BAB 8

3 minggu berlalu.....

Kembali ke kehidupan sebelumnya. Aku dan Mas Ali sudah kembali ke Jepang. Bukan hanya untuk kembalinya Mas Ali bekerja, tetapi juga kembalinya aku sebagai seorang mahasiswi. Namun, sedikit berbeda. Aku kembali dengan status yang berbeda dan mungkin semua akan berbeda pula. Tak lagi tidur bersama sahabat, tak lagi saling berdebat dan Naya tak lagi mendapatkan titipan surat untuk ia sampaikan padaku.

"Khuukk....."

Aku menutup mulutku saat mual terasa menguasai isi perut. Kakiku melangkah ke dalam toilet, berdiri di depan wastafel dan berusaha mengeluarkan isi perutku, tetapi tak ada apapun selain cairan berwarna putih. Dipikiranku kini hanya terlintas satu perkiraan.

Apakah aku hamil? Namun, kenapa ada tersirat rasa perih di bagian hati?

Ku lirik arloji yang melingkar di tangan kananku.

"Masih jam sembilan. Nggak mungkin aku telpon Mas Ali, kan?" Gumamku kecil.

Kakiku pun berjalan tertatih menuju kamar. Tubuh terasa lelah dan gontai. Pusing juga mual kian terasa sedikit menyiksa, apalagi perih yang semakin terasa. Apa aku harus menelpon Mas Ali? Aku tahu ini jadwal Mas Ali di perusahaan, pasti ia sangat sibuk. Tapi harus bagaimana lagi? Aku tak punya pilihan. Aku tidak mungkin sanggup menyetir sampai rumah sakit.

Tanganku mengambil ponsel yang terletak di nakas samping kasur. Ku cari kontak Mas Ali dan menelponnya segera.

Panggilan pertama ku tunggu sampai beberapa detik hingga suara operator terdengar yang artinya Mas Ali tak bisa dihubungi.

Panggilan kedua, hasilnya sama. Hingga panggilan ketiga pun tak mendapat jawaban. Aku memutuskan untuk menelpon Naya.

Tidak membutuhkan waktu lama, Naya langsung menjawab panggilan dariku.

"Pagi, Nay," sapaku dengan lirih, sebab tenaga yang nyaris habis.

"Kamu baik-baik aja? Suara kamu kenapa lemes banget, Fatimah? Kamu dimana? Baik-baik kan? Fatimah...."

Aku tersenyum kecil mendengar ucapan Naya. Nada suara yang terdengar khawatir dari seberang telepon.

"Bisa tolong ke rumah aku, Nay?"

Tanpa berpikir lama, aku mendengar Naya menjawab, "I'm headed there."

Panggilan terputus. Aku tahu jika Naya benar-benar langsung berangkat menuju ke sini. Untungnya saja, jalanan kota Sapporo tak pernah terjadi kemacetan dan jarak dari apartemenku sebelumnya tak terlalu jauh.

Aku mengatur napas, bibir pun terus mengucap istighfar dan tetap berdoa.

"Ya Allah, jadikan rasa sakit ini sebagai pelebur dosa hamba, Ya Allah...."

****

Kabar baik ataupun buruk yang didapat, sesungguhnya adalah ujian yang Allah berikan untuk menguji setiap hambanya.

Aku dan Naya duduk terdiam di hadapan dokter yang baru saja menanganiku.

"Miss Fatimah. Saya punya dua berita untukmu."

Aku mengernyit penasaran. Jantungku berdetak tak seirama. 2 kabar, yang artinya kabar baik dan buruk. Dokter tersebut berbicara dengan bahasa Inggris yang baik. Namun aku mentranslatekannya langsung.

"First, I congratulate you on your pregnancy which has reached four weeks." (Pertama, saya mengucapkan selamat untuk kehamilan anda yang sudah empat minggu).

Aku dan Naya saling tatap, dan Naya pun memelukku erat. Mengucapkan kata selamat dan mendoakanku juga janin di dalam kandunganku yang baru diketahui.

Alhamdulillah.... Terima kasih Ya Allah.... Terima kasih atas anugerah dan kepercayaan yang Engkau beri untuk hamba dan suami hamba.....

"Second news. Maybe this will hurt you a little. Previously I wanted to ask. Do you have a history of internal medicine, about liver disorders?" (Berita kedua. Mungkin ini akan sedikit menyakitimu. Sebelumnya saya ingin bertanya. Apakah Anda memiliki riwayat penyakit dalam, tentang gangguan hati?)

Aku menangis dalam hati. Liver disorders, penyakit itu.....

Aku pun menganggu pelan dan bergumam kecil. "That's right, dok." Jawabku yang mendapat tatapan bingung penuh tanya dari Naya. Sebab, Naya tak pernah mengetahui apapun tentang riwayat kehidupanku sebelum ini.

Aku tahu jika Naya pasti akan semakin khawatir. Namun, aku tak mungkin berbohong untuk saat ini.

"Just as I thought. Your heart is in trouble again. Liver disorder." (Seperti yang saya pikirkan. Hatimu bermasalah lagi. gangguan hati)

Aku menelan saliva susah payah. Aku tak pernah membayangkan jika penyakit ini kembali kambuh menyusuri hidupku. Aku belum siap mendengar penjelasan dokter tersebut, tapi aku harus dengarkan.

Ya Allah, kenapa Engkau beri hamba penyakit yang sama? Hamba tahu jika Engkau ingin kembali menguji hamba. Namun, hamba takut jika nanti hamba kembali kehilangan orang yang hamba sayang hanya demi mendonorkan hatinya untuk hamba. Batinku melirih pilu.

اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). (QS. Al-Baqarah: 156)

Bayangan beberapa tahun silam kembali mengisi ruang memori. Bayangan dimana aku kehilangan Fattana, karena dirinya dengan rela mendonorkan hatinya untukku. Padahal saat itu, nyawanya bisa saja lebih dahulu tertolong. Namun Allah berkata lain. Allah lebih menyayangi Fattana untuk kembali kepangkuannya. Dan Allah pun juga menyayangiku dengan memberi kesempatan agar aku dapat hidup normal dan bisa mengenal dunia seperti Fattana juga seluruh makhluk Allah di bumi. Tampaknya semua tidak berlangsung lama. Allah kembali menitipkan penyakit ini padaku.

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

Dan apabila aku sakit, Dia lah satu-satunya Yang menyembuhkan aku dari sakit, tidak ada penyembuh bagiku selain-Nya.

Aku memijat dahiku saat pusing kembali melanda dan perih nan nyeri di perut kembali menyerang.

Sungguh, hamba menerima ujian ini dengan hati yang lapang. Ya Allah.... Engkaulah yang memberi rasa sakit ini, hamba juga yakin, Engkau pula yang akan mengambil kembali penyakit ini. Batinku kembali berkata.

"From the X-rays that we have done. Your heart is swollen and there are some sores there. This condition can cause liver tissue to become soft and swell. If not treated properly, inflammation can create permanent damage to liver disorder." (Dari hasil rontgen yang telah kami lakukan. Hatimu bengkak dan ada beberapa luka di sana. Kondisi ini dapat menyebabkan jaringan hati menjadi lunak dan membengkak. Jika tidak ditangani dengan baik, peradangan dapat terjadi).

"Pregnancy accompanied by liver disorders will clearly harm the fetus. Because we know, surely you will be taking drugs to treat liber disorders." (Kehamilan yang disertai gangguan hati jelas akan membahayakan janin. Karena kita tahu, pasti Anda akan mengonsumsi obat-obatan untuk mengobati gangguan hati).

Naya merangkul erat bahuku, menguatkanku, menyalurkan tenaga untukku, tetapi kenapa masih tak berpengaruh?

Mendengar penjelasan ini masih sangat menyakitkan, bahkan lebib menyakitkan saat mengetahui jika janin yang baru saja Allah titipkan padaku tengah terancam karena penyakitku. Aku semakin takut, air mataku mengalir, memeluk Naya erat, menumpahkan kesedihan yang tak terbendung lagi. Aku tak mau kehilangan janinku, aku tidak mau kehilangan siapa pun lagi. Tidak, tidak. Aku tidak boleh egois, aku harus mempertahankan kandungan ini dan memperkenalkan anakku pada langit dan bumi ciptaan Allah.

Aku pernah melewati masa-masa ini, aku pernah terbaring lemah tak berdaya dengan penyakit ini, namun kini semuanya berbeda. Posisiku pun sudah tak lagi sama. Aku sudah menjadi seorang istri dan semoga akan menjadi seorang ibu. Lalu, siapa yang nantinya mengurus suamiku? Kenapa menjadi seperti ini.

Naya mengusap bahuku. "Aku tahu kamu kuat, Fatimah. Aku tahu itu. Kamu bisa tetap bertahan begitupun dengan janin yang kamu kandung."

Aku menggeleng ragu. Aku tahu betapa mematikannya penyakit ini, dan aku tahu betapa membahayakannya untuk janinku dari obat-obat yang nantinya kuminum. Aku tak mungkin tega menyakiti calon anakku sendiri. Itu sama saja aku membunuhnya secara perlahan.

