"Bagaimana pekerjaanmu sejauh ini di kafe itu, Nak? Apa kamu menikmatinya?"
Lintang Wening, ibu Raya Purnama, memandang putrinya lembut seraya menyodorkan semangkuk nasi soto ayam hangat ke atas meja makan bundar sederhana, tepat di depan Raya.
"Menyenangkan, Ma," Raya nyengir. "Kafenya ramai terus. Tempatnya nggak membosankan. Rekan-rekan kerja dan atasan Raya semuanya sangat menyenangkan. Raya beruntung bisa kerja di sana."
"Syukurlah, Nak," Lintang tersenyum dan duduk di seberang Raya. Sesaat Lintang memejamkan mata dan memijat tengkuknya.
"Masih pusing, Ma?" tanya Raya prihatin. "Kita ke dokter aja, ya...?"
"Nggak usah, Nak...," Lintang tersenyum dan menggeleng. "Mama udah minum obat. Sebentar juga baikan. Biasa begini memang."
"Ya siapa tahu obatnya udah nggak cocok lagi, Ma, perlu ganti dosis atau gimana... itu kan obat resep dari dokter tiga bulan lalu. Mama udah harusnya kontrol lagi."
"Mama baik-baik aja, Nak... jangan khawatir," kata Lintang lembut. "Kalau kamu ada uang, kamu bawa aja Rona ke dokter spesialis. Kasihan demamnya nggak sembuh-sembuh kalau cuma dibawa periksa ke puskesmas..."
Raya terdiam sejenak. Hatinya gundah.
"Bunda..."
Panjang umur, Rona melangkah keluar dari kamar yang tak jauh dari dapur sekaligus ruang makan. Gadis kecil sangat cantik berusia lima tahun itu menggosok matanya dan menguap, gaun merah muda selututnya tampak kusut. Wajahnya pucat dan dipenuhi bintik-bintik keringat.
"Rona, Sayang, sini," Raya menepuk pahanya. Putri kecilnya itu tersenyum dan melompat naik ke pangkuan ibunya dengan gembira.
Raya memeluk Rona, sejenak meraba kening dan leher anaknya. Demamnya sudah turun setelah minum obat dan tidur siang.
"Bunda suapin soto... mau, ya?" bujuk Raya.
Rona menggeleng.
"Nggak lapal, Bunda..."
Raya tak mau menyerah, apalagi Rona hanya makan tiga sendok nasi ketika tengah hari tadi, sebelum minum obat.
"Dikiiit aja, tiga sendok juga nggak apa," bujuk Raya. "Biar Rona cepat sembuh. Kalau Rona sakit terus, nanti Bunda nggak bisa ajak Rona naik bis dan beli es krim di taman... Rona nggak pengen es krim?"
"Pengeen," ekspresi Rona tiba-tiba cerah. "Yang lasa tobeli ya, Bunda?"
"Iya, rasa strawberry, kesukaan Rona," janji Raya. "Tapi makan dulu, ya... Bunda suapin..."
Raya dengan sabar menyuapi Rona, yang mengunyah dengan sangat lambat dan lama.
"Mau disuapin Nenek?" Lintang menawarkan lembut.
Rona menggeleng. Tiba-tiba ia menekap mulutnya, seperti akan muntah.
"Sayang, Rona nggak apa-apa...?"
Rona tak bisa lagi menahannya. Ia pun muntah di pangkuan Raya, membuat Raya dan Lintang panik.
"Rona, Nak...! Rona nggak apa-apa?"
Rona tersengal. Ia mengusap mulut dengan tangan gemetar, lalu menangis.
"Mana yang sakit, Nak...?" tanya Lintang sambil meraba kening cucunya dengan cemas.
Rona menunjuk perut dan kepalanya sambil terus menangis. Raya merasa hatinya retak dan berharap dirinya saja yang sakit saat itu.
Tiba-tiba, bel di pintu depan berbunyi.
"Itu pasti Nak Riris, mau jemput kamu kerja seperti biasa," gumam Lintang. "Kamu temui dia dulu gih... biar Mama urus Rona..."
"Jangan, biar Raya aja... sekalian Raya juga mau bersihin badan dan ganti baju, ini kena muntahan Rona, Ma... tolong Mama aja yang temuin Riris ya..."
Lintang mengangguk. Raya menggendong Rona ke kamar mandi, dengan lembut melepas gaunnya dan membersihkan muntahan di tubuhnya dengan washlap yang dicelup air.
"Bunda, pusing...," Rona menangis dan merengek.
"Sabar, Sayang, sebentar lagi selesai..."
