Matahari tak lagi menampakkan sinarnya, yang berarti malam telah tiba. Waktu berjalan sedikit terasa lebih lama dari biasanya, tetapi lelah pun enggan terasa. Kata lainnya, aku tak merasakan lelah. Apalagi kala melihat senyuman Mas Ali yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Senyumannya terus terpancar, sesekali aku melirik bahkan menatapnya dari samping dan tak jarang pulak aku didapati olehnya. Saat Mas Ali mendapatiku tengah menatapnya, dia malah tersenyum dan mengusap puncak kepalaku dengan sangat lembut. Jujur saja, aku masih tak menyangka jika saat ini aku sudah menjadi seorang istri, istri dari dosenku sendiri.
"Ayo kita ke kamar hotel. Mas tahu kamu sudah lelah," ujar Mas Ali dengan sangat lembut saat kami berdua tengah berada di ruang tata rias.
Awalnya aku hendak menolak, hanya saja Mas Ali keburu membopongku dengan cara bridal style.
"Mas, aku bisa berjalan sendiri."
"Bagaimana bisa Mas tega membiarkan istri yang paling Mas cintai berjalan ke lantai 13 saat tengah lelah? Itu tidak akan terjadi, Sayang."
Mas Ali.... sangat mencintaiku? Apa aku tak salah dengar?
"Mas, sungguh, aku masih sanggup kalau hanya untuk berjalan. Kita naik lift Mas—"
"Pengangan dan cobalah tenang, istriku."
Baiklah, aku luluh. Sebelumnya Mas Ali menyebutkan kata "Sayang" untukku, lalu disusul kata"istriku" wanita mana yang hatinya tak bergetar kala pertama kali mendengar kata itu dari suaminya sendiri? Belum lagi tentang bagaimana romantisnya Mas Ali. Bagiku, hanya dengan seperti ini saja tak bisa dipungkiri jika pipiku tengah memanas dan mungkin saja memerah.
****
Bukan hanya menggendongku dengan gaya bridal style, kini Mas Ali membantuku untuk melepaskan aksesoris yang melekat pada hijabku. Dengan telatennya dia melakukan itu, dan sesekali pula dia melihatku melalui pantulan cermin di hadapan kami.
"Aku menyukai rona di pipimu, Fatimah."
Lidahku kelu. Tak tahu harus berkata apa, benar saja sejak tadi pipiku merona. Aku menutup cepat wajahku.
Ku dengar Mas Ali yang terkekeh kecil dan terasa tangan kekarnya memelukku dari belakang.
"Kenapa wajah cantikmu kau tutup saat tengah bersama suamimu sendiri, istriku?" Pertanyaan Mas Ali semakin membuat jantungku resah tak beraturan dengan debarannya.
"Aku sedikit merasa...malu, Mas."
Mas Ali menuntun tanganku untuk turun dan tidak menutupi wajahku lagi. Hanya saja, mataku masih terpejam, enggan menatap cermin yang memantulkan wajah kami berdua.
"Kamu sangat cantik istriku."
Entah dorongan dari mana, ucapan Mas Ali seperti aliran listrik yang membuat netraku kembali terbuka. Ku lihat wajahku dan wajah Mas Ali yang tersenyum di pantulan cermin. Dia memelukku, dagunya dia sandarkan tepat pada pundak kananku, sangat manis.
"Kamu gugup?" tanya Mas Ali yang ku jawab anggukan.
"Karena Mas dosenmu dan kini menjadi suamimu?" pertanyaan Mas Ali kembali ku jawab dengan anggukan. Karena memang itu yang ku rasakan. Aku gugup, sangat gugup.
"Kamu tahu Yang? Aku tidak pernah membayangkan jika kamu yang akan menjadi bidadari dunia dan akhiratku. Mencintaimu sejak awal memanglah sebuah kesalahan, sebab kamu adalah haram bagiku. Jadi, Mas memutuskan untuk berjuang dengan menjauh dan melupakanmu atas dasar cintaku pada Allah."
Aku sedikit bingung akan kata-kata Mas Ali. "Maksud, Mas?"
