"Mantan suami Dokter Sienna?"
"Ya."
Raya dan Riris kini duduk di salah satu meja di rooftop cafe rumah sakit, menyantap makan siang sebelum berangkat kerja ke kafe Kopi Wayang.
"Sejak kapan mereka bercerai...?" tanya Raya setelah menyeruput jus tomatnya. Ia merasa aneh dan tidak nyaman membicarakan orang lain seperti ini, namun ia merasa perlu mengetahui lebih banyak tentang Dokter Alam Semesta--laki-laki yang telah begitu merebut hati Rona dan akan bertanggung jawab menangani penyembuhan putrinya dalam jangka waktu yang tidak sebentar.
"Setahun lalu. Perceraian itu menghancurkan hati keduanya. Sienna sampai vakum bekerja selama enam bulan, dan Al meninggalkan tempat ini... entah ke mana. Ada yang bilang ia sempat tinggal di New York. Lalu entah bagaimana... seminggu lalu dia muncul dan kembali bekerja di rumah sakit ini," sahut Riris sambil memainkan sisa acar di piringnya, wajahnya termenung.
"Kenapa dia kembali?" tanya Raya lagi.
"Al itu dokter spesialis anak yang hebat, lulusan Amerika. Sempat bekerja di rumah sakit anak terbaik di dunia yang ada di sana juga. Dokter William, ayah Sienna, pasti senang-senang saja menerima orang sehebat Al kembali bekerja di rumah sakitnya," Riris menghela napas sambil meletakkan sendoknya. "Kurasa Al kembali karena ingin rujuk dengan Sienna. Mereka sangat saling mencintai, bagaimana pun."
Raya mengerutkan alis. "Kalau masih saling cinta, kenapa bercerai?"
Riris tampak muram. "Semua terjadi karena kebakaran dua tahun lalu..."
***
"Al, kamu nggak makan siang?"
Dokter Al yang masih sibuk meneliti hasil pemeriksaan darah terakhir Rona, mendongak dan melihat Dokter Agselle yang cantik dengan rambut ikal pendek sebahu dan mata cokelat hangat masuk ke ruangannya sambil membawa dua kaleng kopi dingin.
"Sebentar lagi," jawab Dokter Al pelan. "Kenapa kamu ke sini?"
"Kamu akan mengambil alih penanganan Rona Purnama sepenuhnya hari ini, kan? Aku penanggung jawab sebelumnya, setelah Sienna menyerahkannya padaku karena cuti seminggu lalu. Jadi aku harus pastikan kamu punya semua data dan paham soal kondisi Rona," kata Dokter Agselle sambil meletakkan satu kaleng kopi dingin di meja kerja Dokter Al.
"Jangan khawatirkan itu. Aku akan menanganinya dengan baik," kata Dokter Al sambil menggulir layar tabletnya.
"Tentu. Aku lihat, kamu berhasil merebut hati gadis kecil itu bahkan sejak hari pertama kalian bertemu. Seperti biasa, kamu hebat kalau menangani anak-anak... aku yakin, Rona akan sembuh di tanganmu kelak," Dokter Agselle menghela napas panjang. "Andai kamu juga bisa melakukan hal yang sama untuk hati Sienna..."
Dokter Al terdiam. Ia meletakkan tabletnya, bersandar di kursinya, menatap Dokter Agselle dengan muram.
"Menurutmu, apa lagi yang harus kulakukan, Sell?" ekspresi Dokter Al begitu terluka. "Aku sudah mencoba segalanya... tapi dia sama sekali tidak bisa melupakan kejadian itu... atau memaafkan dirinya sendiri..."
"Mana bisa, Al?" suara Dokter Agselle bergetar. "Kebakaran itu sudah merenggut nyawa Selena, keponakanku... putri kalian! Dan itu gara-gara Sienna!"
"Kamu menyalahkan Sienna juga?" Dokter Al menatap Dokter Agselle marah.
"Itu memang salahnya, Al. Dan itulah yang membuatnya nggak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri. Kalau kamu ingin menolong hatinya, jangan sangkal kesalahan itu. Tapi terima dan hadapi. Luka sedalam itu tak akan pernah sembuh jika kalian terus saja berlari dan tak mau jujur pada diri kalian sendiri."
Dokter Al meneteskan air mata sekarang, teringat peristiwa dua tahun lalu, saat mereka merayakan ulang tahun ketiga putri cantik mereka di apartemen penthouse mereka.
