Katanya, jika sudah jatuh cinta, maka seseorang akan siap kalau nantinya menerima luka. Seperti yang aku rasakan, aku tengah rasakan cinta yang sesungguhnya, artinya aku siap menerima konsekuensi jika kelak akan merasakan luka. Aku tahu itu. Sebenarnya tidak ada yang ingin mendapatkan luka, tetapi itulah hukum dunia. Bahagia tak akan lengkap tanpa duka. Bagaimana? Bukan kah itu benar adanya? Semua sudah menjadi realita yang tak mungkin bisa siapapun cegah. Namun, aku berharap jika cinta yang bahagia ini akan berlangsung lebih lama lagi tanpa luka yang amat menyakitkan. Jujur saja, aku belum sepenuhnya siap untuk jatuh ke dalam jurang luka.
Di mobil, aku menunggu Mas Ali yang tengah membelikan minuman untukku. Tadinya aku yang ingin membeli, tetapi Mas Ali bersikeras agar dirinya saja yang turun.
Mas Ali itu hanyalah lelaki biasa, namun dia selalu mampu membuatku terus jatuh cinta. Sedangkan aku...., aku hanyalah hamba Allah yang jauh dari kata sempurna dan bersyukurnya, Allah mengirimkan Mas Ali untuk menutupi segala kekuranganku hingga membuat semuanya nyaris sempurna. Sebab, tak ada yang benar-benar sempurna kecuali Allah Subhana Wata'ala.
Mas Ali hanyalah suami pada halnya. Namun, dia memiliki banyak cara baru untuk mengistimewakan istri yang dicintainya. Masya Allah. Bukan hanya bersyukur, aku juga merasa sangat beruntung mendapatkan jodoh Mas Ali. Karena ia adalah hamba Allah yang aku cintai karena-Nya.
"Ini minumnya, Sayang. Tadi Mas sekalian beli cemilan untuk kamu." Mas Ali memberikan kantong plastik berwarna putih itu padaku.
"Terima kasih, Mas."
Mas Ali tersenyum dan mengusap lembut kepalaku yang terbalut khimar. "Sama-sama, Sayang."
Mas Ali memasang seat beltnya dan memijak pedal gas untuk melanjutkan perjalanan ke rumah orang tua Mas Ali yang kini sudah menjadi orangtuaku pula.
Aku membuka kantong plastik itu dan mendapati satu botol minuman dengan berteman beberapa cemilan. Aku membuka botol minuman yang ternyata sudah terlebih dahulu dibukakan segelnya oleh Mas Ali, meskipun aku tahu jika Mas Ali belum meminumnya. Aku mengulurkan tangan, memberi minuman ini pada Mas Ali. Ia pun melirikku dengan alis kanan terangkat.
"Mas haus juga, kan?"
Mas Ali tetap memasang senyuman yang paling manis padaku. "Kamu dulu, Sayang."
Aku pun mengangguk dan meminum sedikit. Lalu aku memberikan botol minuman itu kembali.
"Sudah, Mas."
Mas Ali menerima dan meminumnya di sela-sela menyetir. Setelah sudah, dia pun kembali membalikkan botol itu padaku. Aku membuka satu cemilan yang tadi Mas Ali beli. Aku kembali mengulurkan tangan hendak menyuapi Mas Ali. Sedangkan ia tersenyum dengan mulut yang terbuka menerima baik.
"Romantis banget istri aku." Mas Ali memujiku dengan tangan kirinya yang menuntunku untuk menyandar pada bahunya.
Ya Allah, bagaimana mungkin hamba tidak semakin jatuh hati pada suami hamba sendiri? Batinku.
Aku dan Mas Ali mengisi sepanjang perjalanan dengan bercerita tentang kisah-kisah tauladan para Nabi Allah dan beberapa para sahabat Rasulullah. Aku akui, Mas Ali mengenal dalam tentang agama. Berbeda denganku, aku bahkan tidak sepenuhnya tahu tentang islam. Aku berbeda dengan saudara kembarku yang sudah kembali ke pangkuan Allah terlebih dahulu. Betapa sangat baiknya Allah memberikan Mas Ali untuk menjadi pasangan dunia dan akhiratku.
****
"Assalamualaikum, Ma."
Mendengar ucapan salamku dan Mas Ali, Mama senantiasa berjalan tergesa dengan wajah sumringah menyambut manis kedatangan kami berdua.
"Wa'alaikum salam. Aduh-aduh, menantu kesayangan Mama sudah sampai." Aku mencium punggung tangan mama dan mama pun menciumku setelahnya.
"Kenapa lama banget sampainya? Padahal Mama sama Adam sudah menunggu lama."
Adam adalah anak dari Kak Fathiya-kakak iparku. Usianya masih 4 tahun, tetapi dia sudah mampu menghapal 3 juz Al-Qur'an. Masya Allah.
"Tadi pelan-pelan, Ma." Mas Ali menjawab.
Mama mencubit pipiku, mengabaikan Mas Ali yang menjawab pertanyaannya. "Cantik banget sih anak Mama," pujinya yang membuatku hanya mampu tersipu.
"Assalamualaikum Tante cantik...."
Sapaan salam itu sungguh mencuri perhatianku. Anak laki-laki kecil berlari kecil dari dapur dengan memegang kue di tangan kanannya yang tak lain dan tak bukan lagi adalah Adam.
Aku menekuk kaki dengan memasang posisi jongkok untuk menyesuaikan posisi dengan Adam saat dia sampai di dekatku.
"Wa'alaikum salam, Adam."
"Adam sudah nunggu Tante dali tadi loh," ujarnya berceloteh ria.
"Oh ya? Duh, maaf ya. Pasti Adam sampai ngantuk nunggunya ya?"
"Ndak kok. Adam mah kuat atuh Tante. Mana mungkin Adam ngantuk." Adam menampakkan sederet gigi susunya.
Aku terkekeh kecil. "Adam gemesin banget." Ku cium singkat pipinya hingga suara deheman Mas Ali terdengar.
"Ehem. Om nggak disapa nih? Dari tadi pada nyuekin kayanya," kaki Mas Ali pun ia tekuk menyamakan posisinya denganku dan Adam.
"Om cembulu?"
"Nggak."
"Belalti Om ndak sayang sama Tante Cantik dong."
"Siap bilang? Om sayang banget sama Tante Cantik. Buktinya, Om bareng Tante Cantik ke sini." Mas Ali mencium pipiku singkat di depan Adam dan mama. Aku melempar pelototan pada Mas Ali, sebab dia menciumku di hadapan anak kecil seumuran Adam.
Adam tercengang lalu disusul tepukan tangan seolah kagum. "Keleeeeen.... Abi juga seling nyium Bubun. Kata Abi, itu tanda sayang Abi ke Bubun."
"Pinter." Ujar Mas Ali seraya mengacak rambut Adam.
"Mas.... Kamu ngajarin Adam yang nggak-nggak ih," ujarku berbisik.
"Loh, Bang Ghani yang ngajarin, Sayang. Bukan Mas. Iyakan, Adam?"
Adam mengangguk mantap.
"Kamu sama Ghani mah sama aja. Menebar keromantisan di depan Mama dan Adam," celetuk mama.
Mas Ali malah tertawa pelan menanggapi mama yang mengatakan fakta adanya.
****
Bersantai dan bercanda gurau dengan kekasih hati itu memanglah sangat indah. Bersandar menatap langit malam berteman bulan dan bintang berdua bersama Mas Ali adalah hal pertama kali setelah menikah. Hanya melihat pemandangan latar langit malam saja sudah membuat hati terasa nyaman dan damai jika bersama dengan lelaki yang aku cinta. Lihat, bahkan cara sederhana ini sangat ampuh membuatku terbuai dan kembali masuk ke dalam lingkaran cinta Mas Ali.
"Sayang...."
"Iya, Mas?"
Mas Ali mengusap bahuku. "Kalau aku beri kamu pilihan, ingin bulan atau bintang, kamu memilih yang mana?"
"Aku memilih kamu, Mas."
Mas Ali menganggukkan kepalanya pelan dan menciumku seiring berkata, "Pilihan yang sangat bagus."
"Boleh aku tanya, kenapa?"
Aku berdehem pelan. "Karena sekalipun kamu memberi bulan ataupun bintang untukku, itu tak lebih berarti dari cinta yang telah Allah titipkan padaku melalui kamu, Mas."
"Ini, Mas boleh baper, gak?"
"Kenapa tidak?"
Aku dan Mas Ali tertawa renyah. Itu bukanlah hal lucu, bahkan bisa dibilang tidak lucu sama sekali.
Tangan kanan Mas Ali yang bebas pun kini mengusap lembut perut datarku. Rasanya, sangat nyaman. Tak ada geli ataupun hal menggelitik di sana.
"Mas selalu menunggu kabar baik dari Allah untuk menitipkan anugerah terindah kepada kita." Ujarnya dengan sangat lirih dan penuh harap.
"Bukan hanya kamu, Mas. Aku pun begitu."
