"Saya kangen Nyonya..."
"Jangan panggil aku Nyonya. Aku bukan majikanmu seperti dulu lagi."
Raya dengan lembut menghapus air mata di pipi Arum, meski pipinya sendiri juga berderai linang bening.
"Panggil aku Raya."
"Iya... Nyonya... eh... Ra-Raya..."
Keduanya tertawa kecil.
"Aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi, Rum," Raya menghapus air matanya sendiri. "Gimana ceritanya kamu nyasar sampai kota ini dan ikutan workshop di sini...?"
"Yah... saya tadi memang nyasar... makanya telat sampai sini...," Arum meringis. "Saya sengaja ke sini setelah lihat video Nyonya... eh, Ra-Raya... yang duet sama Samudera itu beredar di sosmed dan youtube... saya pengen ketemu... pengen kerja lagi bareng Nyonya... eh, Ra-Raya..."
Raya mendesah.
Malam itu memang banyak yang merekam aksi duetnya dengan Samudera di atas panggung. Riris bahkan merekam semua pertunjukan Samudera dari awal sampai akhir, atas permintaan Samudera, untuk di-upload di kanal youtube "Samsara" milik Samudera.
Raya sudah pasrah saat itu, apalagi video itu viral hingga masuk situs-situs berita infotainment online. Raya Purnama kembali viral. Namun kali ini dengan tajuk gunjingan yang berbeda:
Ratu Skandal Jadi Biduan!
Raya Purnama, penyelamat hidup penyanyi Samudera Dewa, punya bakat suara emas.
Duet biasa atau duet cinta?
Baris-baris kalimat bombastis beredar. Menimbulkan pertanyaan, pujian, celaan.
Bahkan sudah ada kelompok netizen yang pro dan kontra membahas hubungannya dan Samudera lebih dari sekadar pasangan duet di atas panggung malam itu, menebarkan lebih banyak benih opini liar.
Sekali lagi, Raya memilih mengabaikan semua gosip itu. Namun ia tidak menyangka, keviralannya justru mempertemukannya kembali dengan Arum Ambarwati, gadis baik hati yang dulu menjadi baby sitter Rona dan menjadi salah satu teman ngobrolnya saat ia terpenjara sebagai istri Sambara Bumi di mansion-nya.
"Kupikir kamu sudah kerja lagi di tempat lain, Rum..."
"Memang sudah," Arum mengangguk, ekspresinya murung. "Tapi..."
Arum bercerita bahwa setelah Raya pergi dan mengakhiri kontrak kerjanya, Arum kembali ke yayasan dan tiga kali bekerja dengan tiga majikan berbeda. Namun semuanya membikin batin Arum tersiksa sehingga ia tidak betah dan memutuskan tidak memperpanjang kontrak, bahkan melarikan diri.
Majikan pertama sangat cerewet dan perfeksionis, dan tak ada hari dilalui Arum tanpa makian dan celaan. Majikan kedua sempat main tangan. Majikan ketiga lebih buruk lagi--Arum sempat dikurung, diperkosa berkali-kali hingga hamil.
Raya benar-benar syok mendengarnya.
"Saya... malam itu saya berhasil melarikan diri... dia akhirnya ditangkap polisi dan dipenjara... saya pulang ke desa... hancur... dan bayi saya mati dalam kandungan sebelum saya sempat melahirkannya..."
Arum menutup wajahnya dan menangis sejadinya. Hati Raya sangat hancur melihatnya.
"Rum... maaf, Rum... ini gara-gara aku... kalau saja aku nggak meninggalkanmu... tapi aku harus pergi, aku nggak bisa membawamu... aku bukan siapa-siapa, nggak punya apa-apa untuk terus mempertahankanmu... maaf... maafin aku..."
Raya memeluk Arum dan tersedu.
"...sudah nasib saya," Arum menegakkan punggung, senyumnya getir. "Karena itu... saya nggak sanggup kerja ikut orang lagi... tapi di desa nggak banyak kerjaan selain urus sawah dan ternak... dan saya nggak tahan terus jadi bahan gunjingan warga...