"Dengan tidak mencintai dan mengharapkanmu adalah perjuanganku untuk memiliki cintamu sebagai kekasih halalku atas dasar izin Allah pula, istriku."
"Seperti cinta Zulaikha dengan Nabi Yusuf.... Mas tahu?"
Mas Ali mengangguk kecil. "Saat Zulaikha mengejar cinta nabi Yusuf, saat itu beliau menolak Zulaikha. Namun, pada saat Zulaikha berhenti mengejar cinta nabi Yusuf dan memilih untuk mengejar cinta Allah, saat itu pula Allah memberi cinta nabi Yusuf untuk Zulaikha. Bedanya di sini, Mas tidak mengejar cintamu, melainkan hanya mengejar cinta Allah semata."
"Masya Allah."
Cup! Mas Ali mencium pipiku secara sepontan, jelas saja membuatku sedikit....terkejut. Mas Ali benar-benar tengah membuatku jatuh hati perlahan. Debaran jantungku memacu dengan sangat cepat. Aku sungguh tak pernah sekalipun merasakan hal seperti ini sebelumnya.
"Mas...."
"Hm?"
"Aku....mulai mencintaimu."
"Mas sudah mencintai kamu, Fatimah."
Aku tak lagi merasa canggung pada Mas Ali seperti beberapa jam yang lalu. Kami bahkan sudah mengobrol layaknya pasangan yang sudah lama menjalin hubungan, padahal tidak. Mengenal saja hanya sebatas nama sebelumnya.
"Mas mandi duluan gih, biar aku siapin baju Mas dulu."
Mas Ali menjauhkan dagunya dari bahuku dan menegakkan badannya dengan tangan yang masih melingkari pundakku.
"Kamu yang mandi dulu, Mas akan menunggu."
Aku mengangguk kecil. "Bagaimana aku mandi kalau tangan Mas.... merangkulku begini?"
"Mas nggak bisa jauh-jauh dari kamu Sayang. Jadi akan Mas lepas, kalau kamu janji tidak akan lama-lama mandinya."
Tak bisa ku sembunyikan kekecahan kecilku. Mas Ali yang notabenenya dosen paling cuek, dingin dan tak memiliki ekspresi ternyata mempunyai sifat yang tak banyak orang tahu.
"Iya Mas. Aku nggak akan lama."
Mas Ali menarik tangannya dan aku pun beranjak untuk membersihkan diri.
****
"Mas, ini....makanan kita, kamu yang nyiapin semua ini?"
Mas Ali yang tengah terduduk di kasur pun mengangguk dan tersenyum.
"Kok kamu? Seharusnya aku yang nyiapkan untuk kamu, Mas.... Aku baru saja mau menjalankan tugasku menjadi seorang istri."
Mas Ali berjalan mendekatiku dan merangkul bahuku. Bukannya aku menderama, tapi sungguh, aku merasa tak enak hati dan sangat ingin menyiapkan makan malam untuk Mas Ali. Ku rasakan Mas Ali yang mencium puncak kepalaku.
"Tugas istri hanyalah menemani suaminya. Jika hanya menyiapkan makanan seperti ini bukan suatu kewajiban istri pada suaminya, Sayang."
Tak ingin memperpanjang lagi, aku mengangguk saja. "Aku udah selesai mandi, sekarang kamu mandi ya, Mas. Aku akan menyiapkan pakaian ganti untuk Mas."
"Setelah Mas mandi, kita salat sunah dua rakaat ya."
Aku yang mengerti salat apa yang Mas Ali maksud pun mengangguk paham. Salat sunah 2 rakaat yang Mas Ali maksud adalah salat sunah sesudah akad yang dilakukan hanya oleh dua insan sepasang suami-istri yang baru menikah. Abi juga pernah menjelaskan padaku tentang sunah ini dan dari beberapa hadist menganjurkan untuk salat dua rakaat setelah akad. Salah satunya dalam riwayat Abdullah bin Mas’ud, beliau pernah mengatakan kepada seseorang yang baru menikah, “Kalau istrimu datang menghampirimu, maka perintahkanlah dia shalat dua rakaat di belakangmu” (HR. Abu Bakr bin Abi Syaibah).
