BAB 11

Jalanan kota Sapporo lenggang akan orang lalu lalang. Hanya ada orang bersepeda dan berjalan kaki saat sore hari seperti saat ini. Ada yang berjalan dengan pasangan, teman, atau bahkan keluarga dan beberapa berjalan seorang diri seperti aku.

Aku melihat ponsel digenggamanku berharap ada satu panggilan dari Mas Ali di sana. Nyatanya tak ada kabar apapun dari Mas Ali. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Mas Ali seolah melupakan aku saat panggilan itu masuk? Mas Ali juga melupakan setiap kata yg ia katakan sebelumnya.

"Ya Allah, kenapa ini lebih menyakitkan.... Kenapa Mas Ali dapat secepat itu berubah?"

Air mata pun mengalir. Nyeri di hati sudah pasti nyata adanya. Istri mama tak sakit, tak cemburu, tak curiga bila suami yang ia cintai bahkan meninggalkannya di tempat dan ia pergi tak tahu kemana.

Aku menundukkan pandangan menatap jalan, air mata terus mengalir deras. "Maafin hamba Ya Allah, hamba kecewa pada suami hamba sendiri hanya karena hal kecil seperti ini." Gumamku dengan sangat pelan.

Kepalaku terasa sangat sakit, perutku kembali perih, sangat perih. Ini adalah perpaduan rasa sakit yang benar-benar sempurna. Sakit yang diberikan oleh Mas Ali, berpadu dengan sakit liver disorders yang aku idap.

Bumi seperti berputar degan hebatnya. Aku meringis sakit, kakiku tak lagi sanggup melangkah, hingga pandangan pun menjadi gelap dan tak sadarkan diri.

****

Bau-bauan obat menyerbak tajam ke dalam indera penciumanku. Belum membuka mata untuk memastikan saja aku sudah tahu dimana sekarang aku berada. Dimana lagi selain rumah sakit? Tapi, siapa yang membawaku ke sini?

Perlahan netraku pun terbuka, menyesuaikan dengan cahaya yang kian masuk ke dalam retina.

Benar, ini rumah sakit. Tapi ini bukan rumah sakit yang biasa.

Ku lihat di sisi sebelah kiri, tak ada siapapun. Hingga suara pintu terbuka terdengar.

Ceklek!

Ku lirik dengan ekor mata. Lelaki berparas Jepang. Benar-benar Jepang. Apa dia yang menolongku?

"Sudah sadar sejak tadi?" Tanyanya menggunakan bahasa Jepang.

Aku menghela napas pelan. Netraku melihatnya yang kini berdiri di sisi samping kanan brankar. "Can you speak English?"

"Yes, I can."

"Better."

"Are you pregnant but you also have liver disease?" (Apakah Anda hamil tetapi Anda juga memiliki penyakit hati?)

Tanganku memijat dahi. Lelaki itu.... Siapa dia? Kenapa dia bisa tahu?

"Ah, yes. Introduce me beforehand Kenzo Ichiro. I found you on the middle of Sapporo street lying unconscious. So I brought you here." (Ah iya. Perkenalkan sebelumnya, saya Kenzo Ichiro. Saya menemukanmu di tengah jalan Sapporo terbaring tak sadarkan diri. Jadi say membawamu ke sini).

"Thanks, Ken. But, How long have I been unconscious?"

"Three hours, maybe more."

Aku menepuk dahi pelan. "I have to go. My husband must be waiting at the house." (Saya harus pergi. Suamiku pasti sudah menunggu di rumah).

"I'll help pull out the infusion needle." (Aku akan melepaskan infus itu).

"Thank you so much, Ken."

Kenzo mencabut jarum infus di tanganku dengan sangat sempurna. Dari caranya mencabut infus, aku menyimpulkan jika Kenzo seorang dokter.

Tadinya Kenzo memaksa ingin mengantarku pulang. Jelas saja aku menolak dengan halus. Di tolong oleh seorang pria saja aku sudah merasa berdosa sebab aku adalah seorang istri. Tak baik juga pulang ke rumah diantar oleh pria lain. Untungnya saja Naya menghubungiku dan dia pun sudah menyelesaikan pekerjaannya. Alhasil, aku pulang dengan Naya. Pilihan yang sangat bagus.

Kini aku dan Naya memilih kembali menggunakan taksi. Jarak rumah sakit ini dengan kediamanku cukup memakan waktu. Tapi bagaimana bisa Kenzo membawaku ke rumah sakit sejauh itu?

"Fatimah, apa kamu memberi nomorku pada dokter itu?"

Aku yang tadinya memandang luar jendela pun kini beralih pada Naya.  Aku mengangguk jujur. "Aku tak ingin Mas Ali nantinya curiga dengan penyakitku."

"Dokter Daiyan. Ia mengatakan jika kamu sudah bisa mengambil obatmu akhir pekan di rumah sakit."

Aku hanya mengangguk saja. Tak ada niatan menggubris lagi kata-kata Naya. Pikiranku kembali melayang pada Mas Ali, tatapanku pun menuju luar jendela mobil. Mengejutkan. Aku melihat Mas Ali di sebuah kafe bersama seorang wanita? Wanita yang bahkan pakaiannya sangat minim. Hatiku sangat sakit, Mas Ali meninggalkan aku di taman sorang diri hanya untuk bertemu dengan wanita yang haram baginya? Bahkan Mas Ali tampak bahagia dari raut bibir yang mengembang.

