Sejak tadi Fatimah tak hentinya merayu Ali atas dasar kecemburuannya pada Ken. Mulai dari menoel-noel pipu Ali, mencium tangan Ali dengan manja, hingga memeluknya sepanjang jalan. Terdengar lebay, tetapi menang itulah yang Fatimah lakukan untuk meluluhkan hati Ali.
Fatimah menghela napasnya pelan. Cemburu Ali terlalu buta, wajahnya pun tak memberikan seri.
"Kalau Mas mau diemin aku terus, lebih baik aku ke rumah, Naya, deh." Fatimah bangkit dari duduknya hendak melangkah pun tangannya di tahan.
Wajah Ali dilipat dengan sangat menggemaskan. Rasanya Fatimah sangat ingin tertawa gemas melihatnya. Tak sanggup menahan senyum lagi, Fatimah langsung mencium pipi kanan dan kiri Ali. Tangannya memeluk leher Ali. "Kamu gemesin banget, Mas..."
"Mas masih cemburu denganmu, Sayang."
Mendengar itu, Fatimah merenggangkan pelukannya. Bibirnya tersenyum dengan sangat manis kala menatap lekat manik hitam legam indah milik Ali. "Mas... tak baik cemburu berlebihan. Sesungguhnya tak ada yang lebih cemburu selain Allah."
"Astaghfirullah...." Lirih Ali seiring menghela napasnya pelan. Sunggingan bulan sabit pun terbit di bibirnya. Tangannya mencubit hidung Fatimah.
"Udah nih cemburunya? Udah luluh hatinya?"
"Hm.... Gimana ya? Mas terlalu mencintaimu, Fatimah."
"Aku juga mencintaimu, Mas. Tapi, tetap saja, tak baik cemburu berlebihan. Cemburulah sewajarnya, suamiku."
Tangan besarnya membelai pipi Fatimah yang kian chubby seperti bakpao. "Hm...., akan Mas pertimbangan, Sayang."
"Lebih baik." Fatimah mengecup singkat pipi Ali lalu beranjak ke kamar.
Tanpa menunggu lama, Ali pun menyusul Fatimah. Di kamar ia melihat Fatimah yang merebahkan tubuhnya. Ali melakukan hal yang sama pula, merebahkan tubuhnya di samping sang istri. Badannya ia miringkan ke kanan dengan tangan yang menyangga kepalanya. Bibirnya terus mempertahankan senyumannya, menatap lekat wajah cantik Fatimah yang tengah memejamkan matanya dari samping pun tetap membuat hatinya berdesir nyaman.
"Jangan lihatin aku kaya gitu, Mas." Ujar Fatimah dengan sangat lembut. Matanya memang terpejam, tetapi ia tahu jika Aku terus menatapnya dengan sangat intens.
"Hari ke hari, kamu semakin cantik, Sayang."
"Kamu tau, Mas?"
"Tau."
"Apa?"
"Kita saling mencintai."
Fatimah terkekeh pelan mendengar perkataan Ali. "Bener. Tapi bukan itu maksud aku, Mas."
"Lalu?"
"Yang tadi."
Ali tersenyum kecil. Tangannya membelai puncak kepala Fatimah. "Mau jelaskan?"
"He em." Mata indah bermanik kecokelatan Fatimah pun tampak. Tubuhnya ia miringkan agar saling tatap dengan Ali. "Kamu ingat, saat kamu ninggalin aku di taman Sapporo waktu itu?"
Ali merutuki dirinya. Ia tak mungkin melupakan hal bodoh itu. Dimana Ali mementingkan hal lain daripada istrinya sendiri.
"Waktu kamu pergi, aku mutuskan untuk langsung pulang. Tapi aku malah ngerasa mual, pusing dan berakhir pingsan. Dialah yang menolongku saat itu, Mas."
Ali sontak merubah posisinya menjadi duduk. "Kamu pingsan, Sayang? Ke—kenapa nggak bilang?"
Hati Fatimah menangis, rasanya sangat sakit mengingat kembali kejadian itu. Namun bibirnya malah tersenyum. Tak ada air mata yang mengalir sementara ini. "Apa aku masih penting saat itu untukmu, Mas?"
"Kok kamu ngomongnya gitu, Sayang? Kamu prioritas Mas. Apapun cerita dan keadaan, Mas tetap menomorsatukan kamu."
Fatimah ikut mengganti posisinya. Kini keduanya duduk dengan saling tatap. "Tapi tidak waktu itu, Mas."
"Mas memang ninggalin kamu di taman waktu itu, Sayang. Itu karena klien Mas bilang ada meeting dadakan dan dia butuh bantuan, Mas."
Jawaban Ali terdengar sangat menyakitkan kala ia terus menutupi kebohongannya. Meeting? Meeting berdua yang katanya di kantor, nyatanya mereka di kafe. "Kenapa harus bohong sih, Mas?"
"Mas nggak bohong sama kamu, Sayang."
Fatimah menghela napasnya pelan. Kedua netranya ia pejamkan menahan sakit yang menjalar di ulu hatinya. Ternyata Ali belum cukup bisa memegang kepercayaan Fatimah. Ali masih tetap bersikeras menutupi kebohongan yang ia lakukan tempo waktu.