"Ketika saya melihat Nyonya lagi di video dan berita itu, dan saya lihat kafe ini buka lowongan sekaligus pelatihan, tanpa pikir panjang saya buka celengan saya dan pergi ke sini... ini pertama kalinya saya merantau sejauh ini, di kota lain pulau, yang nggak saya tahu sama sekali... makanya saya sampai nyasar di hari pertama latihan ini... tapi, saya senang sekali pencarian saya berhasil, dan saya bisa ketemu Nyonya lagi..."
"Panggil aku Raya," pinta Raya sambil berusaha menghentikan air matanya. "Atau panggil Kakak saja... kamu lebih muda tiga tahun dariku..."
Arum mengangguk. "Kakak."
"Kalau kamu yakin mau kerja di sini, aku akan bimbing dan bantu kamu," janji Raya. "Aku akan jaga dan lindungi kamu mulai sekarang. Kamu nggak akan menghadapi hal buruk apapun selama aku ada di sisimu, aku janji."
Air mata Arum kembali merebak. "Terima kasih, Kak."
Seekor burung kayu kecil muncul dari lubang di puncak jam kotak yang menempel di dinding, berkukuk nyaring lima kali, menunjukkan waktu sudah pukul lima sore.
"Aku harus balik jaga di depan," kata Raya sambil membersihkan sisa air mata di wajahnya dengan tisu. "Kamu pulanglah, Rum. Besok datang lagi untuk workshop hari kedua--pukul dua siang sampai empat sore."
"Nona Rona gimana, Kak?" tanya Arum pelan. "Kalau Kakak kerja begini, siapa yang jaga Nona...? Gimana kabar Nona Rona sekarang? Pasti dia sudah lebih besar dan cantik..."
Raya menghela napas panjang. "Rona dirawat di rumah sakit sekarang, Rum... Rona divonis mengidap leukemia."
Arum sangat terkejut. Wajahnya pucat dan matanya melebar, terguncang.
"A-apa?"
"Tapi kamu nggak usah khawatir. Rona ditangani dengan sangat baik dan berada di tangan yang tepat. Ia dijaga suster dan dokter jika aku nggak bisa mendampinginya saat aku harus bekerja seperti ini. Biar bagaimanapun, aku juga harus mencari nafkah untuk anakku..."
Arum tak bisa berkata-kata. Air matanya menderas lagi.
"Besok pagi aku akan menengok dan menemaninya di rumah sakit. Kamu mau ikut?"
"B-boleh, Kak?" tanya Arum gagap.
"Kenapa enggak? Kamu dulu yang paling sayang dia, selain aku, ibunya. Dia mungkin masih ingat kamu juga."
"M-mau... saya mau ketemu Nona Rona," Arum menutup mulutnya, terharu. "Terima kasih, kak... sudah memberi saya kesempatan ketemu Nona Rona lagi..."
"Aku yang terima kasih... dan minta maaf," Raya menarik napas dalam-dalam, berusaha keras tak menangis lagi, karena ia harus kembali ke konter bar untuk meracik kopi. "Hati-hati pulangnya, ya. Besok aku kabari kamu kalau aku mau berangkat ke rumah sakit. Aku akan jemput kamu, supaya kamu aman dan nggak nyasar lagi."
Arum mengangguk, tersenyum. Wajahnya haru dan bahagia saat memandang Raya.
"Iya, Kak... terima kasih."
***
"Halo, Arum. Aku Samudera."
Samudera melepas kacamata hitamnya dan memperkenalkan dirinya ramah saat Arum masuk ke kursi belakang jeep hitam miliknya.
Arum membeku sejenak, wajahnya merah padam.
"Eh... i-iya... saya tahu kok... penyanyi terkenal yang ganteng banget itu, kan... eh..."
Samudera dan Raya yang duduk di kursi kemudi dan penumpang depan tertawa bersamaan saat mendengar celoteh polos Arum.
"Sudah siap?" tanya Samudera sambil menyalakan mesin mobilnya.
Raya mengangguk. "Ya. Ayo jalan."
Pagi itu, Raya menepati janjinya untuk menjemput dan mengajak Arum menjenguk Rona di rumah sakit. Meski ia tak memberitahu Arum bahwa ia akan menjemputnya bersama Samudera menggunakan jeep kesayangannya.
