksakan.
Cinta hana begitu besar, hana sudah masuk terlalu dalam. Kubangan cinta yang pandu ciptakan begitu membuat hana terlena.
"Apa yang harus aku lakukan ya allah." Jerit batin hana saat mobil kembali melaju menuju tempat tinggalnya.
"Hati hati ya mas, kabari kalau sudah sampai rumah."
Hana tak mengijinkan pandu untuk mampir karena hari sudah malam begitulah hana memberikan alasan. Awalnya pandu tak setuju dan tetap ingin masuk tapi karena hana terus menolak dan meminta pandu untuk pulang mengingat pasti anak anaknya sudah menunggu akhirnya pandu pasrah dan mau untuk langsung pulang.
Masuk kedalam kamar kostnya hana menumpahkan semua sesak yang sejak tadi ditahannya. Tangis hana pecah, melihat setiap sudut ruangan membuat hana semakin sakit. Kenangan indah penuh dosa terbayang di pelupuk mata tapi begitu hana mengingat kembali kalimat tuduhan atas hubungannya dengan pandu semakin menghantam jantung hana.
"Cinta ku bukan karena uang, aku benar mencintai mas pandu. Cinta ku benar tapi kenapa kata kata keji itu bisa aku dapatkan padahal aku tak pernah menerima sepeserpun dari mas pandu."
Isak tangis hana begitu pilu, ia remat guling yang baru saja diambilnya. Ujung jemari hana sampai merah karena saking kuatnya tangan hana menggenggam bantal. Satu jam dua jam tiga jam tangis hana tak kunjung usai sampai pandu yang mengirinya pesan tak satupun hana balas dan di panggilan yang ke 25 baru hana tersadar dan mencari ponselnya yang sejak tadi berdering.
"Sayang" suara pandu terdengar sangat khawatir.
Hana diam tak menjawab, hidungnya mampet kepalanya pening dan bisa dipastikan napasnya sesak sehingga suaranya sulit untuk keluar.
"Jangan menangis, mas mohon. Bersabarlah dan tetap bertahan untuk cinta kita."
Menggelikan sekali pria matang seusia pandu mengatakan hal itu tapi pandu memang harus mengatakannya agar hana tak menyerah.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments