"Tujuh tahun lalu, saya hampir mati bunuh diri."
Hening. Seisi kafe membeku dan membelalak. Terguncang dan sukar percaya.
Termasuk Raya.
"Saat itu, Ibu saya baru saja meninggal... karena kecelakaan tragis. Kecelakaan yang terjadi karena kebodohan saya. Harusnya saya yang mati saat itu. Tapi Ibu menyelamatkan saya. Malaikat maut menjemputnya detik itu juga."
Tatapan Sam menerawang, berkaca-kaca. Sudut bibirnya melekuk muram.
"Semua menyalahkan saya. Tapi tudingan mereka nggak lebih menyakitkan dari diri saya sendiri... saya yang paling menyalahkan diri saya sendiri. Saya yang paling benci nyawa ini selamat sementara Ibu tidak. Malam itu, saya lari ke pantai, memutuskan menenggelamkan diri di gulungan ombak tinggi."
Perlahan, Raya teringat peristiwa tujuh tahun lalu.
***
15 April 2015.
Di pantai selatan, saat bulan purnama bertahta sempurna, dan laut meninggi seakan memujanya.
Raya sengaja berdiri di pantai sambil memegang kamera lensa tele tua milik mendiang ayahnya. Ayahnya sudah lama meninggal, tapi jiwanya seakan terus ada dalam diri Raya. Kecintaannya terhadap kopi, sastra, dan seni fotografi juga mengalir deras dalam nadi Raya.
Barangkali karena Raya sangat sayang dan rindu ayahnya, ia hampir selalu berkutat dengan semua barang peninggalan sang ayah. Buku-buku tentang kopi dan puisi. Novel-novel fiksi ilmiah dan fantasi. Video tentang kopi, musikalisasi puisi, film-film pemenang penghargaan Oscar dari tahun ke tahun. Album foto hasil jepretan sang ayah yang diambil dengan kamera lensa tele di saat senggang.
Semua itu mengobati kangen Raya. Membuatnya menyukai hal yang sama dengan ayahnya.
Dan malam itu, di hari ulang tahunnya, ia sengaja pergi ke pantai untuk memotret bulan. Ritual ini selalu dilakukan ayahnya saat masih hidup dulu, mengajaknya melihat dan memotret bulan purnama di alam terbuka, di malam kelahirannya.
"Kamu lahir saat Dewi Malam sedang di puncak kecantikannya. Karena itu namamu Raya Purnama."
Begitulah ayah Raya. Puitis dan romantis, bahkan terhadap anaknya sendiri. Tak heran, sang ayah pun selalu menjadi cinta pertama Raya.
Aku mau kalau menikah nanti, dengan laki-laki kuat dan romantis seperti Ayah, batin Raya saat itu.
Saat Raya dengan gembira membidik cahaya bulan yang menginspirasi namanya, seseorang berlari cepat di sebelahnya, tergesa menuju laut.
Raya melihat remaja laki-laki tinggi dan tegap itu tidak berhenti menerobos ombak bahkan setelah air laut sudah mencapai pinggangnya.
Dia mau mati?!
Raya meletakkan kamera di atas pasir dan tanpa pikir panjang berlari ke laut yang mengganas.
"BERHENTI!"
Raya menjerit setengah mati. Tapi laki-laki itu tidak menoleh dan terus maju.
"TOLONG!"
Raya terpeleset karang licin dan ombak besar menggulungnya. Jeritan terakhir Raya itu berhasil membuat laki-laki itu menoleh. Wajah pucatnya terkejut saat melihat Raya melambaikan tangan dan terseret ombak.
Raya tidak bisa berenang.
Dalam sekejap ia tenggelam dalam pusaran. Tak bisa bernapas. Tak bisa kembali ke permukaan seberapapun kerasnya ia mencoba.
Air membanjiri hidung dan tenggorokannya. Pahit, asin. Kepala dan dadanya seakan terbakar.
Raya tak tahan lagi. Tubuhnya mengejang. Kesadarannya hilang.
Ayah...
Saat Raya membuka mata perlahan, ia melihat cahaya. Dalam hati ia berharap itu pantulan langit surga. Dan seraut wajah samar yang memasuki netranya adalah ayahnya yang abadi dalam kemudaan.
Tapi itu bukan ayahnya.
Ia juga tak berada di surga.
Wajah itu adalah laki-laki yang setengah mati dikejar Raya karena hampir bunuh diri, dan ia terbaring di kamar rumah sakit kini.
"Sudah sadar?" laki-laki itu menatapnya muram.
Ajaib juga aku masih hidup, batin Raya sambil merasakan tubuhnya sendiri. Ototnya lemas dan kepalanya agak pusing.
"Berapa lama aku nggak sadar?" tanya Raya parau. Tenggorokannya juga terasa sakit.