Aku dan Mas Ali sudah menanti kehadirannya. Kini, saat Allah memberikan kepercayaan dan kesempatan untukku mengandung, aku harus minum obat? Tak akan ku lakukan. Aku mencintai calon anakku, aku akan pertahankan janin ini, sekalipun nyawaku yang Allah ambil kembali. Asalkan bukan janin ini.

Ya Allah, maafka hamba yang menjadi egois. Tetapi, hamba tahu, Mas Ali menantikan calon bayi ini, begitupun hamba. Kami mencintainya Ya Allah........

Aku menyeka air mata, membiarkan Naya yang kembali akan membuka suara.

"So, what must we do to get treatment for this disease, doc?" (Jadi, apa yang harus kita lakukan untuk mendapatkan pengobatan untuk penyakit ini, dok) Naya pun membuka suara, karena ia tahu jika aku tak tahu lagi harus berkata apa.

Dokter itupun menghela pelan napasnya. "For treatment, Miss Fatimah can see an internist. It just so happens that the schedule is soon. Do I want to make an appointment?" (Untuk pengobatan, Bu Fatimah bisa menemui dokter penyakit dalam. Kebetulan jadwalnya sebentar lagi. Apakah saya ingin membuat janji?)

"Yes, of course, doc." Naya pun mengangguk.

Dokter itu pun membuka ponselnya dan menelpon seseorang yang aku pikir adalah dokter yang dimaksudnya. Setelah beberapa menit, beliau menutup panggilan dan meletakkan kembali ponselnya.

"Incidentally he just arrived. I also made an appointment for Miss Fatimah," ujarnya.

Aku tersenyum tipis dan mengangguk.

"Thank you, doc. If so, excuse us to see the doctor." Ujar Naya.

"Ah, yes. Get well soon, miss, please."

Aku dan Naya keluar dari ruangan itu. Rangkulan Naya pun semakin erat. Dia membawaku untuk berjalan mendekat ruang tunggu.

****

"Aku baru tahu kalau kamu punya riwayat penyakit liver disorder." Gumam Naya dengan pandangan terjatuh pada lantai.

Dari suaranya terdengar purau, khawatir dan sedih. Aku yang mendengar pun menjadi lara sebab tak tahu harus mengatakan apa. Ini baru dengan Naya, bagaimana dengan Mas Ali? Bagaimana caranya aku menjelaskan tentang penyakit ini?

"Tuhan kamu nggak adil ya, Fatimah? Sehingga kamu mendapat penyakit seperti ini."

Aku menggeleng pelan. Aku usap bahu Naya. "Allah adil padaku, Nay. Penyakit ini Allah beri karena rasa cintanya padaku. Dengan adanya penyakit ini maka Allah telah menghapus sedikit demi sedikit dosa-dosaku."

"Maafkan aku. Aku salah menilai Tuhan-mu, Fatimah."

Aku hanya tersenyum kecil. Bingung, resah, gelisah, dan hampa. Itu yang tengah melanda pikiranku saat ini.

"Bagaimana dengan suamimu, Fatimah? Apa kamu akan mengatakan padanya?"

Aku memejamkan netraku sesaat mencoba berpikir untuk melakukan apa. Mengatakan atau tetap diam membisu?

"Mungkin. Namun, untuk saat ini.... Aku minta kamu jaga rahasia ini. Mas Ali jangan tahu dulu. Apalagi, perusahaannya lagi mendapat promosi besar-besaran. Aku nggak mau Mas Ali kepikiran."

"Kamu tidak boleh egois, Fatimah. Dia suami kamu. Dialah yang berhak tahu tentangmu, apalagi tentang penyakit ini."

"Nay, a—"

"Miss Fatimah, Doctor Daiyan is already waiting inside." Suara perempuan berpakaian seragam suster berwarna hijau itupun mengambil alih perhatian aku dan Naya.

Aku mengangguk pelan. Suster itu membukakan pintu untuk aku dan Naya yang ingin masuk ke dalam ruangan spesialis penyakit dalam ini.

"Dokter Iyan?" Gumamku tak percaya saat melihat lelaki dengan almameter dokter berwarna putih yang duduk di kursinya.

"Kamu mengenal dokter itu, Fatimah?' tanya Naya.

Aku mengangguk kecil. Allah mempertemukanku pada dokter yang sebelumnya menanganiku pula.

"Fatimah...."

Aku tersenyum kecil menanggapi panggilan Dokter Daiyan.