"Iya Mas. Kamu mandi, aku nyiapin semuanya dulu, ya."
"Iya, Sayang." Mas Ali menciumku sebelum melangkah untuk membersihkan tubuhnya.
Tidak sampai 5 menit, Mas Ali sudah selesai dan kami pun segera melakukan salat dua rakaat. Di dalam keheningan malam, dua hamba yang telah Allah satukan dengan sah atas ridha-Nya kini tengah melaksanakan salat dengan khusyuk.
"Ya Allah.... Berikanlah padaku kebaikan dan keberkahan dalam keluargaku. Ya Allah.... Jauhkanlah pada kami apa yang tak Engkau ridhoi. Ya Allah.... satukanlah kami dalam kebahagiaan dunia dan akhirat." Itulah doa yang Mas Ali panjatkan saat di akhir do'a.
Aku mencium punggung tangan Mas Ali. Tak terasa air mataku mengalir saat dirinya mengusap puncak kepalaku yang terbalut mukena.
"Ya Allah... Sesungguhnya aku memohon kepada Engkau akan kebaikan yang Engkau ciptakan dan aku memohon pada-Mu, jauhkanlah dari kejatahan yang Engkau ciptakan pula kepadanya." do'a Mas Ali pula tepat di ubun-ubunku lalu mengecup dahiku sesaat.
Kedua tangannya memegangi bahuku, bibirnya mengukir senyuman manis.
"Wahai kekasih hati dan halalku.... Kelak, kamu yang akan menjadi Ibu dari anak-anakku." pipiku memanas, seolah menampakkan ronanya. Mas Ali membelai lembut pipiku dengan tangan kanannya. "Kelak pula, kamu yang akan menemani hari-hariku...."
Pipiku bersemu merah saat Mas Ali terus melontarkan rayuan-rayuan untukku.
"Mas....," gumamku kecil ketika Mas Ali menciumku.
Mas Ali menghentikan kegiatannya. Wajahku tersenyum dengan tatapan sendu yang menatapku penuh kagum. Aku yang ditatap seperti itu semakin merona malu dan jantung yang berdebar tak menentu. Aku meremas mukena yang masih membalutku. Sungguh, aku sangat gugup saat Mas Ali perlahan membuka mukena dan menciumku.
"Mas..., aku.....," ucapku semakin terlihat gugup.
Mas Ali semakin tersenyum, tangan yang membelai pipiku kini meraih tangan kananku dan mengecupnya dalam.
"Mas akan melakukannya dengan lembut,. Sayang. Sungguh, Mas tak akan mungkin menyakitimu. Mas sangat mencintaimu, Sayang." Mas Ali berusaha meyakinkanku.
Aku pun mengangguk kecil menyetujui. Hal itu membuat Mas Ali tampak bahagia akupun bahagia melihatnya.
Malam ini.... Malam yang mereka kata adalah malam terindah antara suami dan istri. Hari ini, malam ini dan saat ini juga, Mas Ali telah datang padaku, menghalalkanku, memberiku sebuah kenangan yang tak mungkin pernah bisa kulupakan.
Mas.... Sepertinya aku mulai muncintaimu.
****
Mimpi indah ku tampak terusik saat tangan besar yang terasa tengah mengusap wajahku dan sesekali memainkan rambutku. Aku tahu siapa yang melakukannya, siapa lagi jika bukan Mas Ali? Suamiku sendiri.
"Mas tahu kamu sudah bangun, Sayang."
Entah apa yang aku lakukan. Aku malah memilih untuk tetap diam dengan mata yang masih terpejam.
"Kalau kamu nggak buka mata, Mas tahajud sendiri, ya?"
Kedua netraku langsung terbuka lebar, sedikit kesal. Mas Ali benar-benar tak bisa kukelabuhi. Bagaimana bisa dia meninggalkanku dengan melakukan tahajud sendiri?
"Kamu nggak mau jadi imam tahajudku, Mas?" Pertanyaan apa yang baru saja kulontarkan? Tapi sungguh, aku menjadi sensian dan sedikit cemburu meski hanya dengan hal sepele.