Usai membersihkan tubuh Rona, Raya membalutkan handuk bersih dan tebal ke tubuh kecil Rona. Raya bahkan lupa membersihkan dirinya sendiri, dan buru-buru membopong Rona ke kamar.
Raya membaringkan Rona di atas tempat tidur besar yang biasa ditidurinya bersama Rona. Dibalurkannya minyak telon ke perut, dada, dan punggung Rona, lalu memakaikan gaun tidur bersih berwarna biru.
"Minum sedikit ya Sayang..."
Raya membujuk Rona minum sedikit air putih hangat.
"Udah...," Rona menggeleng. "Lona mau bobo..."
Raya termangu. "I... iya... Rona boleh bobo..."
Rona merebahkan kepalanya ke atas bantal dan memejamkan mata. Jejak air mata masih berkilauan jelas di pipinya yang pucat dan tirus.
Raya pun meneteskan air matanya.
"Raya... dicari Riris," bisik Lintang saat memasuki kamar. "Temuin dia dulu gih. Biar Mama yang jagain Rona."
Raya menghapus air matanya. "Iya, Ma..."
Riris duduk di ruang tamu, seperti biasa mengenakan kemben, celana jeans selutut, dan selendang panjang. Matanya melebar saat melihat Raya tampak kusut dan berlumur muntahan muncul dari dalam rumah.
"Elo kenapa, Ra? Sakit?" tanya Riris khawatir.
"Bukan aku... Rona," sahut Raya, baru sadar ia lupa membersihkan diri di kamar mandi tadi. "Bentar ya... aku ganti baju dulu..."
Raya kembali ke kamar mandi, membersihkan diri, dan mengganti pakaiannya dengan setelan blus biru dan celana panjang hitam yang diambilnya dari jemuran belakang. Ia tak mau masuk kamar dan membuka pintu lemari tua yang berderit untuk mengambil pakaian. Ia tak mau mengganggu istirahat Rona.
"Rona sakit apa?" tanya Riris saat Raya muncul kembali dan duduk di sebelahnya.
"Demam," sahut Raya lesu. "Barusan muntah. Katanya perutnya sakit dan kepalanya juga pusing."
"Udah berapa lama demam? Udah dibawa ke dokter?"
"Rona sering demam akhir-akhir ini. Naik turun. Udah kubawa ke puskesmas. Terakhir cek darah tiga hari lalu, katanya kemungkinan infeksi... udah dikasih obat, tapi kayaknya nggak mempan..."
"Elo nggak bawa Rona ke rumah sakit? Lab rumah sakit kan lebih lengkap dan canggih dari puskesmas! Penyakit Rona bakal lebih cepet ketahuan kalau diperiksa menyeluruh!"
Raya menarik napas dalam-dalam, raut wajahnya tertekan.
"Ris... aku minta maaf, tapi boleh nggak aku pinjam uang buat Rona berobat ke rumah sakit? Kamu boleh potong gajiku atau nggak gaji aku sama sekali... maafin aku udah ngerepotin... tapi aku bener-bener butuh..."
Riris terdiam. Sejenak tampak memikirkan sesuatu.
"Ya udah... yuk kita bawa Rona ke rumah sakit sekarang..."
Raya begitu lega, hingga hampir menangis rasanya.
"Thanks, Ris..."
Dalam waktu tiga puluh menit, Riris, Raya, dan Rona sudah berada di rumah sakit swasta khusus anak di tengah kota. Bangunannya mewah seperti hotel bintang lima, membuat Raya menelan ludah. Jelas biaya periksa dan berobat di tempat ini tidak murah.
Riris yang mengurus pendaftaran, sementara Raya duduk di sofa lobi depan sambil menggendong Rona yang terus memejamkan mata.
"Bunda... pulang aja...," rengek Rona gelisah.
"Sabar, Sayang... ketemu dokter dulu biar cepet sembuh, ya..."
"Nggak mau... nggak mau disuntik..."
"Nggak disuntik kok, Sayang... dokternya baik, kok... diperiksa bentaar aja... habis itu pulang, Bunda janji..."
"Yuk," Riris mengajak Raya beranjak.
"Sekarang?" Raya kaget.
"Ya sekarang lah Ra! Masa tahun depan?!" Riris melotot. "Yuk, ah, buruan. Gue jamin dokternya oke. Dia temen nongkrong gue waktu di Aussie."
Raya mengerjap. Ia yang terbiasa antri lama saat hendak periksa di puskesmas, jelas merasa aneh dengan pelayanan yang sat-set ini. Entah karena memang rumah sakit ini sistem penanganan pasiennya sangat cepat, atau karena salah satu dokternya adalah kenalan Riris... Raya tak tahu mana yang benar.
Yang pasti, saat uang dan koneksi bicara, segalanya berlangsung begitu cepat dan mudah.
