Kamu memang sinting, Raya.
Raya mematut dirinya di cermin. Kulit setengah albinonya terlihat makin pucat di bawah pendar neon putih yang berderet rapi di tepi cermin rias. Matanya lebar dengan bola mata berwarna cokelat muda. Hidung lurus. Bibir unik berbentuk hati. Wajahnya simetris dengan garis rahang indah. Dulu banyak yang mengatakan, ia sangat cantik.
Itu sebelum Raya membeberkan aib kehamilannya dan tuntutannya untuk dinikahi Sam ke publik.
"Percuma cantik, kalau kelakuan kayak lonte."
"Murahan amat."
"Mau-maunya gituan sama cowok, tanpa ikatan pernikahan. Masih sekolah lagi."
"Hamil terus minta dinikahi, emang itu solusi?"
"Hukuman zina itu dibakar di neraka!"
Raya masih ingat semua hujatan yang harus diterimanya dua tahun lalu. Maya maupun nyata. Setiap cacian dan tudingan yang terarah padanya begitu ganas. Hingga ia tak berani sekolah dan terpaksa hidup bersembunyi.
Sampai detik ini, semua sisa pertarungannya dengan keluarga Bumi masih membekas. Tak ada yang tak mengenal Raya Purnama, dan tak ada yang tak mencibirnya bahkan menghinanya atas apa yang terjadi dalam satu malam maksiat di masa lalu.
Raya pindah ke kota kecil ini dua tahun lalu, setelah memutuskan bercerai dengan Sam. Ia membawa serta Rona yang tidak mengerti apa-apa dan memutuskan tinggal bersama ibunya di sebuah rumah kecil sederhana di dalam gang kecil dekat perkebunan pisang, agak di pinggir kota.
Hidup Raya berubah sangat tidak mudah sejak itu.
Raya mencoba melanjutkan hidup dengan beraktivitas seperti orang-orang pada umumnya--berbelanja ke warung atau pasar, naik transportasi umum, mengajak Rona ke taman atau pantai, membeli es krim di pinggir jalan. Namun, saat hari pertama ia keluar rumah, sorot mata orang-orang selalu tajam memandangnya. Wajah-wajah tak ramah disertai bisik-bisik mengiringinya ke mana-mana. Bahkan ada yang terang-terangan menudingnya dan bicara lantang, "Raya Purnama, cewek yang hamil duluan dan menikah dengan Sambara Bumi itu, kan?"
"Jadi ini anak kalian? Ini anak haram yang terjadi di luar nikah itu?"
Raya benar-benar ngeri. Mengapa mereka dengan mudah bicara seperti itu pada orang yang tidak benar-benar mereka kenal? Pada anak kecil yang tidak tahu apa-apa?
Raya menutup telinga Rona yang tengah menjilat es krim dan memandang polos orang asing yang menudingnya, lalu cepat-cepat mengajak Rona meninggalkan taman.
Sejak saat itu, Raya tak sembarangan lagi keluar dan mengajak Rona. Kalau harus keluar rumah, Raya akan mengenakan masker, kacamata, jaket dan celana panjang, bahkan kalau perlu syal dan topi untuk menutupi kepalanya. Hampir sepanjang waktu Rona berdiam diri di rumah bersama neneknya, sesekali saja keluar untuk bermain di playground atau jajan es krim setiap akhir pekan bersama Raya yang penampilannya terbungkus rapat seperti lemper.
Sialnya, kadang masih ada saja satu-dua orang yang mengenal dan menudingnya jika ia terpaksa membuka masker untuk sekadar minum air, atau tangannya yang sepucat hantu terulur membayar belanjaan.
Raya bahkan tak bisa mendapat pekerjaan sama sekali. Ia sudah berusaha melamar ke mana-mana, namun nihil. Bahkan ia sudah mengikuti ujian paket C untuk bisa mendapat ijazah kelulusan SMA, namun tak ada satu pun perusahaan yang mau menerimanya. Melanjutkan wawancara pun tidak.
Entah bagaimana, seluruh kota seperti sepakat untuk menolak kehadirannya. Bahkan sepertinya, seluruh negeri. Raya mengajukan lamaran melalui aplikasi pencari kerja ke perusahaan di berbagai kota pun, tak ada yang mau menerimanya.
Seburuk itu citranya, sampai tak ada yang mau tersenyum ramah padanya, apalagi memberinya kesempatan untuk bekerja.
