BAB 6

Terik matahari memancar dengan sangat cerahnya yang berteman awan biru bersamanya. Sebelum ini, aku berpikir jika mengikat dua insan berlawan jenis dalam ikatan yang sakral layaknya pernikahan akan sulit. Apalagi, tidak saling memperkenalkan diri untuk mengenal lebih dekat, seharusnya akan sangat sulit. Tetapi, yang kurasa malah sebaliknya. Aku yang tak mengenal Mas Ali lebih dari dosen datar tanpa ekspresi, kini aku malah merasakan keromantisan sederhana namun sangat melekat di dada.

Sepertinya jatuh cinta pada Mas Ali tidak membutuhkan waktu lama. Belum 24 jam menjadi kekasih halalnya, kini aku sudah mencintainya. Sungguh, aku telah mencintainya. Cinta ini, aku tidak pernah sekalipun merasakannya. Cinta pada lawan jenis yang sebelumnya haram bagiku dan kini telah halal bagiku dengan adanya akad ijab qobul.

Cinta. Jujur saja, aku tidak sepenuhnya paham akan deskripsi dan pengertian satu kata itu. Yang ku tahu sebelumnya hanyalah cintaku pada Allah Subhana Wata'ala dan rasul-Nya, nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam, juga Abiku. Kini, aku mencintai hamba Allah, berharap atas ridha-Nya dan mengharapkan keberkahan cinta dari-Nya.

Di atas sajadah ini aku menengadahkan kedua tangan, meminta dan memohon pada Allah.

"Ya Allah.... Sesungguhnya, amat indah rasa cinta ini. Cinta yang telah tumbuh di hati hamba pada suami hamba sendiri. Hamba mencintai suami hamba sungguh karena-Mu Ya Allah. Betapa hamba sangat mengagumi rasa cinta ini.

"Ya Allah.... Hamba memohon untuk keberkahan dan keridhaan dari-Mu atas pernikahan hamba dan suami hamba. Sesungguhnya hanya Engkaulah pemilik langit, bumi dan seluruh isinya."

Aku menutup doaku dan segera melipat sajadah juga mukena sebab Mas Ali akan segera kembali dari masjid selepas salat asharnya.

Setelah bermalam di hotel, siangnya aku dan Mas Ali pun langsung check out dan memutuskan untuk kembali ke rumah abi dan umi. Mungkin setelahnya akan ke rumah ibu mertuaku dalam beberapa hari kedepan hingga aku dan Mas Ali kembali ke Jepang untuk menjalankan tugasku sebagai mahasiswi dan tugas Mas Ali menjadi dosen. Ah, iya, selain menjadi dosen, ternyata Mas Ali juga adalah seorang pengusaha. Aku tak pernah menyangka jika dosen jurusan manajemen pemasaran adalah seorang pemilik resmi perusahaan yang menjajakan makanan-makanan Indonesia di Jepang.

"Kamu sudah mencintaiku, bukan?"

Aku terkejut bukan main saat tangan kekar yang tiba-tiba memelukku dari belakang dan juga sebelumnya mendengar doa-doaku. Iya, dia adalah Mas Ali. Siapa lagi jika bukan suami tampanku itu.

"Ngm.... Mas, buat aku terkejut."

"Kamu yang khusyuk sekali, Sayang. Ng...kamu tahu? Mas sangat bahagia. Bahagia yang sama sekali tak bisa Mas katakan sebesar apa itu."

"Aku mencintaimu, Mas."

"Mas sangat mencintaimu, Sayang."

****

Di sini, di hadapan abi dan umi kami duduk menikmati makan malam bersama dengan hidangan yang aku dan umi sajikan. Berhubung aku belum tahu apa makanan kesukaan Mas Ali, mau tak mau aku menebak saja.

Tidak ada yang mengeluarkan suara selain suara sendok dan piring yang beradu. Hingga abi pun selesai makan disusul oleh umi, Mas Ali dan aku.

Aku membereskan meja makan, sebelum itu aku melihat Mas Ali, dia tersenyum. Melihat senyumnya, kini seolah menjadi candu di hidupku.

Berkumpul seperti ini adalah hal yang tak biasa. Di ruang santai, Abi merangkul bahu umi dan Mas Ali pun melakukan hal yang sama padaku. Ini membuat pipiku memanas, bahkan aku merasa tersipu saat Mas Ali melakukannya di hadapan kedua orangtuaku.

Abi dan Mas Ali terus berbincang, membicarakan bisnis dan privasi juga menceritakan tentangku saat masih kecil. Abi menceritakan semuanya tentangku pada Mas Ali, termasuk aku yang tak bisa mengendarai sepeda sampai saat ini. Terlalu lama.bercerita, mataku pun terasa berair yang artinya sudah menahan kantuk.

Mas Ali seolah paham akan gerak-gerikku. "Abi, Umi... Ali dan Fatimah pamit ke kamar lebih dulu, ya."