Samudera juga berusaha menepati janjinya dengan Raya untuk memperjuangkan hidup dan kebahagiaan hati Rona. Ia bersedia mengantar jemput Raya ke rumah sakit, berkomitmen ikut mendampingi dan menjaga Rona jika sedang tak ada agenda pekerjaan. Bahkan pagi ini bagasi belakangnya penuh dengan kotak-kotak hadiah berisi mainan baru untuk Rona.
"Sebetulnya nggak perlu membelikan Rona mainan baru, Sam, di rumah sakit itu sudah ada banyak sekali mainan...," gumam Raya saat melihat tumpukan kotak yang membukit di belakang kepala Arum.
"Aku hanya ingin menyenangkan Rona dan mengakrabkan diri dengannya. Kalau bisa, aku lebih suka mengajaknya jalan-jalan ke taman bermain atau ke wahana rekreasi lainnya. Tapi kondisinya belum memungkinkan diajak berpergian," kata Samudera kalem. "Lagipula, aku akan menjadi ayah asuhnya, kan? Aku harus berjuang membahagiakan anakku mulai sekarang."
Wajah Raya memerah. Arum di belakang terkesiap kaget.
"Kakak dan Samudera akan menikah?"
Samudera menginjak pedal remnya mendadak--kebetulan tepat saat lampu lalu lintas beberapa meter di depan mereka berubah merah.
"Siapa bilang begitu?" Raya memutar kepalanya, jantungnya berdegup kencang--bukan karena efek mobil yang berhenti tiba-tiba.
"Tadi katanya Samudera akan jadi ayahnya Rona..."
"Ayah asuh," koreksi Samudera pelan.
Arum mengerjap, jelas tidak mengerti.
"Maksudnya apa?"
"Yah... semacam ayah angkat untuk Rona... ayah yang akan bertanggung jawab membahagiakan Rona sampai dia dewasa nanti... tapi bukan berarti aku dan Samudera akan menikah karena itu. Ia hanya akan jadi ayah asuh Rona, bukan suamiku... bukan juga ayah tiri Rona... paham, kan, ya?"
Raya sangat berharap penjelasannya mampu mencerahkan pemikiran Arum. Tapi gadis desa polos itu menggeleng.
"Enggak paham, Kak."
Raya menepuk jidatnya. Samudera tertawa.
"Nggak apa-apa. Kamu lihat saja. Lama-lama kamu akan paham," kata Samudera lembut.
Lima belas menit kemudian, mereka tiba di parkiran depan rumah sakit CHC yang luas dan mewah.
"Ini rumah sakit, Kak?" Arum berdiri di sebelah jeep, terpana. "Kok kayak Istana..."
Raya tertawa.
"Yah, ini yang punya fasilitas terbaik untuk menyembuhkan penyakit Rona... bahkan terbaik ketiga di seluruh dunia."
"Pasti mahal...," gumam Arum.
"Ditanggung asuransi, kok," tukas Raya kalem. "Dan ya aku kan nggak diam... walau nggak seberapa, aku punya uang untuk menalangi biaya tertentu di saat darurat... yang penting Rona sembuh dan sehat."
Arum menatap Raya lekat. "Memang Tuan Sambara nggak kirim uang buat Nona Rona? Nggak pernah ngunjungin Nona Rona? Kan Nona Rona anak kandung satu-satunya..."
Raya memejamkan mata sejenak, berusaha keras menahan lara yang kembali menghujam saat mendengar pertanyaan Arum barusan.
"Arum... kamu tahu sendiri Sambara seperti apa saat aku dan Rona masih tinggal di mansion-nya. Kamu tahu alasanku bercerai. Dia nggak berubah sama sekali sampai detik ini. Karena itu, tolong jangan bahas dia lagi. Dan jangan sekalipun bahas dia di depan Rona. Dia sudah pernah menangis karena Sambara nggak pernah datang menengoknya, kamu tahu..."
"M-maaf, Kak," Arum menunduk, raut wajahnya menyesal.
"Nggak apa-apa."
"Ladies, bisa tolong bantu aku bawa sisanya ini?"