Demi bertahan hidup, Raya mencoba peruntungannya berjualan secara online. Hanya itu cara paling aman yang bisa dilakukannya. Tak ada yang mengenalinya di marketplace, tak ada yang menghujatnya.
Raya menjual kopi blend dalam berbagai ukuran dan kemasan karena kopi adalah hal yang paling disukainya di seluruh dunia. Ia mahir meracik dan memadukan berbagai jenis bubuk kopi varietas berbeda hingga menciptakan rasa unik dan lezat. Raya mengandalkan indera perasanya, ketekunannya mempelajari apa saja seputar kopi di internet, ikut kursus meracik kopi online, dan berani bereksperimen menciptakan takaran dan resep sendiri.
Hasilnya, kopi blend racikannya disukai dan laris diburu pembeli. Omzetnya sempat meledak terutama selama pandemi dan orang-orang tak bisa bebas beraktivitas di luar.
Kopi racikan Raya seperti sumber kebahagiaan bagi orang-orang yang menyukai kopi dan kangen bisa nongkrong sambil menikmati cita rasa unik mewah secangkir kopi di kafe mahal. Rasa yang disajikan Raya dalam racikan kopi blend-nya memang tak kalah dari kopi yang dijual dengan brand bintang lima, tentu dengan harga yang lebih terjangkau.
Tetapi setelah pandemi dan lockdown berakhir, omzet Raya mulai menurun, bahkan sepi. Koh Ahwie benar, orang-orang lebih senang minum kopi enak langsung di kafe daripada menyeduh sendiri di rumah. Apalagi setelah pandemi, orang-orang bisa beraktivitas dan berkumpul lagi di luaran. Semua seperti merayakan kebebasan. Melampiaskan yang bertahun terpendam dan tertahan. Usaha-usaha seperti kafe, restoran, toko, tempat hiburan, pusat perbelanjaan, kembali ramai dan laris.
Sebaliknya, usaha online dengan komoditi yang menjadi primadona di saat pandemi seperti kopi Raya menjadi sepi.
Begitulah roda kehidupan berputar.
Dan di saat Raya sedang mengalami kesulitan seperti itu, sahabat lamanya saat SMA muncul di Kedai Kopi.
Riris Sawitri. Putri kedua dan terakhir Siwi Sawitri, penulis dan sutradara terkenal yang karya-karyanya kerap memenangkan penghargaan lokal maupun internasional. Riris jelita dan eksentrik, mirip ibunya. Namun ia berkeras menjalani hidup terpisah dan berbeda dari ibunya. Bukan karena konflik atau kebencian. Riris hanya ingin membuktikan kepada ibunya dan seluruh dunia, bahwa ia bisa sukses dan bersinar dengan caranya sendiri, dengan menjadi dirinya sendiri.
Termasuk, pergi merantau ke kota kecil di pulau yang jauh, membuka bisnis secara mandiri...
Yaitu jual diri.
Kenapa juga aku mau ikutan?
Raya menatap kosong saat mematut dirinya di cermin, pandangannya turun menelusuri kemben dan jarik batik merah emas bermotif bunga yang membalut tubuh kurusnya. Kulit pucatnya terekspos mengerikan. Raya merengut, tapi ia tak punya pilihan.
"Bayaran dari gue gede. Belum tip dari pelanggan, dan bonus kalau tembus target. Lo butuh duit nggak?" tukas Riris to the point.
Jelas Raya sangat membutuhkan uang. Apalagi akhir-akhir ini penyakit darah tinggi ibunya sering kambuh, dan Rona sering mengalami demam naik-turun. Raya butuh uang untuk membawa mereka ke dokter. Sedihnya, karena omzet sepi, Raya sudah tiga bulan menunggak biaya polis asuransi kesehatan Rona, sehingga ia tak bisa menggunakannya untuk pengobatan Rona.
Setiap bulan, Raya tahu Sam mentransfer sejumlah uang untuk Rona. Tapi Raya sudah bersumpah tak akan menggunakan sepeser pun uang itu. Itu sama saja membenarkan prinsip laki-laki brengsek dan keluarganya itu bahwa segala perkara bisa beres dengan uang. Raya tak akan sudi menggantungkan hidupnya dan Rona pada kaum titisan setan macam itu. Hingga detik ini, tak ada satu pun dari keluarga Bumi pernah memedulikan, memerhatikan, apalagi memberi kasih sayang untuk Rona. Seakan sejak lahir, Rona tak pernah ada dalam hidup mereka.
Semua itu lebih dari cukup untuk Raya membuang semua hal yang berhubungan dengan keluarga Bumi dalam hidupnya dan Rona. Selamanya.