"Happy birthday, our love Selena... happy birthday to you!"
Selena meniup lilin di kue ulang tahun berbentuk kastil negeri dongeng dengan penuh semangat. Al, Sienna, kedua orangtua mereka, Agselle--kakak tiri Sienna, dan beberapa undangan bersama anak mereka bertepuk tangan dan bergiliran maju memberikan selamat, juga hadiah.
"Are you happy now, Selena, my love?" Sienna mengangkat Selena dan memutarnya di udara, membuat gadis kecil berparas mirip ibunya itu tertawa.
"Yes, Mama!" Selena tertawa gembira.
Al juga menggendong dan mengecup sayang pipi putrinya.
"Grow up well, my starlight," bisik Al lembut. "My love will always be with you."
"Thank you, Papa! But... where is my present?"
"Over there, Selena. You know that teddy bear is a gift from your Papa to you," Agselle menunjuk boneka beruang biru besar yang duduk di pojok salah satu sofa ruang tamu, berhias pita besar.
"Nooo... Papa said he has a second gift for me! Where is it?"
Al tersenyum dan menuntun tangan kecil putrinya ke perut Sienna.
"Here."
Agselle membelalak. Selena terperangah.
"A baby?"
"Yes, love. You will have a little sister after this, as you always wish!" Sienna menyeru cerah, membuat semua kepala di ruang tamu besar itu menoleh.
"Apa?"
"Kamu hamil, Sienna?"
"Waah selamat yaa!"
Semua maju dan mengucapkan selamat. Tapi Selena yang paling bahagia. Ia memeluk erat ibunya sambil melompat-lompat.
"I will have a sister! I will have a sister!"
Al tertawa dan memeluk putrinya.
"Yakin bayinya perempuan...?" bisik Agselle ke telinga Sienna.
"Ya. Ini bayi tabung. Kami sudah memilih benih berjenis kelamin perempuan--karena Selena selalu ingin punya adik perempuan. Berhasil tumbuh dan berkembang dengan baik di rahimku sampai sekarang," balas Sienna dengan mata berbinar.
"Wow," Agselle menghela napas panjang, ekspresinya iri. "Selamat, ya..."
Sienna menepuk bahu Agselle penuh simpati.
"Thank you, Sell. One day kamu juga akan menemukan cinta sejati dan memiliki anak dengannya... kalau aku bisa, kamu juga pasti bisa."
Agselle mengangguk muram, teringat mantan suaminya yang sudah menceraikannya lima tahun lalu, karena tidak terima dirinya mandul.
Diam-diam Agselle mundur, saat tamu lain maju dan memberi ucapan selamat kepada Sienna, Al, dan Selena. Ketiganya begitu menawan dan bahagia. Agselle hanya bisa menatap mereka lama, hatinya terluka.
Kenapa aku tidak bisa seperti Sienna...? Kenapa bukan aku yang ada di sisimu, Al...?
Pukul sepuluh malam, para tamu undur diri. Hanya tinggal Al, Sienna, dan Selena. Sienna mengganti gaun Selena, membaringkannya di atas tempat tidur, lalu menyelimuti dan mencium kening putri kecilnya itu.
"Sleep well, my love," bisik Sienna lembut.
"Sure, Mama," Selena tersenyum, meski matanya meredup karena kantuk. "Thank you for the best present ever... I will have a sister after this. I won't be alone again if you and Papa go to work."
Sienna tersenyum, meski ada perasaan bersalah meletup kecil dalam hatinya, karena ia dan Al sering meninggalkan Selena untuk mengurus banyak pasien di rumah sakit--terutama jika ada yang kritis.
"You know you'll never be alone," Sienna mencium puncak kepala Selena. "Our love will always be with you."
Selena tersenyum dan memejamkan mata. Tak lama kemudian, ia sudah tertidur pulas.
"Mau ke mana, Sayang?" Sienna terkejut ketika menutup pintu kamar Selena dan melihat Al menyambar jas putih dan tas kerjanya di kamar mereka yang terletak persis di sebelah kamar Selena.
"Ada panggilan darurat. Pasienku kejang. Pembuluh darah di otaknya pecah. Aku harus segera ke rumah sakit sekarang," kata Al sambil mencium kening Sienna kilat. "Aku pergi dulu."