"Semalaman," sahut laki-laki itu singkat.
"Aduh... aku harus mengabari Mamaku! Mama pasti cemas! Eh... mana HP-ku?"
"Nih," laki-laki itu menyodorkan ponsel Raya yang dalam keadaan mati total. "Nggak bakal bisa dipake. Udah rusak kena air laut."
"Yaah," gumam Raya kecewa. "Pinjam HP-mu dong... aku mau telepon Mamaku. Mama pasti cemas nyariin aku..."
"HP-ku juga rusak."
Raya betul-betul panik sekarang. "Terus aku harus gimana sekarang?"
"Minta tolong suster saja nanti untuk menghubungi ibumu," kata laki-laki itu sambil berdiri dan melambai. "Aku pergi."
"Tunggu! Jangan! Aduh!"
Raya terbelit selang infus dan terjatuh keras di lantai saat berusaha mengejar laki-laki itu, membuatnya kaget dan berbalik.
"Kenapa kamu begini?!" laki-laki itu membantu Raya kembali ke tempat tidur dan menghardiknya. "Kenapa kamu selalu membuatku berbalik dan kembali? Aku mau pergi!"
"Bagus, kan?!" Raya menantang balik, tak gentar. "Aku akan terus mengejarmu. Jatuh. Luka. Tenggelam. Apa aja, aku nggak peduli. Pokoknya kamu nggak boleh pergi selama aku masih hidup!"
"Kenapa?! Apa pedulimu?!"
"Karena aku nggak mau lagi gagal menyelamatkan orang lain!" jerit Raya histeris.
Laki-laki itu tertegun. Tidak menyangka mendengar jawaban itu dari bibir Raya, yang kini gemetar di antara linangan air mata.
"Ayahku meninggal lima tahun lalu. Aku nggak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkannya. Apa kamu tahu betapa menyakitkannya itu?"
Bola mata hitam Raya mengunci laki-laki itu, ekspresi wajahnya menunjukkan lara luar biasa.
"Aku juga...," laki-laki itu menunjukkan sisi rapuhnya dan meneteskan air mata. "Ibuku pergi dan aku nggak bisa menyelamatkannya..."
Raya menyedot ingus dan mengulurkan kelingkingnya.
"Kalau begitu, ayo janji saling menyelamatkan!" pinta Raya. "Kamu tahu rasa sakitnya nggak bisa menyelamatkan orang yang paling kamu sayang. Kita nggak saling kenal, tapi paling nggak, jangan menambah luka batin masing-masing yang sudah menganga parah. Mari berjanji untuk menyelamatkan hidup satu sama lain, apapun yang terjadi!"
Laki-laki itu menangis sejadinya, dengan gemetar menautkan kelingkingnya di kelingking Raya.
"Ya..."
Raya menghapus air matanya dan tersenyum.
"Namaku Raya. Raya Purnama."
Laki-laki itu terdiam sejenak.
"Namaku Satria. Satria Garuda."
***
Raya bagai disambar petir sekarang.
Ia ingat, itu adalah peristiwa pertamanya bertemu Satria Garuda. Remaja laki-laki tampan misterius yang kemudian menjadi teman jauhnya.
Betul-betul jauh. Sebab setelah peristiwa itu, Satria tak pernah muncul lagi di hadapan Raya. Namun ia meninggalkan nomor HP-nya, dan selalu cepat menjawab telepon dan membalas semua pesannya. Raya rajin mengontaknya karena ingin memastikan Satria masih hidup dan tidak mengingkari janjinya.
"Kamu di mana sih?" Raya tak tahan lagi bertanya setelah sekian purnama Satria menolak ajakan untuk ketemu dan nongkrong di kafe. "Diajakin ketemu kok nggak pernah bisa? Kamu nggak jawab teleponku dari alam baka, kan?"
Satria tertawa.
"Nggak lah. Emang di alam sana ada sinyal? Aku lagi sekolah di Los Angeles. Makanya kita nggak bisa ketemu, Ra."
"Ooh. Pantes. Jauh amat sih kamu sekolah. Emang di sini nggak ada sekolah bagus apa?"
Raya tak bisa menyembunyikan rasa kecewa di hatinya.
"Ini perintah ayahku. Aku harus sekolah di sini supaya bisa meneruskan perusahaan keluarga."
"Bisnis apa emang sampai harus sekolah di Amerika?" Raya cemberut.
"Kebenaran."
"Hah?!"
"Iya. Pekerjaanku nanti mengungkap kebenaran."
Raya sama sekali tidak mengerti. Tapi entah bagaimana, saat Satria berkata begitu, sosok fiktif Sherlock Holmes dan Detective Conan malah muncul di kepalanya.
"Semacam detektif?"
"Begitulah."
