BAB 20

Matahari tak sedang bersinar. Pelangi masih enggan menampilkan keindahannya. Rembulan dan bintang pun belum saatnya menerangi pelataran gelapnya malam. Lantas, mengapa bisa aku berada di ruangan yang bahkan tak ku ketahui sama sekali?

Ruangan putih dengan cahaya silau masih tak cukup bisa untuk kudeskripsikan dimana aku sekarang. Aku tak tahu kenapa bisa aku terjebak di sini. Yang ku ingat, aku pingsan karena penyakitku kembali relapse dan Mas Ali membopongku untuk ke rumah sakit. Selebihnya....aku tak ingat apapun.

"Fatimah...."

Pandanganku mengedar, mencari suara yang sangat kurindukan tengah memanggil. Namun, tak ada siapapun di sana. Tak ada manusia yamg ikut terjebak bersamaku.

"Fattana, kamu dimana?!"

Ya, suara yang ku dengar tadi adalah suara Fattana—kembaranku. Betapa sangat kurindukan suara itu. Suara yang selalu mengeluarkan lantunan indah ayat-ayat suci Allah.

"Aku di sini, Fatimah...."

Ku lihat di ujung tempat ini. Ada pusaran yang memancarkan cahayanya. Bibirku mengembang kala melihat wanita dengan gamis dan khimar serba putih nan cantik. Paras yang sama persis di hadapan aku saat ini. Dia kembaranku, Fattana. Sungguh? Aku bertemu dengannya?

"Fattana...."

Wajahnya memancarkan sinar cahaya bagai rembulan. Wajahnya sangat cantik dan tak ada luka pasca kecelakaan lagi di sana. Tangannya membentang. Kakiku pun seolah paham dan respect untuk langsung berlari mendekatinya berharap melepas segala kerinduan yang sudah sangat mendalam.

Aku memeluknya. Aku dapat merasakan kehangatan peluk Fattana lagi. Pelukan yang benar seperti Umi yang memelukku, terasa sangat damai.

"Kamu sedang mengandung?" Tanyanya.

Aku pun melerai pelukan kami. Anggukan kepalaku menjadi jawaban akan pertanyaan darinya. "Kamu akan punya keponakan, Anna."

Senyuman cantik nan anggun Fattana pun mendominasi wajahnya. Melihat Fattana sama saja melihat diriku sendiri, wajahnya persis sepertiku.

"Banyak yang menantikannya."

Aku tersenyum dengan sangat lebar. "Kamu tahu? Aku menikah dengan lelaki pilihan Allah."

Ku lihat Fattana mengangguk kecil dan ikut berbahagia. "Allah sungguh adil memberikan lelaki yang mencintai kamu disaat kamu lebih mencintai Allah, Fatimah."

"Allah selalu adil pada setiap hambanya, Fattana."

Fattana kembali mengangguk. Aku tam tahu, sebahagia apa aku saat ini. Aku dapat kembali bercerita pada Fattana. Biasanya Fattana yang akan bercerita, tetapi entah mengapa kali ini aku ingin bercerita banyak padanya.

"Umi dan Abi masih sangat merindukan kamu..." Aku menundukkan kepala. Saat mengingat betapa umi dan abi merindukan Fattana kala menyebut namanya di setiap doa mereka hingga menangis.

"Aku tahu, Fatimah. Doa Umi, Abi, kamu dan semua orang yang sayang padaku telah sampai. Aku ke sini untuk satu hal, Fatimah."

Aku mengernyitkan dahi bingung. Fattana mengusap bahuku. Melihat Fattana seolah aku tengah bercermin. "Apa?"

"Jodoh, rezeki dan maut sekali pun sesungguhnya hanya Allah yang Maha Mengetahui. Nabi Muhammad pun tak tahu akan hal itu. Dari itu ku mohon, bertahan dan tetaplah berjuang melawan rasa sakitmu. Sesungguhnya Allah memberikan rasa sakit itu karena ia mencintai kamu, Fatimah. Allah sangat mencintai seluruh hamba-Nya."

Aku meraih kedua lengannya. Tersenyum manis dan ceria adalah hal yang selalu kulakukan saat bersama Fattana. Sejak dulu, Fattana adalah duniaku. Bersama Fattana, aku dapat mendengar cerita bagaimana alam ciptaan Allah yang sangat indah di luar sana. Setelah aku didiagnosa mengidap penyakit gagal hati dan berujung kronis, aku tak lagi melanjutkan pendidikan di pesantren. Mulai saat itu pula Fattana menjadi guruku seperti Umi dan Abi yang mendidik aku.

"Aku tahu itu, Fattana. Aku pun tengah berjuang kembali."

"Ku tahu kamu bisa, dan Allah pasti selalu melindungi kamu Fatimah. Cobalah untuk jujur pada suamimu, dia sangat mencintai kamu saudariku."