Mendengar ucapan Mas Ali, aku malah melihat Abi dan Umi saling pandang dengan senyuman yang sedikit seperti hendak menggoda kami.

"Mi, lihat tuh yang pengantin baru. Hobinya di kamar mulu."

Nah kan, apa aku bilang. Sudah ketebak. Abi memang paling senang jika begini. Pasti Umi akan dengan semangatnya menimpali dengan hal yang sama. Abi dan umi itu, Masya Allah, perfect.

"Hm, iya, Bi. Umi jadi yakin kita akan punya cucu dalam wakti dekat." Abi membernarkan ucapan Umi dan keduanya terkekeh kecil.

"Abi, Umi...." Rengekku tersipu.

Mas Ali pun terkekeh kecil, tangan mengusap pipiku dan mencium dahiku tepat di hadapan kedua orangtuaku. Mas Ali benar-benar semakin membuatku tersipu malu.

"Sudah-sudah, ke kamar kalian sana. Umi tahu kok, anak cantik Umi sudah ngantuk."

"Ali sama Fatimah naik ke atas duluan Bi, Umi."

"Iya. Jangan lewat tahajud ya," pesan Abi.

Kami pun mengangguk dan melangkah ke lantai 2. Mas Ali terus merangkul bahuku dan sesekali menciumku. Hal sesederhana itu saja sangat berarti dan melekat selalu di hidupku.

Ya Allah, mengapa cinta ini semakin membuatku terbuai akan keromantisan suami hamba Ya Allah.... Batinku.

****

Jika mereka bertanya, apakah menikah itu indah? Jelas saja indah. Memiliki suami sama saja memiliki kekasih halal yang tidak akan menumbuhkan dosa jika bermanja.

"Masakan kamu tadi, sangat enak, Fatimah." pujinya membuatku sedikit bingung dan sedikit pula merasa senang karena Mas Ali memuji masakanku.

Benar saja, ketika suami memuji masakanmu, maka ada rasa bangga di hati.

"Aku memasaknya bersama Umi, Mas. Itu bukan hanya masakanku."

"Mas tahu, makanan yang kamu sajikan adalah hasil dari cintamu. Karena itu rasanya sangat nikmat." Jawab Mas Ali seraya menutup pintu lemari dan membuka kaosnya dan menggantinya dengan piyama.

Aku mendekati Mas Ali, berniat membantunya untuk mengancingkan piyama tidurnya. "Aku belum tahu masakan kesukaan kamu, Mas. Makanya aku masak itu untuk kamu."

"Apapun yang kamu masak dengan tangan mungil ini disertai bumbu cinta dan ikhlas, maka aku akan menyukainya, Sayang."

Aku langsung beranjak ke atas ranjang, sudah enggan digombal oleh Mas Ali lagi. Namun, aku masih ingin terus menerus mendengar pujian dan gombalan Mas Ali untukku. Aneh sekali aku.

"Mas kapan kembali ke Jepang?" tanyaku pada Mas Ali.

"Kamu maunya kapan?"

"Setelah kita honeymoon, gimana, Mas?"

Mas Ali tampak sedikit berpikir hingga beberapa detik kemudian dia pun tersenyum padaku dan mengangguk. Ia pun naik ke atas ranjang dengan mendekatkan tubuhnya padaku. Tangannya menuntun kepalaku untuk berbaring di lengannya yang sudah sedia menjadi bantal.

"Kamu nggak lagi sibuk, kan, Mas?" Aku bertanya lagi, takutnya Mas Ali sibuk.

"Sibuk? Ng...., Mas sedikit sibuk, tetapi tidak ada yang lebih penting dari istri yang sangat Mas cintai." Mas Ali mencubit hidungku manja.

Jika begini, bagaimana bisa darahku tak berdesir dan bagaimana bisa wajahku tidak memanas? Mas Ali itu selalu bisa membuatku jatuh hati.

"Mas yakin?" Tanyaku sembari menatap hangat dengan kembali memastikan.

"Sangat."

"Mas udah punya rencana honeymoon kemana gitu?"

"Kemana saja, asalkan tetap bersama tulang rusuk Mas."

"Mas.... Jangan terus menggodaku," aku menenggelamkan wajahku di sela-sela ketiak Mas Ali. Ia malah terkekeh kecil.

Abi pernah berkata padaku jika wanita adalah tulang rusuk pria. Wanita tak bisa dipaksa, layaknya tulang rusuk yang bengkok. Jika seorang pria memaksa untuk meluruskan tulang rusuk itu, maka bengkoklah dia.

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَإِذَا شَهِدَ أَمْرًا فَلْيَتَكَلَّمْ بِخَيْرٍ أَوْ لِيَسْكُتْ وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَىْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ إِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

Artinya: "Kepada yang percaya Allah SWT dan hari akhir, jika kamu menyaksikan sesuatu maka bicarakan yang baik tentang hal tersebut atau diam. Bersikap baiklah pada wanita, karena dia diciptakan dari tulang rusuk. Bagian tulang rusuk yang paling bengkok ada di atas. Jika kamu berusaha meluruskannya maka dia akan patah, dan bila dibiarkan maka bengkok tetap di sana. Sehingga bersikap baiklah pada wanita." (HR Muslim).