Samudera melongok dari balik kap bagasi yang terbuka, lengannya yang kekar memeluk dua tumpuk kotak mainan, dan masih ada beberapa tersisa di dalam mobil.
"Ah, oke..."
Raya, Samudera, Arum pun melenggang masuk rumah sakit dengan tumpukan kotak mainan dan langsung menuju lift yang terbuka. Kamar Rona berada di lantai tiga.
Di dalam lift itu, sudah ada Dokter Agselle yang sedang sibuk bicara dengan seseorang di telepon, wajahnya tegang.
"...kamu bisa memegang kata-kataku, Arga. Aku akan datang. Please, jangan bertindak gegabah. Tunggu aku."
Dokter Agselle buru-buru mematikan ponselnya dan menjejalkannya ke dalam saku jasnya saat Raya, Samudera, dan Arum masuk ke dalam lift.
"Selamat pagi, Bunda Raya," sapa Dokter Agselle ramah, seakan tak terjadi apa-apa. "Mau menjenguk Rona, ya? Wah, banyak sekali mainannya!"
"Yah, begitulah," sahut Raya nyengir. "Dokter Agselle mau ke lantai tiga juga?"
Dokter Agselle mengangguk. "Ya, saya ada perlu dengan Dokter Sienna..."
"Oh, Dokter Sienna sudah kembali bekerja hari ini?" Raya tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Ia teringat cerita memilukan Dokter Al dan Dokter Sienna--rasanya dibanding mereka, penderitaan hidupnya tak ada apa-apanya.
Dokter Al dan Dokter Sienna kehilangan dua buah hati mereka dalam insiden mengerikan dua tahun lalu. Duka orangtua yang ditinggal pergi anaknya lebih menyakitkan dan pedih dari apapun.
Raya bersyukur Rona masih bernapas di sisinya. Ia sendiri tak bisa membayangkan jika harus kehilangan Rona. Karena itu, ia akan berjuang mati-matian agar Rona tetap hidup dan berumur panjang.
"Sudah, pagi ini," sahut Dokter Agselle, matanya menatap hampa ke satu titik. Pikirannya sesaat berkelana entah ke mana.
"Jadi... Rona akan ditangani kembali oleh Dokter Sienna? Atau tetap ditangani Dokter Al?" tanya Raya ingin tahu.
"Sama saja," Dokter Agselle sesaat seperti asal menjawab. Namun sedetik kemudian ia sadar dan kembali mengendalikan diri.
"Maaf... maksud saya, baik ditangani Dokter Sienna maupun ditangani Dokter Al, akan sama baiknya bagi Rona. Mereka dokter spesialis anak terbaik di sini," jelas Dokter Agselle tenang. "Tapi untuk lebih jelasnya bisa tanya langsung ke mereka, ya, Bunda..."
Lift berhenti dan pintu terbuka. Dokter Agselle bergegas keluar, dan nyaris menabrak seorang dokter muda tampan berambut cepak. Senyum dokter lelaki itu merekah saat melihat Dokter Agselle.
"Ah, halo, honey... senang ketemu kamu di sini!"
"Minggir, Kevin!" Dokter Agselle menepisnya dingin. "Kamu lihat Sienna?"
"Kamu cari Sienna? Kenapa nggak nyari aku aja? Aku di sini untukmu. Kalau kamu butuh sesuatu, bilang aku..."
"Lihat Sienna, nggak?!" Dokter Agselle setengah membentak.
Dokter Kevin menghela napas, senyumnya memudar. "Di Kamar Bambi 3."
Dokter Agselle tidak berkata apa-apa dan melesat cepat menuju Kamar Bambi 3, tempat Rona dirawat.
Raya berhasil menyusul beberapa menit kemudian, tepat saat Dokter Agselle keluar kamar bersama Dokter Sienna, berbincang cepat dan serius.
"...aku perlu cuti segera, ini penting," gumam Dokter Agselle.
"Bunda Raya, apa kabar?" Dokter Sienna berpaling dan tersenyum ramah menyapa Raya. Jelas pasien dan keluarganya tetap menjadi prioritasnya daripada apapun obrolan yang ingin disampaikan koleganya padanya.