Raya teringat Sam. Batinnya getir.
"Sienna!"
Riris melambai ceria saat memasuki kamar periksa yang dekorasinya lebih mirip kamar tidur Rona saat masih tinggal di mansion Sam. Mewah, luas, banyak mainan dan bertema unicorn aneka warna.
"Eh, kamu, Ris," Dokter Sienna bangkit dan tersenyum. Ia sangat cantik. Kulitnya bersih, wajahnya berbentuk hati, matanya cokelat, hidung lurus, bibir dan pipi merah alami. Rambut cokelat panjangnya dikuncir rapi, memperlihatkan bentuk leher yang indah dan jenjang. Ia lebih mirip model papan atas atau kontestan ratu kecantikan ketimbang dokter spesialis anak.
"Apa kabar?" Dokter Sienna menjabat tangan Riris hangat. "Siapa yang sakit, Ris?"
"Gue baik," Riris mengangguk. "Ini, anak sohib gue... demam naik-turun. Tadi sempat muntah. Katanya perut dan kepalanya sakit."
"Halo, nama saya Dokter Sienna," Dokter Sienna memperkenalkan dirinya dengan ramah, lalu melirik tablet di tangannya sekilas. "Bunda Raya dan anak Rona, ya?"
"Iya, dok," angguk Raya.
"Rona pusing ya... bobo sini dulu ya... ditemani unicorn biru, mau? Namanya Bimbi."
"Mana...?" Rona membuka mata dan melirik sekitar penuh minat.
"Itu. Yuk kenalan dulu. Ada Bimbi, Pinkan, Malala, Hihio..."
Dokter Sienna mengajak Rona mengobrol di atas tempat tidur sambil memainkan boneka-boneka unicorn warna-warni. Meski pusing dan lemas, Rona tampak sedikit cerah ketika memeluk dan membelai boneka dengan bentuk karakter dongeng favoritnya. Saat Dokter Sienna menekan hidung salah satu boneka hingga muncul suara menyapa yang lucu, Rona terkejut dan tertawa.
"Halo! Namaku Bimbi! Aku suka apel! Namamu siapa? Kamu suka apa?"
"Namaku Lona," sahut Rona gembira. "Aku suka tobeli, es klim tobeli..."
Rona memencet boneka-boneka lainnya, bermain dan bicara dengan ceria. Ia tidak sadar saat Dokter Sienna terus mengajaknya ngobrol sambil memeriksanya dengan stetoskop, termometer infra merah, menyuntik sesuatu bahkan mengambil sampel darahnya dengan jarum dan teknik khusus yang tidak menimbulkan sakit sama sekali.
Dokter Sienna benar-benar cekatan dan sangat ahli. Raya terkagum-kagum melihatnya.
"Sample darah Rona harus diperiksa dulu di lab ya, Bunda, sekitar satu jam lagi baru ketahuan hasilnya," ucap Dokter Sienna. "Sekalian saya mau rontgen dada dan perut Rona, boleh ya? Untuk melengkapi hasil pemeriksaan."
Raya mengangguk.
Proses rontgen berlangsung cepat dan mudah. Rona sama sekali tidak rewel. Bahkan tertidur saat selesai di-rontgen.
"Tadi saya menyuntikkan obat demam dan anti-mual, Bunda. Efek sampingnya bikin Rona mengantuk," jelas Dokter Sienna, setelah mereka kembali ke kamar periksa.
"Kira-kira Rona sakit apa ya, dok?"
"Maaf saya belum bisa memastikan, Bunda, harus tunggu hasil tes darah dan foto toraksnya dulu," sahut Dokter Sienna lembut. "Rona boleh tidur di sini. Saya akan memeriksa pasien di kamar periksa lain. Nanti saya kembali setelah hasilnya keluar. Permisi ya."
"Thanks ya Sienna," ucap Riris saat Dokter Sienna melenggang keluar.
"Anytime, Ris," Dokter Sienna tersenyum dan pergi.
Raya menghela napas dan duduk di ujung tempat tidur dengan murung.
"It will be okay," Riris menepuk bahu Raya. "Rona bakal baik-baik aja, Raya, lo jangan khawatir."
"Iya aku tahu...," gumam Raya lirih. "Thanks ya Ris... kalau bukan karena kamu, aku mungkin nggak bisa membawa Rona periksa ke tempat sebagus ini... padahal Rona berhak dapat yang terbaik untuk hidup sehat dan bahagia... tapi aku nggak bisa kasih itu... aku ini ibu yang buruk..."