Bukan hanya istilah itu saja yang sering ku dengar.

"Mas...."

"Iya, Sayang?"

Aku yang berbaring dengan berbantal lengan Mas Ali pun memainkan kancing piyamanya. Selalu saja begitu, kancing piyamanya tampak sangat menarik saat lengannya menjadi bantal untukku. "Kemarin Naya ingin meminjam uang denganku. Tetapi, uangku sungguh tak cukup dengan nominal yang dikatakannya. Boleh aku memakai uang maharku, Mas?"

"Mahar dariku sesungguhnya bukan lagi milikku, melainkan sudah menjadi milikmu, Fatimah."

Aku berdehem pelan. "Tetapi aku meminta izin. Sebab tanpa izin dan ridha suami, takutnya itu akan menjadi dosa untukku, Mas. Bukankah izin suami penting untuk istrinya? Karena yang aku tahu, ridha suami adalah ridha Allah."

Mas Ali lagi-lagi menciumku dengan lembutnya dia berkata, "Masya Allah. Tetapi, itu sungguh tidak lagi perlu izinku, Sayang. Mahar itu sepenuhnya milikmu dan hanya kamu yang berhak memutuskan untuk apa mahar itu kamu pergunakan."

Aku berhenti memainkan kancing piyama Mas Ali. Kepalaku pun sedikit mendongak untuk menatap wajahnya. "Berarti, aku boleh meminjamkan Anaya dengan uang maharku?"

Mas Ali tersenyum sangat manis dan mengangguk. "Boleh."

"Alhamdulillah."

Mas Ali mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Aku pikir, dia akan menciumku, ternyata salah. Mas Ali malah menggigit pipiku.

"Maaass....."

Tawa Mas Ali terdengar sangat renyah mendengar rengekanku. "Lagian, kamu bukan cuma cantik, ternyata juga sangat gemesin."

Ternyata benar ya, pacaran setelah menikah itu memanglah sangat indah.

****

Malam semakin larut, mata yang sebelumnya terasa berat dan memaksa agar terpejam pun kini hilang hingga tak ada lagi kantuk yang ku rasa. Bukan sekali ataupun dua kali. Jika sudah terlalu ngantuk dan itu aku tahankan, maka lama kelamaan kantuknya pun hilang. Sedangkan Mas Ali...., dia sudah terpejam dan terhanyut dalam mimpinya.

Ku lihat wajah Mas Ali yang tengah terlelap dengan nyenyak. Tampan. Ya, Mas Ali sangat tampan. Entah berapa kali aku mengatakan ini setelah dia menjadi halal bagiku. Selain tampan, Mas Ali sangat baik dalam agamanya. Aku pernah mendapati Mas Ali saat di Jepang, duduk di taman belakang gedung fakultas dengan laptop dipangkuannya. Jika kebanyakan orang, saat melakukan suatu pekerjaan pasti akan menyalakan ataupun menyanyikan sebuah lagu sebagai pengisi suasana. Namun, Mas Ali berbeda, sebagai teman keheningan, dia memilih untuk melantunkan ayat-ayat suci Allah. Aku masih sangat ingat, Mas Ali paling sering melantunkan surah yang kebetulan sama dengan surah yang paling aku sukai, yaitu surah Ar-Rahman.

Tanganku terulur membelai rambut Mas Ali. Pipiku memanas, ini kali pertama aku membelai Mas Ali. Dadaku pun kian meronta. Masya Allah, mengapa aku jadi salah tingkah pada suamiku sendiri? Padahal ia tengah terlelap.

"Kamu memang bukan Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang betapa aku dambakan kisahnya, keromantisannya dan segala perjuangan cinta dalam diamnya. Namun, kamu adalah Ali Khayri Kinaan, seorang suami yang sungguh akan aku cinta selamanya, Mas." Lirihku dikeheningan malam ini pada Mas Ali yang senantiasa terpejam.

Tamaram dengan penerangan lampu remang-remang pun tak membuat netraku terhalang untuk terus menatap indah wajah sempurna yang dimiliki Mas Ali.

Menatap Mas Ali berlama-lama nyatanya perlahan membuat netraku kembali terasa berat dan mengantuk. Perahan aku memejamkan mata dan masuk ke alam mimpi.

****

Terpopuler

Comments

Sweet Girl

Sweet Girl

jadi ikut tersipu-sipu Thor.... padahal si Fatimah yg digombalin.

2021-06-20

0

Ruby Talabiu

Ruby Talabiu

smangat thor

2020-09-15

1

Handayani

Handayani

masyaolloh...indahnya kehidupan setelah menikah...semoga diridhoi olloh subhanahu wata'ala......aamiin

2020-09-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!