"Semoga Allah memberikan kesempatan untuk kita menimang anugerahnya, ya."
"Insya Allah. Kalau Allah sudah mengatakan Kun Fayakun, jadilah maka jadilah, pasti Allah kabulkan. Hanya saja, untuk saat ini, Allah tengah menguji kesabaran kita, Mas."
Allah Subhana Wata'ala, dapat dengan mudahnya melakukan apapun sebab hanya Allah pemilik langit, bumi dan seluruh isinya. Hanya dengan mengatakan ۥ كُن فَيَكُونُ maka semua akan terjadi sesuai dengan kehendak-Nya. Hal itupun tercantum dalam surah Yasin ayat 82.
إِنَّمَآ أَمْرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيْـًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ.
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia.
Mas Ali memasang senyuman yang amat indah. Bahkan senyumannya sangat membuai juga memanjakan pandangan. "Kamu benar, Sayang. Allah tengah menguji kesabaran kita. Mas bahagia banget bisa miliki kamu, Sayang. Mas tahu, Allah sungguh memberi Mas jodoh yang terbaik. Semoga keberkahan Allah terus melimpah pada pernikahan kita."
"Amin Ya Rabbal 'alamin." Sahutku mengaminkan kalimat akhir Mas Ali.
Menikmati semilir angin malam, terasa sejuk nan menghayutkan. Tak ada rasa ingin bangkit dan terpejam melewatkan nuansa manis yang tak banyak orang lain rasakan.
"Mas..."
"Iya, Sayang?"
"Beberapa bulan yang lalu, aku memang tak penasaran akan hal ini. Namun, entah kenapa, sekarang aku ingin bertanya. Boleh?"
Mas Ali menatapku hangat, bibirnya membentuk lekungan bulan sabit yang sangat sempurna. "Tentang sepucuk surat yang berisi satu lembar kertas kosong tanpa sedikitpun coretan?"
Aku mengangguk. Mas Ali tampak sangat paham apa yang akan aku tanyakan.
"Pertanyaan ini yang bahkan sangat Mas tunggu darimu, Fatimah."
"Kenapa Mas mengirimkan selembar kertas kosong itu untukku?"
"Karena Mas tak tahu harus menuliskan apa untukmu, Sayang."
"Bukankah, Mas tak mengharapkan aku? Sebab Mas melepaskanku karena Allah, agar Allah memberikan aku untukmu?"
Mas Ali merangkul erat tubuhku. Dengan penuh cinta, ia mencium dalam dahiku.
"Bukan tanpa sebab Mas mengirim surat itu. Namun, sungguh saat itu tak ada apapun yang terlintas tentangmu dibenakku. Karena itu, seketika Mas teringat tentang selembar kertas putih yang tampak seperti kamu. Mas pun menitipkan surat itu pada Anaya. Mas tidak pernah menyangka jika kamu menerimanya dan tak mempertanyakan maksud dari kertas kosong itu. Itulah yang membuat Mas yakin untuk terus mengejar cinta Allah.
"Sejak awal, Mas tak pernah membayangkan wajahmu, Sayang. Bahkan memikirkanmu saja, Mas sungguh takut. Takut kalau nantinya Allah murka dan memberikan cintamu untuk mereka yang juga mengkhitbahmu, Sayang.
"Apa kamu menyimpan surat-surat kosong itu?"
Aku mengangguk menjawab pertanyaan Mas Ali.
"Kenapa? Bahkan surat itu, dahulu dari lelaki yang haram bagimu?"
"Sebab, Abi dan Umi mengajarkanku untuk menerima dan menghargai pemberian siapapun itu, Mas. Karena aku tahu, meskipun kertas itu kosong, pasti suatu saat akan berguna untukku. Sepertinya itu benar adanya."
Jemari tangan kanan Mas Ali ia tautkan dengan jemariku. "Mas sangat berterimakasih pada Allah yang telah menciptakan kamu ke dalam janin Umi hingga melahirkanmu dan mengenalkanmu pada dunia. Abi dan Umi juga berhasil mendidik kamu hingga seperti saat ini. Kelak, Mas berharap, kita bisa menjadi orang tua yang baik pula untuk anak-anak kita." Mas Ali mengecup lama punggung tanganku seiring menghirup aroma yang melekat di kulit tanganku.
"Jangan pernah berpaling dari cintaku, Mas."
"Tidak, Sayang. Tidak akan pernah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Nani Agustiani
uuhh uwuu
2021-10-01
0
Sweet Girl
aku juga boleh baper ya Thor .....
2021-06-20
0