"Hei," Riris tertegun sejenak, lalu mengguncang bahu Raya yang mulai menangis. "Lo jangan kayak gini dong! Gimana bisa lo nge-judge diri lo kayak gitu? Itu nggak bener! Lo lupa sejak awal lo yang berjuang mati-matian memberikan hak terbaik untuk Rona? Lo bahkan rela ngebiarin diri lo dihina satu dunia supaya Rona dapat akte lahir sah! Lo nggak pernah ninggalin Rona, nggak kayak keluarga Bumi yang brengsek itu! Lo memutuskan dengan berani meninggalkan semua kemewahan hidup, rela dihina di jalan lagi, supaya Rona bisa hidup bebas dan nggak perlu menderita melihat kelakuan ayahnya yang kayak penjahat kelamin itu!
"Bahkan saat lo terpuruk, lo nggak berhenti berjuang menghidupi Rona dengan cara halal! Gimana lo bisa mencap diri lo buruk setelah semua yang lo lakuin buat Rona? Buka mata lo, Raya!"
"Tapi ini semua terjadi karena kesalahan dan dosaku sendiri, Ris!" bantah Raya sesenggukan. "Kalau aja aku nggak melakukan itu, malam itu..."
"Maksud lo, elo nyesal Rona udah lahir ke dunia?"
Raya terkesiap. Kata-kata Riris tajam menyambarnya, seperti kilat api yang menyengat hati.
"Bukan itu..."
"Gue nggak bilang yang lo lakuin malam itu benar. Tapi itu udah terjadi. Karena itu Rona lahir. Itulah takdir," celetuk Riris. "Nggak ada gunanya lo menyesali apa yang udah terjadi. Nggak akan mengubah apapun. Tapi lo nggak boleh nyerah dan terpuruk sekarang. Rona lagi sakit. Rona butuh lo. Kalau lo lemah gini, gimana nasib Rona? Cuma elo yang dia punya di dunia ini.
"Lo mau lihat Rona sehat dan bahagia, kan? Apapun yang terjadi, lo harus berdiri tegak dan kuat, seperti sebelumnya. Kalau perlu, lebih kuat lagi. Cuma itu satu-satunya cara untuk bikin Rona lebih kuat dan bahagia. Karena anak akan meniru apa yang dilihat dari orangtuanya. Lo paham kan sekarang?"
Raya terdiam. Riris menarik napas sejenak, berusaha menangguhkan diri dari emosi.
"Jangan pernah mempermasalahkan ini semua dari siapa... kalau elo percaya Tuhan, elo harusnya tahu anak bawa rezekinya masing-masing," lanjut Riris. "Setiap bayi lahir lemah dan telanjang. Tapi selalu ada pelukan hangat, pakaian, susu, kasih sayang yang mengalir untuk bayi itu--dibuang sekalipun, asal dia masih hidup, dia pasti akan mendapat rezeki itu dari tangan-tangan dan hati-hati baik di sekitarnya. Begitulah cara kerja dunia, Ra. Dan pengobatan Rona kali ini juga cara Tuhan kasih rezeki-Nya dan hak Rona, kebetulan melalui gue.
"Elo nggak perlu mempermasalahkan rezeki dan jalan buat anak lo. Elo hanya perlu nggak berhenti berusaha dan menyayangi Rona dengan cara terbaik yang elo bisa. Elo ngerti sekarang? Jadi jangan lemah dan negative thinking lagi kayak tadi, please!"
Raya menarik napas dalam-dalam. Perlahan ia menghapus air matanya dan tersenyum.
"Makasih, Ris... lo abis kesambet apa? Kok bijak banget gini..."
Riris memutar bola matanya dan terkekeh.
"Abis kesambet Nyi Roro Kidul. Nggak lihat gue kembenan ijo dan cantik gini kayak Nyai? Habis ini gue mau menghadiri upacara pelantikan di pantai selatan. Tapi sorry nih acara privat, lo nggak diundang!"
Raya tertawa pelan.
"Pantes... royal highness pantai selatan emang beda..."
Sekitar tiga puluh menit kemudian, Dokter Sienna kembali memasuki ruangan. Ekspresi wajahnya muram.
Raya mendadak mendapat firasat buruk.
"Hasil pemeriksaan Rona Purnama sudah keluar," Dokter Sienna memandang lurus Raya, tatapannya sedih dan bersimpati.
"Jadi...? Apa hasilnya?" Raya sangat berharap, bukan berita buruk yang akan didengarnya.
"Dengan berat hati saya sampaikan, Rona positif mengidap leukemia."
...***...
Sienna Adams
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
🍃🦂 Nurliana 🦂🍃
Kasian rona 🥲
2024-06-18
1
Esther Lestari
Leukimia😱😥😥
2024-06-18
1
Lena Sari
cobaan lagi ya raya,semangat nak
2024-06-16
1