Raya ingat betul semua itu. Karena itulah, ketika ia ditinggal dan diabaikan Sambara Bumi sepenuhnya setelah menikah, Raya meminta tolong pada Satria. Satu-satunya orang yang paling bisa membantunya saat itu, dengan kemampuannya yang mumpuni dan juga janji lama yang tak pernah diingkari.
Raya dan Satria tak pernah bertemu. Sampai sekarang.
Namun malam ini, di bawah lampu sorot yang meniru bulan pucat, Raya menatap laki-laki di depannya, nanar.
Ia semakin tak asing dengan mata, hidung, dan bibir itu. Suara lembut yang selalu menjawab teleponnya itu juga mirip.
Kenapa... kenapa aku nggak menyadarinya sebelumnya?
Siapa kamu sebenarnya?
Samudera Dewa atau Satria Garuda?
Penyanyi yang suaranya membuatku jatuh hati, atau laki-laki penyelamat hidupku yang tak pernah ingkar janji?
Yang benar yang mana?
"...jadi begitulah, kawan-kawan, alih-alih bunuh diri, saya akhirnya bersedia berjanji dengan Raya untuk tidak melakukannya lagi--untuk saling menyelamatkan hidup masing-masing. Ya, dia telah mengubah pendirian saya dan membuat saya tetap hidup sampai sekarang. Karena dialah, saya bisa menyanyikan lagu-lagu indah untuk kalian. Saya rasa, kita harus berterima kasih padanya untuk itu."
Samudera, atau Satria, bertepuk tangan tulus. Seisi kafe menirunya. Sorot mata mereka mulai berubah saat memandang Raya yang membeku di atas panggung.
"Kenapa saya mengajak Raya berduet malam ini? Karena saya tahu, suara Raya bagus sekali. Saya penyanyi dan musisi, saya tahu suara mana yang memiliki potensi emas hanya dengan mendengarnya bicara sepatah kata. Pendengaran saya sempurna. Mari kita buktikan, ucapan saya benar atau enggak."
Samudera mengulurkan sebuah mic kepada Raya, yang menerimanya dengan jemari gemetar dan ekspresi gundah.
"Menyanyilah bersamaku, Raya."
Samudera mendentingkan gitarnya. Melodi My Love mengalun indah di udara. Penonton bersorak dan belum-belum sudah terpesona.
Samudera menyanyi lebih dulu, mengambil nada tinggi sejak awal dengan sempurna.
"Right in front of you
I'm standing with so much joy
My heart beats fast
When I hold you
And when my hand touches your hand..."
Giliran Raya. Raya menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata, menyanyikan liriknya dengan nada rendah namun terdengar sangat indah.
"I feel so lucky
Cause right now I'm feeling your love
You're the most beautiful on earth
I know it since the day we met..."
Dada Raya bergetar. Samudera mengambil alih lirik berikutnya, nadanya kian tinggi dan lembut.
"Promise me my love,
That you won’t break my heart
I've been hurt before
Don't tear me apart..."
Penonton riuh saat Samudera melengkingkan nada di lirik terakhir dengan sangat merdu.
Nyanyian Raya kian mengalir.
"No, I know you are not my first love
But I hope that from today
We can say history stays history
And you will always love me..."
Samudera dan Raya kemudian saling bergiliran menyanyikan tiap baris lirik selanjutnya, saling memberikan harmonisasi secara alami.
"What I feel with you
Is so much more than I once had..."
"No one compares to what you are
I know I knew it from the start..."
"Promise me my love,
Don't take another heart..."
"I've been hurt before
I want a new start...!"
Raya hampir menangis saat menyanyikan lirik itu. Sangat mengena di hatinya.
Samudera melanjutkan, Raya mengimbangi.
"No, I know you are not my first love
But I hope that from today..."
"We can say history stays history
And you will always love me..."
Sam dan Raya kian serasi.
"I want you to know that
My heart’s always true to you..."
"Don't want nothing else
Cause I know I only want..."
Raya berhasil menyanyikan lirik terakhirnya dengan nada tinggi yang memukau.
Dan tibalah di bagian puncak yang dinanti semua orang.
"Your love... ooooohhh..."
Nada Samudera luar biasa tinggi, panjang, tanpa cela. Seisi kafe bersorak dan benar-benar jatuh cinta.
Samudera tersenyum. Raya memandangnya sambil meneteskan air mata.
Mereka menyanyikan bagian chorus sekali lagi, dan Samudera menutupnya dengan sangat epik.
"Us two
Till eternity..."
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Hera Puspita
waw....🥰🥰
2024-07-23
0
🍃🦂 Nurliana 🦂🍃
😊🥰🥰🥰
2024-06-18
0
Sri Utami
sesama armyyyy qt🤭🤭😍
2024-06-17
1