Mas Ali malah tertawa kecil, sangat kecil. Dia pun menciumku dan memeluk pinggangku erat hingga kami yang masih berada di dalam selimut pun tak lagi mempunyai cela jarak.
"Aku adalah imam dunia akhiratmu, Fatimah. Bagaimana bisa kamu mengatakan seperti itu, hm?" Suaranya terdengar berbisik. Suaranya saja sudah membuatku jatuh cinta.
Ya Allah, betapa indahnya cinta ini, cinta pada kekasih halal hamba sendiri. Cinta yang bahkan tak pernah hamba rasakan sebelumnya. Masya Allah. Pikirku.
"Aku hanya tidak ingin jika tahajudku tak bersama dengan suamiku."
"Kamu lagi kedatangan tamu bulanan?"
Aku mengernyitkan dahi bingung. Bukankah dia sudah tau? "Bahkan Mas tahu, bukan?"
Di kamar dengan penerangan remang-remang ini aku masih dapat melihat dengan sempurna lekungan sabit di bibir Mas Ali. Mas Ali mencubit dan disusul dengan gigitan kecil pada pipiku dan menggelitik pinggangku. Aku yang merasa kegelian pun tak kuasa menahan tawa.
"Mas... geliiii," racauku.
Mas Ali tertawa juga dan menghentikan kegiatannya yang menggetikiku. Kini dia malah merangkul pinggangku.
"Kita tahajud dulu. Ayo bangun."
"Sebelum aku bangun, tangan Mas—"
"Mas masih ingin seperti ini, Sayang."
"Mas...."
Mas Ali hanya menyengir dan melepaskan tangannya yang melilit pinggangku. Aku segera mengikat rambutku dan berjalan gontai hendak mengambil wudhu untuk tahajud bersama Mas Ali.
****
"Yang...."
Aku melihat Mas Ali yang tengah berbaring di kasur dengan punggung yang menyandar pada kepala kasur. "Kenapa, Mas?" Aku yang masih mengambil minum pun duduk sejenak untuk menegak air putih yang sudah ku tuang.
"Mendekat lah, Mas ingin berbicara."
Aku meletakkan gelasku dan berjalan mendekat pada Mas Ali. Aku meringsut menaiki tempat tidur kami dan tanpa aba-aba, Mas Ali meraih bahuku dan menyandarkan kepalaku tepat di dada bidangnya. Tangan besarnya membelau lembut puncak kepalaku dan kunikmati pula belaian itu. Aku yang terbuai belaian Mas Ali pun nyaris tertidur hingga kuingat jika Mas Ali ingin berbicara.
"Mas mau bicara apa?" tanyaku seraya memainkan kancing piyama berwarna hitamnya.
"Allah sangat baik, ya. Hingga Mas diberikan jodoh seorang perempuan yang baik akhlaknya, shalehah, cantik parasnya dan kelak bisa membimbing anak-anak kita pula. Kamu tahu Sayang? Sesungguhnya madrasah pertama seorang anak adalah Ibunya."
"Mas.... aku, jodohmu, yang artinya adalah cerminan diri Mas sendiri. Jika aku begini, maka kamu juga sama sepertiku.... Mas benar, Ibu adalah madrasah pertama untuk anaknya. Tetapi sosok Ayah adalah seorang mu'adzin pertama bagi anak-anaknya."
"Seorang Ayah dan Ibu itu memiliki perannya masing-masing dan semua sama penting untuk anak-anaknya."
Aku tertawa kecil, pikiranku melayang membayangkan betapa lucunya anak-anak kami nantinya. Jika mirip dengan Mas Ali, dia pasti akan memiliki alis yang tebal dengan bibir tipis dan sikapnya yang dingin. "Anak kita nanti pasti lucu-lucu ya, Mas?"
"Hm, sangat lucu."
"Mas...."
"Iya, Sayang?"
"Ayo ngulang yang tadi malam."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Sweet Girl
hmmm jadi ikut oana dan memerah pipiku, denger untaian kata Ali.
2021-06-20
0
Ruby Talabiu
lanjut thorbagus novel nya
2020-09-15
3