"Aku tidak bisa membiarkanmu tumbuh tanpa backing finansial yang baik." ~Abraham Forzano.
.
.
.
Xavier melotot. Melayangkan tatapan tajam ke arah Opa yang tampak berkacak pinggang, dengan senyuman yang menurut Xavier sangat licik. Jika tahu akan begini, dia pasti memilih untuk tidak pulang. Lebih baik dia tetap tinggal di Singapura saja. Permintaan Opa yang baru saja terucap sukses membuat Xavier menarik napas panjang, putus asa.
"Opa, please. Aku tidak tertarik dengan perusahaan," ujar Xavier melemas. Sebenarnya dia telah menduga pastilah Opa memiliki suatu hal yang penting, dilihat dari usaha kakek tua itu membawanya kembali.
Opa balas memelototi Xavier.
"Hei, anak muda. Jika tidak kau siapa lagi? Apa yang akan kau lakukan jika Opa kelak tidak ada, hah?!" balas Opa menaikkan nada suaranya.
Xavier mengerjapkan mata.
"Opa akan hidup lama, tenang sajalah," balasnya cuek.
Opa menarik napas panjang.
"Baiklah. Karna Opa akan hidup lama, maka Opa ingin memastikan perusahaan berada di bawah pimpinan yang tepat," jawab Opa lagi.
Xavier berusaha membantah semua apa yang Opa katakan. Dia sungguh tidak ingin terlibat dalam hal-hal seperti ini. Namun, di satu sisi Opa ada benarnya juga. Jika kelak Opa sudah tidak ada, akan jadi apa dirinya?
Tiba-tiba Xavier merasa sedih memikirkan ucapan Opa. Kakeknya sudah mulai renta dan kesehatannya tidak lagi maksimal seperti dulu. Dia terus batuk dan mudah terserang pegal-pegal. Ah, Xavier sungguh berada di posisi yang sulit. Masuk ke perusahaan tidak pernah diinginkan oleh Xavier. Tetapi dalam hati dia mulai juga berfikir, bahwa keluarga besar Forzano memang tumbuh dan besar dari membangun bisnis dan perusahaan. Menilik aliran pimpinan yang sepertinya otomatis akan mengarah padanya, Xavier bukannya senang tetapi malah bergidik ngeri. Dia tidak siap, dia belum siap. Terlalu muda usianya untuk berkecimpung dalam dunia bisnis, saat di sisi lain dia masih ingin menikmati masa muda yang tidak akan terulang lagi.
"Mulailah dengan kelas mastermu dan masuklah ke perusahaan sebagai magang, bagaimana?" Nada suara Opa terdengar melembut kali ini. Tidak mendapati jawaban Xavier, Opa memandangi Xavier dengan penuh harapan yang terpancar jelas dari kedua bola matanya.
Xavier masih menunduk. Perlu beberapa menit untuk memutuskan, fikirnya. Karena Opa pasti tidak akan membiarkan dia menjawab tidak. Xavier sungguh tidak mempunyai pilihan apapun selain mengatakan dia bersedia. Meski sebenarnya hatinya menolak mentah-mentah.
"Baiklah," ujarnya pelan sembari menatap Opa kembali.
"Tapi ...," lanjutnya tertahan. Opa menunggu lanjutan perkataan Xavier.
"Aku akan mengambil master di kampus yang sama dengan Juna, dan jadwal ke perusahaan tidak lebih dari tiga kali dalam seminggu," kata Xavier mantap, mengajukan penawarannya.
Opa mencerna kata-kata Xavier sejenak.
"Itukah syaratmu?" tanya kakek tua itu lagi.
"Tentu saja!" Xavier mengangguk mantap. Dia belum sepenuhnya siap, tetapi sepertinya menolak tawaran Opa hanya akan memperpanjang masalah. Lagipula dia tidak bisa kembali lagi ke Singapura.
Bagaimanapun, ayo lakukan ini karena aku telah terlanjur berada di sini.
Opa berdehem. Memainkan tangannya di dagu, tampak sedang menimang syarat yang diajukan Xavier matang-matang.
"Kau mau mengambil master di kampus Juna, oke akan Opa berikan. Tetapi jadwal ke perusahaan minimal lima kali dalam seminggu," kata Opa mencoba bernegosiasi.
Xavier membesarkan bola matanya.
"Oh, Opa! Aku akan mengambil kelas dan harus lima kali ke perusahaan? Sebaiknya aku tidak jadi saja!" gerutu Xavier dengan nada suara yang sarat akan kekesalan.
Opa tersenyum kecil. "Baiklah. Bagaimana kalau empat kali?" tawarnya lagi, menunggu reaksi Xavier.
Xavier tidak menjawab dan hanya melotot. Kini dia sudah berkacak pinggang. Opa tertawa melihat tingkah cucunya itu.
"Baiklah, baiklah. Tiga kali seminggu akan cukup kurasa," ujarnya sembari terkekeh. Senang karena bisa mengerjai Xavier, senang karena sukses membuat lelaki itu jengkel.
Xavier menjentikkan jarinya. "Oke, sepakat," katanya. Opa tidak menjawab lagi. Kakek tua itu lalu duduk bersandar di kursi santainya dan menghidupkan televisi sementara Xavier masih berdiri tepat di sampingnya.
"Sepertinya aku akan punya banyak waktu sebelum masuk kuliah. Baguslah, aku bisa refreshing sejenak," bisik Xavier pelan. Dia mengambil posisi duduk di sofa dekat Opa.
"Ya, tentu saja kau harus refreshing," kata Opa menahan tawa.
Xavier mengeluarkan ponsel. Mencari kontak teman-temannya untuk dihubungi, dia ingin hangout untuk sekedar nongkrong atau pergi ke club. Dia baru saja kembali, pasti banyak yang dapat dia lakukan sebelum kembali menjadi mahasiswa.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Opa.
Xavier mengangkat bahunya. "Hmm, mungkin nongkrong bersama teman-temanku, lalu berbelanja outfit baru atau mengunjungi showroom baru, atau mengganti model rambutku dan banyak lagi," kata Xavier menjelaskan.
Opa semakin terkekeh. Dia sangat ingin tertawa lepas sekarang. Xavier pasti akan berteriak lagi jika mendengar kata-kata yang akan diucapkannya sebentar lagi.
"Baiklah. Lakukan semaumu. Waktumu hanya tinggal empat belas jam lagi," kata Opa menahan tawa.
Xavier langsung menatap Opa tajam, berhenti memainkan ponselnya.
"Apa?" tanyanya bingung.
"Kau akan mulai kuliah besok!" kata Opa yang kemudian terkekeh keras. Kakek itu sungguh bahagia melihat raut wajah Xavier yang berubah bingung sekaligus jengkel.
"OPAAA!!" teriaknya frustasi. Opa masih terus tertawa.
.
.
.
🌾Bersambung🌾
~Dukung dengan like, vote dan tinggalkan komen ya kak Readers.. Makasih sudah mampir 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 226 Episodes
Comments
Fae
Ninggal jejak thor ✍🏽
2022-03-30
0
Saepul 𝐙⃝🦜
Menarik, ini novel kedeua yang saya baca setelah My fake bride.
2021-12-20
0
Aris Susanti
Dasar Opa jail 🤣
2021-11-27
1