"Alasan mengapa aku tidak ingin datang, karena aku tidak siap berbagi udara yang sama." ~Xavier Forzano.
.
.
.
Armada besi yang ditumpangi Xavier mendarat dengan mulus di tanah Indonesia, yang diikuti Xavier dengan segera melangkahkan kakinya menuju konter imigrasi. Setelah mendapat cap di paspornya, dia menghela napas panjang. Akhirnya, udara ini lagi. Xavier sungguh berusaha keras untuk tidak membuka luka lama yang masih bersemayam di dalam hatinya. Luka mengenai gadis itu, Gracia. Yang sekarang entah dimana, setelah pergi jauh meninggalkan Xavier saat cintanya begitu membuncah.
Keluar dari pintu kedatangan, Xavier langsung melihat Kang Salim sudah berada tepat di antara barisan orang-orang yang menunggu. Kang Salim membungkuk dan melempar senyumnya ke arah Xavier. Xavier hanya melengos sambil menghampiri pria paruh baya itu.
"Selamat kembali, Tuan," ujar Kang Salim sambil berjalan beriringan di samping Xavier.
"Bagaimana Opa?" tanya Xavier langsung.
"Nanti silakan Tuan lihat sendiri. Bapak melarang saya menjelaskan kondisinya, Tuan," jawab Kang Salim lagi.
Xavier memicingkan mata.
Dasar Opa. Dia pasti sudah menduga aku akan bertanya pada Kang Salim. Opa memang juara kalau soal beginian.
Mobil yang dikemudikan Kang Salim membelah wilayah ibukota, berkutat dengan kemacetan dan mendungnya cuaca. Hujan yang tadi mengguyur kota ini, telah berhenti dan menyisakan angin yang berhembus sepoi-sepoi.
Tidak berapa lama kemudian, Xavier dan Kang Salim sudah tiba di kediaman keluarga Abraham Forzano. Rumah dimana Xavier dibesarkan, sekaligus menjadi saksi untuk duka kehilangan Xavier.
"Opaaaa!" teriak Xavier sambil membuka pintu. Rumah terasa kosong. Bi Imah langsung berlari kecil dari arah dapur, menghampiri tuan mudanya yang baru saja tiba.
"Bapak di kamarnya, Tuan," ujarnya memberikan arahan. Xavier tidak menjawab, dia langsung melangkahkan kaki menaiki tangga dan menuju kamar Opa.
Dia berhenti sejenak di depan pintu kamar Opa dan mendengar sayup-sayup batukan Opa dari dalam. Cepat, dia meraih gagang pintu dan mendorong pintu itu. Opa sedang duduk di ranjangnya, berselonjor kaki sembari memegang sebuah buku.
Opa melirik ke arah pintu dan sudah menduga siapa yang datang. Dia langsung tersenyum.
"Xavier, akhirnya kau datang cucuku!" ujarnya senang. Xavier masih berdiri di ambang pintu, matanya lekat melihat Opa yang perlahan turun dari ranjangnya sambil menenteng buku bacaannya, menuju tempat Xavier berdiri.
Xavier memicingkan mata. Opa tidak sakit. Opa baik-baik saja. Bahkan kakek tua itu mengenakan piyama bermotif nenas, astaga! Xavier merasa Opa telah menipunya mentah-mentah.
"Aku akan kembali saja ke Singapura! Opa baik-baik saja!" katanya kesal.
Opa yang berjalan mendekati Xavier langsung melayangkan buku tebalnya ke arah cucu tampannya itu, memukul kepala Xavier dengan bukunya hingga menyebabkan pria itu meringis.
"Opa, sakit!" serunya sambil mengusap puncak kepalanya yang terkena hantaman buku Opa.
"Begitu caramu menyapa Opamu ini, hah bocah? Mau kupukul lagi?" balas Opa yang kembali mengarahkan bukunya pada kepala Xavier.
Xavier refleks melindungi kepalanya dengan tangan, tidak ingin lagi meringis akibat buku tebal yang menghantam kepalanya. Kali ini Xavier berhasil menghindari pukulan Opa, membuat Opa kemudian terkekeh dan mendekat untuk memeluk Xavier.
"Kemarilah, bocah kecil. Opamu ini sudah sangat merindukanmu," ujar Opa di sela-sela dekapannya yang erat.
Xavier juga merindukan Opa. Merindukan sosok kakek yang selalu membelanya, menyayanginya, memberikan hal-hal terbaik dalam hidupnya sejak dia masih kecil hingga beranjak dewasa. Sejak dia punya segalanya hingga menjadi sebatang kara. Sejak dia dipenuhi cinta hingga dia tenggelam dalam cinta yang tak terbalaskan, Opa selalu ada.
Bahkan ketika Xavier memutuskan untuk hijrah ke Singapura karena luka mendalamnya, Opa tidak melarang. Justru Opa rutin mengisi saldo di rekening lelaki itu, memberikan apartemen terbaik hingga mobil keluaran terbaru. Berharap Xavier cepat pulih dan kembali lagi menemaninya di rumah besar ini.
Opa melepas pelukannya. Memandangi Xavier lekat dan mengangguk perlahan.
"Kau sudah menjadi sedikit lebih gemuk," komentar Opa sembari masih memperhatikan Xavier lekat.
"Tentu saja. Hidup di Singapura sangat menyenangkan. Sebentar lagi aku akan kembali ke sana," balas Xavier yang tampaknya masih sedikit kesal.
Opa memelototi Xavier. Seolah ingin mengatakan bahwa alasannya berbohong adalah sebab dia hanya ingin Xavier kembali. Setidaknya kakek tua itu berhasil membujuk cucunya untuk pulang, meski harus sedikit mengarang cerita. Toh, Opa memang sering kali batuk sekarang, jadi perkataannya tentang kesehatan yang menurun tidak sepenuhnya kebohongan.
Menyimpan senyuman, Opa masih memandang Xavier yang menunjukkan raut wajah kesal. Menepuk pundak Xavier, kakek tua itu mendesah pelan.
"Tidak untuk saat ini!" balasnya bernada serius.
.
.
.
🌾Bersambung🌾
~Terimakasih sudah mampir diceritaku, ya Kak.. Support Like, Vote dan Komennya ya, salam kenal :) ~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 226 Episodes
Comments
Siti Aisah
masih baca
2021-10-24
0
D'ՇɧeeՐՏ🍻
Jadi sekarang aja aku komennya😅
2021-10-18
0
💐 💞mier🌹❤️
mampir LG 😇😇😇
2021-09-27
0