"Stop it, Mr." Ucapku pada supir taksi itu.

Naya mengerutkan dahinya hingga alisnya pun saling menyatu. "Kenapa, Fatimah?"

Air mataku mengalir kembali, sakit di dadaku sudah tak tertandingi. Mas Ali berkhianat? Mas Ali menodai pernikahan kami.

Aku meraih ponselku, ku cari kontak Mas Ali dan langsung menelponnya. Panggilan pertama tak dijawab, dari mobil ku lihat Mas Ali mengabaikan panggilan dariku.

Panggilan kedua pun sama hingga panggilan ketiga pun terjawab, tetapi kenapa Mas Ali beranjak dari sana?

"Assalamualaikum, Sayang?" Ucapnya dari seberang telepon dengan lembut nan terdengar manis.

Aku mengatur napas agar tak ketahuan tengah menangis. "Wa'alaikum salam, Mas."

"Ada apa, Yang?"

"Aku cuma mau nanya. Kamu mau aku masakin apa, Mas?"

"Nggak usah masak, Sayang. Ini aku di kantor lagi meeting, pasti nanti makan di sini."

Di kantor? Meeting? Dusta. Kenapa Mas Ali menyakitiku?

Air mataku mengalir sangat deras, hatiku sakit, sangat sakit. "Oh di kantor lagi meeting?"

"Iya, Sayang. Kalau gitu aku tutup ya. Klien aku udah nunggu. Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam."

Panggilan tertutup. Naya masih memandangku dengan tatapan bingung.

"Kamu kenapa, Fatimah?" Tanyanya lagi.

Aku memandang kafe dimana Mas Ali dan wanita itu berada. Naya mengikuti arah pandangku. Aku tahu jika Naya sudah melihatnya. Dipeluknya erat tubuhku lalu ia urai dan hendak keluar dari taksi. Aku menahan pergelangan tangannya. Aku tak mau jika sampai Naya ke sana dan bertikai dengan suamiku.

"Dia berkhianat, Nay. Di....dia tak mencintaiku?"

"Brengsek!" Umpat Naya pedas. "Dia bahkan paham akan agama tapi, pemahamannya tak cukup memantaskan diri untuk setia."

Naya kembali memelukku dan meminta pada sopir taksi itu untuk kembali melaju.

"Aku tak akan diam, Fatimah. Tak akan."

Aku tak mampu lagi menjawabnya. Yang ku lakukan saat ini hanya menangis sesenggukan.

"Ya Allah, apa benar suami hamba berkhianat? Bahkan ia tahu itu adalah perbuatan keji yang dosanya tak mampu ku bayangkan. Ya Allah, ampuni dosa suami hamba, ampunilah Ya Allah. Hamba sangat mencintainya."

****

Di rumah ku tunggu Mas Ali di sofa depan televisi. Aku pikir, Mas Ali akan segera pulang. Ternyata salah. Mas Ali pulang tengah malam dini hari.

Secepat itu? Bahkan pernikahan kami masih seumur jagung, tetapi ia sudah memiliki wanita lain dengan mengubah cintanya padaku.

Mas Ali membangunkanku yang tengah berpura-pura tidur. "Sayang, bangun. Aku pulang."

"Sayang..."

Aku mengerjabkan mata dan tersenyum kecil. Senyuman yang menipu.

Mas Ali menciumku dan membopongku untuk dibawanya ke kamar. "Lain kali nunggunya di kamar aja, ya. Mas nggak mau kamu nunggu di sofa kaya tadi. Nanti badan kamu sakit semua."

Deheman pun menjadi jawaban. Mas Ali menidurkanku di ranjang dengan sempurna. Tak terasa air mataku kembali terjatuh mengingat Mas Ali yang telah berbohong juga menodai pernikahan kami. Tangis yang tadinya tak bersuara pun kira menjadi terisak sesenggukan.

Mas Ali sadar akan tangisanku. Dia sangat sadar hingga ia memelukku. "Kamu nangis kenapa, Sayang? Apa aku ada salah? Aku pulang terlalu larut?"

Kenapa kamu bertanya seolah kamu tak menyimpan kebohongan, Mas? Kenapa! Batinku melirih perih.

Aku paham, aku pun tengah berbohong pada suamiku sendiri. Tetapi kenapa kebohongan Mas Ali lebih besar?

Aku menyudahi tangisku dengan kembali berpura-pura tertidur dalam dekapannya. Mas Ali pun menidurkan ku lagi.

"Maaf Fatimah, aku berbohong." Setelah mengucapkan itu yang jelas ku dengar dengan baik, betapa semakin sakitnya perasaanku.

Mas Ali pun beranjak setelah menciumku.

Kamu benar-benar jahat, Mas. Kenapa kamu membuat dirimu sendiri terjerumus dosa zina? Ya Allah, kenapa dalamnya agama suami hamba tak dapat menjamin kesetiaan di hatinya. Ampuni dosa-dosa suamu hamba Ya Allah. Hamba tahu, Engkaulah Maha Pengampun.

****

Terpopuler

Comments

Ina Kurnia Cengceremen

Ina Kurnia Cengceremen

seru lahh

2021-08-25

0

Sweet Girl

Sweet Girl

ya Alloh Thor..... apa perempuan itu benar benar pelakor...?

sedih yg berlipat.

2021-06-20

0

Ruby Talabiu

Ruby Talabiu

pelakor

2020-09-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!