Aku mengangguk cepat. Aku berjanji pada hatiku, jika aku kembali maka aku akan mengatakan yang sejujurnya.

"Fatimah, tetap ingat akan kematian yang sudah Allah tetapkan. Dunia hanya kehidupan yang fana, maka akhirat-lah yang abadi. Aku pamit, Fatimah...."

Aku menggeleng tak ingin kembali berpisah dengan Fattana. "Fattana! Fattana aku nggak mau pisah lagi, Anna. Anna!!!!!"

****

Hamparan suhu dingin terasa menerpa kulit wajahku kala mata tak kunjung terbuka. Ingatanku terlintas pada pertemuan singkat bersama Fattana di tempat yang tak aku ketahui dimana itu. Kerinduan yang kurasakan dan ku ungkapkan dalam doa kini seolah sudah terlepas. Aku merasa itu bukan sebatas mimpi, bahkan seperti nyata. Namun, apa mungkin?

"Sayang..., kenapa nggak jujur sama aku, suami kamu. Kenapa kamu sembunyikan penyakit itu dari aku? Kenapa, Sayang?!"

"Kamu takut kerjaan Mas terbengkalai? Kamu takut kalau Mas lebih prioritasin kamu? Kenapa, Sayang? Sejak ijab terkabul dari bibirku, maka sesungguhnya aku siap sepenuhnya menjagamu, istriku."

Dapat kudengar jelas suara Mas Ali yang berat, serak dan terisak. Genggaman tangannya pun terasa dingin. Aku tahu dia menangis. Sejak kapan? Dan... Apa Mas Ali sudah mengetahui tentang penyakitku? Namun, dari siapa ia mengetahui itu?

Air mataku pun mengalir, perlahan netraku terbuka. Ku lihat Mas Ali yang menggenggam tangan kananku juga menciumnya dalam seiring memejamkan matanya.

Aku sangat merasa berdosa. Kebohongan yang kupendam kini telah diketahui Mas Ali dari orang lain, bukan dari mulutku sendiri.

"Mas..." Suaraku yang sangat pelan dan bergetar pun mampu membuat kepala Mas Ali terangkat.

Matanya membengkak, merah, dan wajahnya sangat kusut. Sudah berapa lama suamiku menangis? Hatiku terasa sangat sakit melihatnya.

"Alhamdulillah Ya Allah... kamu udah sadar, Sayang.... apa yang sakit? Mas panggil dokter, ya?" Bibirnya tersenyum, tetapi masih dapat kulihat luka di matanya.

Saat Mas Ali beranjak, aku pun menahan tangannya. "Kenapa, Sayang?"

Aku menggeleng pelan, menandakan jika bukan dokter yang kubutuhkan saat ini. Mas Ali pun kembali duduk. Matanya terlihat sayu menatapku sedu. Bibirnya terus menampakkan senyuman. Mas Ali pun tak membahas tentang apa yang ia tahu.

"Masih sakit perutnya?" Tanya Mas Ali sangat lembut.

Aku tersenyum dan menggeleng.

Tanganku yang bebas dari infus pun kembali digenggam erat oleh Mas Ali. "Mas kemarin khawatir sekali sama kamu dan baby kita."

"Aku nggak apa-apa, Mas." Aku menjawab dengan sangat tertatih.

"Iya, Sayang. Mas tahu dan sepenuhnya percaya jika Allah selalu menjaga dan melindungi kamu juga Baby kita."

Aku pun mengangguk kecil. Dalam hati sangat bersyukur karena Allah masih memberikan aku kesempatan untuk bertemu dengan suami dan menghirup udara lagi. Allah sangat baik dan mencintai seluruh ciptaan-Nya. Memberiku kesempatan ini adalah satu dari banyaknya bukti cinta Allah padaku. Lantas, mebgapa masih banyak yang mengatakan jika Allah tak adil? Bukan Allah yang tidak adil, melainkan seorang hamba itulah yang tak bersyukur atas nikmat Allah dan mereka yang tak bersyukur termasuk ke dalam golongan orang yang merugi.

Firman Allah didalam Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat-103.

ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Artinya. “Katakanlah, apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya..? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini , sedangkan merekamenyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”

****

"Mas, aku kangen Umi."

Mas Ali yang tengah mengeringkan rambutnya pun tersenyum padaku. "Umi akan sampai Jepang hari Minggu ini, Sayang."

"Kamu jangan kabari Umi, ya?"

Tangan Mas Ali yang tadinya mengeringkan rambutnya pun terhenti. Handuknya ia letakkan di dekat jemuran mini yang telah disediakan rumah sakit. Kakinya melangkah mendekati aku dan duduk di brankarku dengan tangannya yang ia jadikan bantalan untukku. Belaian tangannya pun menyusuri pipiku yang sudah pasti sangat pucat.