Sienna mendesah. "Baiklah, hati-hati, Sayang..."
Begitulah resiko pekerjaan mereka sebagai dokter spesialis anak yang menangani banyak kasus penyakit berat. Sewaktu-waktu mesti pergi jika ada panggilan darurat menyangkut hidup dan mati.
Sienna menguap dan merebahkan diri di atas ranjangnya yang sangat besar dan empuk. Namun sepi dan dingin tanpa Al malam ini.
Meski begitu, Sienna tak sempat memikirkan apa-apa. Ia terlelap tak lama setelah memejamkan mata.
Sienna tak tahu apa yang membuatnya terbangun tiba-tiba. Nafasnya sesak. Perutnya mual sekali.
Sienna buru-buru lari ke kamar mandi. Ia memuntahkan semua isi perutnya ke kloset.
Tumben sesak dan muntah malam-malam begini, batin Sienna saat mengelap mulutnya dengan handuk usai mencuci tangan dan mulut di wastafel. Jam digital di sudut wastafel masih menunjukkan pukul satu dini hari.
Rasa sesak di dadanya tidak kunjung hilang. Malah ia mencium aroma yang sangat tidak enak. Seperti bau sesuatu yang terbakar.
Terbakar... kebakaran?!
Sienna menyadari ada asap tipis melayang di seluruh penjuru kamar. Sienna memegang perutnya dengan panik dan berlari keluar penthouse.
Asap mengepul lebih tebal di lorong luar. Seorang laki-laki bertopi dan berbaju serba hitam terbatuk keluar dari penthouse sebelah, yang sama sekali tak dikenalnya.
"Apartemen ini terbakar--kita harus cepat!"
"Apa..."
Sienna terguncang, tak sanggup melanjutkan tanya. Laki-laki asing itu sudah menarik tangannya dan membawanya turun menggunakan lift yang untungnya masih berfungsi.
Laki-laki itu baru melepasnya dan menghilang di antara kerumunan saat mereka sudah mencapai halaman depan apartemen. Beberapa penghuni berkumpul di sana setelah menyelamatkan diri, terguncang. Beberapa perempuan dan anak-anak menangis.
Melihat seorang gadis kecil terisak, Sienna langsung teringat Selena.
"Selena...!"
Ia berusaha masuk kembali ke lobi, tetapi dicegah petugas keamanan.
"Jangan, Nyonya, bahaya!"
"Tapi, anakku--"
DUAR!
Terdengar ledakan keras. Orang-orang menjerit dan berhamburan menjauh. Sienna mendongak, melihat lantai paling atas meledak, dinding dan atapnya hancur. Lantai itu tempat penthouse-nya berada, dan Selena masih terbaring di kamarnya.
Perut Sienna terpilin, sangat sakit. Batinnya menjerit. Segalanya menjadi gelap.
Tak ada cahaya lagi.
***
"Sienna tak pernah bisa memaafkan dirinya... ia menyalahkan dirinya karena lalai membawa Selena keluar. Selena tak selamat dalam kebakaran malam itu," ujar Riris, kepedihan menggayuti wajahnya.
Raya menekap mulutnya. Matanya berkaca-kaca.
"Tak lama setelah itu, Sienna juga keguguran. Ia kehilangan kedua buah hatinya dalam waktu singkat. Itu sangat menghancurkannya," Riris menghela napas panjang. "Sienna tak sanggup menghadapi Al. Ia selalu berpikir semua itu salahnya, bahwa ia telah membunuh anak-anak mereka. Karena itulah... Sienna akhirnya menggugat cerai. Ia merasa tak pantas lagi bersanding di sisi Al, meski ia masih sangat mencintainya."
Raya tak tahu, di balik pembawaan Dokter Sienna dan Dokter Al yang sangat ramah, hangat, profesional, dan pandai mengambil hati Rona, ternyata menyimpan cerita setragis dan sekelam itu.
"Sebagai teman mereka... gue nggak tahu apa yang bisa gue lakukan untuk membantu... gue cuma bisa berharap mereka bisa berdamai dan memaafkan segalanya... terutama Sienna," gumam Riris muram. "Tapi sepertinya Sienna masih belum sanggup menghadapi Al. Ia langsung cuti begitu Al balik ke rumah sakit ini. Rona yang awalnya ditangani Sienna, diserahkan ke Agselle... tetapi gue dengar, Al sendiri yang minta bertanggung jawab penuh untuk menangani Rona mulai hari ini."