Aku dan Naya duduk berhadapan dengan Dokter Daiyan, meja sebagai pembatas jarak.

"Anda bisa bahasa Indonesia?" Naya bertanya memasang wajah cengang.

Dokter Daiyan tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban pertanyaan Naya.

"Saya tidak menyangka jika Allah pertemuan saya dengan dokter Iyan karena penyakit ini lagi." Aku tersenyum pedih.

"Allah punya kuasanya. Mungkin, Allah memberikan saya kesempatan di sini untuk membantu kamu kembali."

****

Terduduk diam membisu, menatap awan biru yang berubah menjadi kelabu. Berharap angan yang tak menentu.

Sore itu, pikiranku bergulat mencoba mencari cara untuk tetap belaga baik-baik saja layaknya tak terjadi apa-apa.

"Assalamualaikum, istriku."

Aku terkejut. Mas Ali datang dan langsung memeluk pinggangku dari belakang.

"Wa'alaikum salam, Mas."

Kecupan Mas Ali mendarat dengan lembutnya di pipiku. Pipi yang pasti nantinya hanya akan menampakkan kepucatan tanpa semburat rona di sana.

"Maafin Mas yang tadi nggak menjawab telepon kamu, Sayang. Tadi Mas ada meeting dadakan."

Aku mengangguk kecil dan berdehem. "Nggak apa-apa, Mas. Kan tadi juga sudah Mas katakan."

"Oh iya Sayang. Tadi Mr. Seeyo bilang, kamu nggak masuk kelas. Boleh Mas tahu, kenapa?"

"Aku ke rumah sakit de—"

Mas Ali berpindah tempat ke hadapanku. Raut tatapnya tergambar rasa khawatirnya yang sangat besar.

"Maafin Mas, Sayang. Seharusnya Mas tadi jawab telpon kamu. Seharusnya Mas antar kamu ke rumah sakit. Ma—"

"Mas....." Aku tersenyum dan menutup bibirnya dengan jari telunjukku, hingga bibir merahnya pun terdiam. Ku usap lembut rahang tegasnya dan berkata, "I'm fine, dear."

Mas Ali mengecup dalam punggung tanganku seiring netranya terpejam. Penyesalan pun tampak menyelimutinya. "Mas ceroboh banget. Mas lebih mengutamakan pekerjaan daripada istri yang Mas cintai. Hari ini Mas benar-benar ce—"

"Kalau Mas terus merasa menyesal dan menyalahkan diri Mas begitu, kapan aku memberi tahu kabar bahagia ini?" Ku perlihatkan amplop berwarna putih yang di depannya terdapat nama rumah sakit dimana aku dan Naya pergi pagi tadi.

Mas Ali mengernyit memasang tampang bingung. "Ini....."

"Coba Mas buka deh."

Mas Ali menerima amplop itu dan membukanya. Air wajah khawatir dan menyesal pun seketika terganti bahagia, sumringah dengan bibir yang merekah. Air matanya mengalir dan ia pun langsung sujud syukur atas hadiah yang Allah berikan pada kami. Setelah itu dia berdiri kembali dan langsung memelukku erat.

Air mata bahagiaku ikut mengalir, betapa Allah masih sangat menyayangi aku dan suamiku. Bibir Mas Ali terus mengucap syukur pada Allah atas apa yang telah Allah hadiahkan hari ini.

Mas Ali menghapus lembut air mataku. Begitu pun aku yang juga melakukan hal sama. "Mas sangat bahagia, Sayang. Sangat bahagia...."

"Aku pun begitu, Mas."

"Mas akan menjadi suami siaga untuk kamu, dan ayah yang bisa diandalkan untuk anak kita." Tangannya mengusap dan membelai perutku. Hangat dan tenang pun terasa.

Ya Allah, bahkan suamiku sangat bahagia atas anugerah-Mu. Lantas, mana mungkin tega hamba melukai janin ini dengan obat-obatan itu.... Aku menghela napas pelan. Aku tak akan banyak berpikir keras, itu hanya akan mempercepat penyakitku untuk merambat.

Terpopuler

Comments

Sweet Girl

Sweet Girl

bahagia ... haru..... sedih..... perih.....

bingung dan sedih Thor.... bahasa Inggris nya buaaanyak Thor, aku Khan Ndak faham.... hiks hiks hiks

2021-06-20

0

shakila

shakila

aduuhh thoorrr q gk tau artinya yg bhs inggris ngomong apaan ....

2021-03-16

2

Lilah Kholilah

Lilah Kholilah

😭😭😭😭😭😭

2021-02-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!