"Iya, Sayang." kecupannya mendarat di ubun-ubunku. Mas Ali pun membacakan doanya di sana.

"Mas tahu, kamu nggak mau Umi khawatir, kan? Kamu terlalu tertutup, Sayang."

Deg! Jantungku berdebar, aku tahu Mas Ali tak menyinggung soal penyakit yang sudah kesembunyikan darinya. Tetapi, tetap saja, aku merasa jika inilah saatnya aku menjelaskan padanya. "Aku hanya tak ingin menjadi pikiran Umi, Mas. Nantinya pasti aku akan merepotkan, Umi."

"Kamu bicara seperti itu hanya akan melukai hati Umi, Sayang. Dan kamu tahu? Itu juga terdengar menyakitkan untukku."

Aku menenggelamkan wajahku di sela-sela ketiaknya. "Maaf, Mas."

Ku dengar dengan sangat jelas jika Mas Ali menghela napasnya. Tangannya pun menarik pinggangku agar lebih merapat padanya. "Buang jauh-jauh pemikiran seperti itu, Sayang. Umi, Abi, Mama dan aku suami kamu, tak sekalipun suka akan pemikiran kamu yang begitu."

Aku pun hanya bisa mengangguk. Aku sangat menyesal. Mas Ali memang benar. Pemikiran konyol yang ada di kepalaku nantinya malah akan menjadi luka untuk orang-orang sekitar yang mencintai aku.

"Mas mencintai kamu, Sayang. Tolong, kali ini saja, jangan sembunyikan apapun. Mas takut, Mas sangat takut jika Allah mempunyai takdir lain."

Kepalaku terurai dan kini sedikit mendongak menatap wajah sendu Mas Ali. "Sesungguhnya aku lebih takut jika Allah tak memberiku kesempatan untuk memperkenalkan baby kita pada dunia, Mas."

Wajah Mas Ali menatap arah lain menghindari tatapanku. Seolah banyak sekali luka di matanya yang ia tutupi dariku, padahal aku tahu segala lukanya. Maafkan aku, Mas.

Mas Ali kembali menatapku, bibirnya senyum terpaksa. "Kita tidur sekarang, ya? Kamu harus banyak istirahat."

Pasrah, menyerah sudah. Lebih baik aku tidur juga. Aku sangat tahu jika Mas Ali tak ingin membahas hal itu. Aku menghargainya, aku pun tak ingin Mas Ali kecapekan karena menjagaku sejak kemarin.

"Tapi Mas...."

Dahi Mas Ali membentuk beberapa lipatan di sana. "Tapi apa, Sayang?"

"Aku mau.... cium."

Tawa Mas Ali pun pecah. Bahkan luka yang tadi tampak sangat jelas pun seorang memudar hanya karena aku meminta satu ciuman darinya.

Mas Ali pun mengangguk dan memberikan kecupannya dalam. Cukup lama hingga ia pun tersenyum. "Tidur, ya..."

"Ich liebe dich sehr, mein Mann." Ku ungkapkan kata-kata cinta dalam bahasa Jerman. Mas Ali pun kembali tertawa. Ku pikir, Mas Ali tak paham akan bahasa Jerman, ternyata aku salah. Mas Ali sangat jenius.

Mas Ali mencubit hidungku dengan sangat manja. "Ich auch, meine Frau Ich liebe dich, liebe dich sehr, immer. Diese Sekunde später und für immer."

Aku tersipu, wajahku yang tadinya pucat pun kini pasti sudah berubah bak kepiting rebus.

"Aku baru tahu kamu juga bisa bahasa Jerman, Mas." Ujarku saat menyembunyikan wajah di dada bidangnya.

"Jangankan bahasa Jerman. Kode, gerak-gerik dan bahasa hati kamu juga aku paham, Sayang."

"Maaaaassss.... Udah malem, jangan membuat jantungku berdetak kencang."

Mas Ali menjauhkan dadanya dari wajahku. Tangannya yang sejak tadi membelaiku pun kini memilih untuk menangkup wajah yang sudah sangat merona ini. "Sayang, Mas tahu ini sudah malam. Tapi, kamu juga jangan terus membuat Mas merasa gemas." Mas Ali pun menghujani wajahku dengan ciumannya. Sangat manis dan begitu romantis sikapnya dengan caranya sendiri.

****

Terpopuler

Comments

Sweet Girl

Sweet Girl

sembuhin Thor... jangan lama lama sakitnya....

2021-06-20

0

umy zafa

umy zafa

lanjyt makin penasaran sama penyakitnya

2020-09-12

2

Arik Ss

Arik Ss

lanjut

2020-09-12

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!