"Kenapa...?" tanya Raya tidak mengerti.
"Mungkin... Rona mengingatkannya pada Selena. Jika Selena masih hidup, ia pasti seusia Rona sekarang."
Hening sejenak. Riris menyeruput sisa cappuccino-nya yang sudah dingin. Tatapannya menerawang pemandangan kota dan hutan di kejauhan.
"Mungkin ini gue yang berlebihan... tapi gue merasa ada sorot kebahagiaan di mata Al ketika dia cerita soal Rona dan meminta Rona memanggilnya 'Ayah'," gumam Riris. "Al menganggap Rona seperti Selena, anaknya sendiri... mungkin karena itu juga, Rona nggak mau jauh darinya... Rona merasakan kasih sayang seorang ayah yang tulus dari hati Al... gue bisa lihat, hati Rona yang selama ini kosong tanpa Ayah, terisi pertama kalinya oleh Al..."
Hati Raya kembali bergetar. Air matanya hampir tumpah lagi.
"Jadi lo nggak usah khawatir. Al sosok yang paling tepat untuk menjaga dan merawat Rona sekarang. Kalau gue jadi lo, gue malah bersyukur banget. Kehadiran Al bukan hanya akan menyembuhkan fisik Rona, tapi juga hatinya," Riris tersenyum perlahan. "Dan ada Sam juga yang siap menjadi sosok ayah Rona begitu dia keluar dari rumah sakit ini. Hidup Rona akan lebih lengkap dan bahagia mulai sekarang."
Raya tak sanggup bicara lagi. Ia hanya bisa menangis.
"Kalau lo perlu waktu buat meluapkan emosi lo, nggak apa-apa. Begitu lo tenang, susul gue ke kafe ya? Tapi gaji lo gue potong karena telat."
Riris tersenyum lembut, lalu beranjak pergi setelah menepuk lembut bahu Raya yang masih terdiam sambil bercucuran air mata.
"Raya..."
Di tengah gundah dan air mata yang tumpah, Raya menengadah.
Di hadapannya, Samudera berdiri menatapnya. Dalam dan lekat. Ekspresinya penuh permohonan.
"Bisakah kita bicara...? Berilah aku kesempatan, sekali saja..."
Raya terdiam. Samudera kini berlutut. Matanya berkaca-kaca.
"Untuk terakhir kalinya. Agar aku bisa pergi dengan tenang. Kumohon."
***
Translete:
Are you happy now, Selena, my love? \= Apa kamu bahagia sekarang, Selena Sayang?
Yes, Mama \= Ya, Mama.
Grow up well, my starlight \= Tumbuh dengan baik, cahaya bintangku.
My love will always be with you \= Cintaku akan selalu menyertaimu.
Thank you, Papa! But... where is my present? \= Terima kasih, Papa! Tapi... di mana hadiahku?
Over there, Selena. You know that teddy bear is a gift from your Papa to you \= Sebelah sana, Selena. Kamu tahu boneka beruang itu hadiah dari Papamu untukmu.
Nooo... Papa said he has a second gift for me! Where is it? \= Bukaaan... Papa bilang punya hadiah kedua buatku. Mana hadiahnya?
Here \= Di sini.
A baby? \= Bayi?
Yes, love. You will have a little sister after this, as you always wish! \= Ya, Sayang. Kamu akan punya adik perempuan setelah ini, seperti yang selalu kamu impikan!
I will have a sister! \= Aku akan punya adik perempuan!
Sleep well, my love! \= Tidur nyenyak, sayangku!
Sure, Mama \= Tentu, Mama.
Thank you for the best present ever... I will have a sister after this. I won't be alone again if you and Papa go to work \= Terima kasih untuk hadiah terbaiknya... aku akan punya adik setelah ini. Aku nggak akan kesepian lagi kalau Mama dan Papa pergi kerja.
You know you'll never be alone \= Kamu tahu kamu nggak akan pernah kesepian.
Our love will always be with you \= Cinta kami akan selalu menyertaimu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Esther Lestari
dokter Agselle ada rasa sama dokter Al ?
2024-06-18
1
Teteh Lia
oh ternyata, punya rasa sama Al..
2024-05-21
0
👑Кιкαη Αqυєєη👑
jgn pergi dong sam
2024-05-16
1