Raya akan berjuang keras dengan tangan dan kakinya sendiri. Raya akan melakukan apa saja, agar Rona bisa hidup layak dan bahagia bersamanya.
Termasuk menerima tawaran Riris. Yang pertama, dan satu-satunya, menawarkan pekerjaan untuknya.
Jual diri, astaga...
"Sudah siap?"
Riris berdiri di sebelah Raya. Ia sudah mengganti celana jeans-nya dengan jarik hitam emas indah. Rambutnya disanggul dan dihias bunga-bunga emas tiruan ala penari.
"Emang harus gini konsepnya?" tanya Raya, risih melihat bahu dan lengannya begitu terbuka.
"Pakai ini," Riris memakaikan stocking warna cokelat di kedua lengan Raya, memasangkan gelang leher emas yang menutupi leher Raya sepenuhnya, lalu melilitkan selendang putih lebar di bahu dan punggung Raya. "Dan ini."
Raya memandang sebuah topeng putih cantik, yang biasa dipakai penari topeng atau pelakon kesenian wayang orang bertopeng.
"Biar muka lo gak dikenal pelanggan," kata Riris. "Tenang aja. Gue udah siapin semuanya buat elo."
"Thanks, Ris...," gumam Raya sambil mengenakan topeng itu.
"Udah hafal gerakannya kan? Gampang. Tiruin aja anak buah gue yang lain kalau lupa. Jangan lupa, lo harus kasih best service ke pelanggan yang datang malam ini. Oke?"
Raya mengangguk.
Mereka keluar ruang rias dan menuju panggung pertunjukan.
Bukan panggung pertunjukan biasa. Panggung itu istilah Riris untuk kafe dengan konsep unik yang dibukanya sejak sebulan lalu.
Kafe itu berdekorasi seperti aula kerajaan di Majapahit, dengan sentuhan desain kontemporer. Dengan lantai dan dinding kayu. Hiasan relief dan arca batu. Meja-meja rendah dengan bantalan-bantalan empuk untuk pelanggan kafe nongkrong dan memesan menu. Panggung dengan gapura seperti candi di salah satu sudut kafe, lengkap dengan set peralatan musik tradisional dan modern, juga sound system sejernih kristal.
Hal lain yang berkesan modern adalah konter bar untuk menyiapkan pesanan pelanggan. Dengan mesin-mesin espresso, drip coffee maker set, grinder, blender, moka pot, lemari es, tempat penyimpanan es batu, dispenser, etalase kaca dan mesin kasir.
Di balik konter bar itulah panggung pertunjukan Raya yang sebenarnya. Menjual dirinya sebagai barista yang meracik apapun minuman yang diminta pelanggan--kecuali es kopi sianida.
Jual diri, astaga, batin Raya sambil geleng-geleng kepala.
"Pekerjaan di dunia ini tuh cuma satu. Jual diri. Apa yang kamu punya dan kuasai, ya itu yang kamu jual, kamu tukar dengan uang agar bisa bertahan hidup. Iya apa iya?" beber Riris saat ia mengemudikan Hyundai Ioniq-nya menuju ladang bisnisnya yang terletak di tengah kota.
Riris dari dulu memang sangat eksentrik. Raya tak pernah berhenti kaget dan takjub setiap melihat kelakuan dan pemikiran sahabatnya itu, saking uniknya, dan kadang di luar nalar.
Termasuk konsep kafe yang menjadi usaha barunya ini.
Kopi Wayang adalah nama kafe yang dibangun Riris, mengusung konsep tradisional-kontemporer-modern, dari dekorasi, menu, sampai service ke pelanggan.
Barista Kopi Wayang wajib mengenakan pakaian tradisional dan menyajikan pertunjukan flash mob berupa tarian tradisional setiap satu jam sekali. Tariannya singkat saja, kadang anggun, kadang rancak, kadang asal dan bergaya humor untuk mengundang tawa para pelanggan. Tergantung dari musik yang diputar Riris saat itu.
Selain itu, Riris juga menyediakan hiburan kecil berupa photo spots yang instagramable ala kerajaan Majapahit lengkap dengan pakaian tradisional yang bisa dipinjam gratis asal membeli menu minimal seharga seratus ribu rupiah. Live music gamelan saat siang, dan mini konser para penyanyi lokal hingga ibukota saat malam dan akhir pekan. Ada juga pojok ramalan tarot setiap hari Minggu.