Awalnya tak ada niatan membahas tentang ini, karena Fatimah tahu akan sangatlah menyakitkan. Namun, entah mengapa, setan seolah mendorongnya untuk membahas apa yang tengah Fatimah pendam.
"Kalau gitu aku tanya, dan aku mau kamu jujur Mas. Kamu meeting dimana saat itu?"
Beberapa detik Ali hening, seolah berpikir harus menjawab apa. "Di kantor klien aku."
Ampuni suami hamba yang terus berusaha menutupi satu kebohongannya dengan kebohongan lain, Ya Allah.... Batin Fatimah.
Kini air matanya tak bisa tertahan. Mengalir begitu saja, seolah paham akan setiap kebohongan yang keluar dari bibir Ali terasa sangat menyakitkan.
Tangan Ali menangkup penuh pipi Fatimah. "Tatap aku, Sayang. Aku tak berbohong. Sungguh aku meeting."
Fatimah menggeleng. Tak sanggup menatap sang suami, ia pun mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Kantor klien kamu kafe ya, Mas?"
Betapa terkejutnya Ali mendengar ucapan Fatimah. Mengapa Fatimah tau? Bibir Ali bungkam seribu bahasa. Ia menyesal, sangat menyesal. Melihat air mata yang mengalir di pipi Fatimah karena ulahnya. Ali memohon ampun kepada Allah, sebab telah melukai hati istrinya sendiri.
"Kamu bingung kan, Mas? Kenapa aku bisa tau?"
"Aku selalu berpikir positif, kepercayaan aku seutuhnya untuk kamu, Mas. Tetapi semua udah berkurang saat kamu berbohong dengan mengatakan di kantor padahal kamu berada di kafe bersama perempuan yang bahkan haram untuk kamu pandang, Mas."
Isak tangisnya terdengar kian memilukan. Meskipun marah dan kecewa, Fatimah masih berbicara dengan nada yang sangat lembut. Tak sedikit pun ia naikkan oktaf suaranya, sebab karena tingginya kedudukan suami di dalam rumah tangga.
Tangan kananya menurunkan kedua tangan Ali yang menangkup pipinya. "Kenapa kamu bohong, Mas?"
Ali memejamkan matanya pelan dan menghela pelan napasnya. "Tak ada niat hati meninggalkan kamu di taman hingga berbohong padamu, Sayang. Sungguh, dia adalah klienku dan saat itu dia benar membutuhkan pertolongan Mas."
"Kamu menolongnya atas dasar apa, Mas?"
Ali terdiam kembali. Ali tahu, semakin ia banyak bicara, maka semakin dalam pula pisau yang ia tancap pada hati Fatimah.
Senyuman Fatimah terbit di balik tangisnya. Senyuman yang sangat indah dan mendamaikan hati kini malah terasa sakit di hati Ali.
"Kamu menolongnya, tapi tanpa sadar kamu nyakitin aku dengan kebohongan kamu, Mas. Sesungguhnya hanya Allah yang mampu menolongnya, Mas." Setelah mengucapkan itu pun Fatimah beranjak dari duduknya meninggalkan Ali yang duduk dengan bibir terkunci rapat.
Ali menatap punggung kecil Fatimah yang menjauh. Dalam hati ia terus beristighfar dan mohon ampun. Ali benar salah, ia berbohong pada Fatimah dengan bertemu wanita lain yang jelas haram baginya. Ali meringis kecil. Dalamnya ilmu agama Ali masih tak cukup mampu menghindarkan dirinya dari hal seperti itu.
"Maafin aku, istriku."
****
Biasanya, Fatimah akan membangunkan Ali saat akan salat tahajud. Kini istrinya itu tak membangunkannya. Fatimah salat tahajud seorang diri tanpa Ali yang menjadi imam.
Ali tahu jika Fatimah sangat kecewa. Meski tak ada nada tinggi ataupun keluhan, tetapi Ali sangat tahu jika luka dari pisau kebohongan yang ia tanam akan selalu membekas.
"Kamu tak membangunkan Mas untuk salat tahajud bersama, Sayang?" Tanya Ali pada Fatimah.
Tanpa menatap Ali, Fatimah hanya menjawab, "aku lupa, Mas." Setelah itu pun ia bangkit berjalan menuju lemari mereka tanpa melepas mukenah.
Semarah apapun, Fatimah ingat akan statusnya sebagai seorang istri. Ia memiliki tugas yang harus dilakukan. Fatimah pun menyiapkan baju koko untuk Ali salat.
"Berwudhulah, Mas. Aku akan salat duluan."
Ali bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Fatimah. "Tunggulah aku hingga selesai wudhuku, Fatimah. Aku adalah imammu, Sayang."
Fatimah hanya mengangguk kecil, masih enggan menatap Ali.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Sweet Girl
duh Ali.... pakai mau disuruh othor bohong.
2021-06-20
0
Arum
fatimah di sini uwu bgt ya. Masyaallah gak ada org selembut fatimah yg ini. tp fatimah temenku Subhanallah barbar nya gak ketulungan
2021-01-01
1
Ruby Talabiu
nyesak thor
2020-09-18
1