"Baik, Dok, terima kasih," timpal Raya sopan. "Dokter sudah selesai cuti?"
"Begitulah."
"Jadi siapa yang akan bertanggung jawab menangani Rona sekarang? Dokter Sienna atau Dokter Al?" tanya Raya.
"Dokter Al," Dokter Sienna tersenyum. "Saya tidak bisa memisahkan mereka sekarang. Apalagi Rona mulai memanggil Dokter Al 'Ayah'."
Raya mengerjap. "Apa?"
"Tidak apa-apa, Bunda. Kami justru senang Rona bisa seakrab dan sesayang itu dengan Dokter Al. Proses pengobatannya akan berjalan lebih mudah, dan Rona bisa lebih cepat pulih," kata Dokter Sienna, tenang dan tulus. "Rona ada di dalam bersama Dokter Al. Dari tadi sudah menanyakan Bunda terus lho..."
"Baik, Dok. Kalau begitu, saya masuk dulu. Terima kasih informasinya," ujar Raya.
Dokter Sienna mengangguk seraya tersenyum, lalu berjalan pergi bersama Dokter Agselle menjauhi kamar.
"Rona."
Raya menyapa putri kecilnya yang sedang diperiksa Dokter Al dengan stetoskopnya sambil bersila di atas playmat dan menyusun balok-balok warna-warni membentuk istana.
"Bundaa!" Rona tersenyum ceria. "Lona kangen!"
"Bunda juga," Raya meletakkan kotak-kotak mainannya di lantai, lalu memeluk dan mencium kening putrinya. "Gimana kondisi Rona, Dok?"
"Stabil," jawab Dokter Al. "Rona akan menjalani kemo lagi siang nanti. Saya akan terus mendampinginya. Semoga setelah ini kondisinya semakin baik."
Raya menghela napas panjang. Kemoterapi bukan sesi pengobatan yang menyenangkan. Efek sampingnya selalu membuat Rona rewel karena badannya akan terasa tidak enak dan ia tak akan mau makan. Namun saat ini hanya itu satu-satunya metode yang bisa digunakan untuk menyembuhkan Rona.
"Nona Rona..."
Arum menyapa malu-malu di belakang tumpukan kotak mainan, yang dengan hati-hati diletakkannya di lantai.
"Kak Alum?" Rona terpana.
Baik Raya maupun Arum kaget.
"Rona ingat...?" tanya Raya takjub.
"Iya... itu Kak Alum, kan? Yang dulu suka main sama Lona di lumah Ayah, kan? Kakaak!"
Raya menyerahkan Rona ke pelukan Arum, yang menangis bahagia bisa bertemu Rona lagi. Raya sendiri juga hampir menangis, meski dengan alasan berbeda. Batinnya kembali teriris.
Jadi Rona ingat saat-saat ia masih tinggal di mansion Sambara? Bagaimana bisa...?
"Bunda Raya, saya perlu bicara mengenai detail kondisi Rona dan persiapannya sebelum kemo siang ini... bisa ikut saya ke kantor saya sebentar?" tanya Dokter Al lembut.
Raya tersadar dari lamunannya. "Ah, iya... baik. Arum, tolong jaga Rona sebentar, ya..."
Arum mengangguk. "Iya, Kak."
"Ayah Al nanti ke sini lagi, ya?" seru Rona dengan wajah polos dan riang.
Raya merasa hatinya bergetar saat Rona memanggil Dokter Al seperti itu.
Dokter Al tersenyum. "Iya, Ayah Al akan kembali. Tunggu, ya."
"Iyaa."
Raya mengikuti Dokter Al meninggalkan kamar. Saat melewati tumpukan kotak mainan di lantai, Raya baru sadar, Samudera menghilang entah ke mana.
Di mana Sam?
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Teteh Lia
Sambara yang onoh hilang ingatan kali. sampe sama darah dagingnya aja ga perduli
2024-05-23
0
Teteh Lia
aku malah curiga nih, jangan2 Arum di suruh seseorang buat Deket lagi sama Raya.
2024-05-23
0
👑Кιкαη Αqυєєη👑
ketinggalan dmn sam aku pun baru ingat
2024-05-17
0