Barangkali karena konsepnya seunik dan semenarik itu, kafe Kopi Wayang selalu ramai pengunjung. Riris mengaku kewalahan menangani pesanan dibantu empat baristanya--yang salah satunya tiba-tiba resign tanpa pemberitahuan dan alasan yang jelas semalam.
Karena itu Riris pergi menemui Koh Ahwie dan meminta bantuannya. Koh Ahwie bukan hanya menjadi pemasok kopi untuk kafe Riris, namun juga bisa merekomendasikan orang untuk menjadi barista karena koneksi Koh Ahwie cukup luas di kalangan para pemilik kafe dan barista yang juga menjadi langganannya. Koh Ahwie juga biasa menjadi sumber informasi jika ada kafe yang buka lowongan, atau rekomendasi barista mumpuni yang siap di-hire asal bayarannya cocok.
Riris merasa beruntung bertemu kembali sahabat lamanya di Kedai Kopi milik Koh Ahwie. Jujur Raya adalah salah satu inspirasinya membuka usaha kafe ini. Raya-lah yang dulu memperkenalkan aneka cita rasa kopi yang menakjubkan lidah melalui racikan yang dibuatnya sendiri. Raya juga kerap membuatkannya cappuccino dengan aneka art latte menawan setiap Riris berkunjung ke rumahnya.
"Kok bisa sih elo sejago ini soal kopi?" Riris tak bisa menyembunyikan kagumnya saat itu.
Raya mengangkat bahu. "Nggak juga sih. Mungkin karena waktu kecil, Ayah selalu mengajakku setiap belanja biji kopi dan menunjukkan semuanya padaku mulai dari proses roasting, grinding, racik, sampai penyajian. Di mataku yang masih anak-anak, itu permainan yang lebih seru daripada playstation atau hot wheels atau istana boneka. Setelah Ayah nggak ada, aku menemukan banyak catatan dan rekaman videonya soal kopi itu. Aku tertarik belajar. Keterusan sampai sekarang."
Itu pertama dan terakhir kalinya Raya membicarakan ayahnya. Riris tahu ayah Raya adalah terpidana mati yang kasusnya sempat menghebohkan seisi negeri di tahun 2010. Tak ada yang tahu Raya adalah putri pembunuh itu--Riris kebetulan tahu karena pernah melihat foto lelaki itu terpajang di kamar Raya, tampak bahagia saat memeluk anaknya di atas komidi putar.
Raya mungkin tidak menduga Riris akan tahu dan ingat bahwa ayahnya persis sosok kriminal yang muncul di media saat usia mereka masih tujuh tahun. Sejak kecil, Riris punya daya ingat fotografis yang sangat kuat. Ia bisa ingat apa saja dengan sekali lihat. Membuka kafe Kopi Wayang pun Riris mengandalkan ingatannya mengenai beberapa racikan kopi Raya yang dibuatnya di depan Riris saat main ke rumah Raya. Racikan-racikan itu yang menjadi signature coffee di Kopi Wayang dan laris diorder sampai sekarang.
Karena itu, Raya kaget saat melihat daftar dan resep menu di konter bar.
"Iya, itu resep lo," Riris nyengir. "Gue masih inget semua jenis kopi yang elo bikinin setiap kali gue main ke rumah lo. Gue nggak jago bikin kopi, tapi gue kangen kopi buatan lo, gue kangen lo... cuma elo yang mau nerima gue apa adanya, dukung gue di saat semua bilang gue aneh. Karena itu gue bikin kafe ini, untuk mengenang persahabatan kita waktu itu... dan gue nggak nyangka, kafe ini juga yang akhirnya bikin gue ketemu lagi sama lo, setelah sekian lama kita terpisah...."
Sejenak, kedua perempuan itu saling memandang dengan mata berkaca-kaca, tak sanggup bicara.
Tiba-tiba terdengar suara denting lonceng di pintu depan. Sepasang kekasih masuk sambil memandang sekitar dengan penuh semangat.
"Selamat datang di Kopi Wayang!" sambut salah satu barista anak buah Riris. "Ingin pesan apa, kak?"
Raya bergegas mempersiapkan diri di balik mesin espresso. Riris tersenyum.
"Jadi, siap jual diri malam ini, bestie?"
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
🍃🦂 Nurliana 🦂🍃
😄 istilah yg menyeramkan
2024-06-18
2
Sri Utami
bissaaa ae jual diri thor🤣🤣
2024-06-17
1
💫0m@~ga0eL🔱
Manager? barista ? pengusaha coffee shop ? mencurigakan 🤣✌️
2024-06-03
2