Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh....
Gimana nih kabarnya? Cukup lama tak bertemu kayanya. Hehehe.
Nggak kerasa udah sejauh ini. Huuuuuhh.
Harapan aku masih selalu sama, semoga kita bisa ambil hikmahnya dari setiap kata yang aku ketik di platform cerita ini.
Mula dari sini, akan aku pakai sudut pandang pertama dari Fatimah lagi
Selalu suka yaa... Selamat membaca, teman.
****
Fatimah;
Kebahagiaan itu bukan suatu hal yang harus kamu tunggu, melainkan sesuatu yang harus kamu cari dan kamu buat. Itu bukan ekspetasi hayalan yang membutuhkan konsep, melainkan realita yang berjalan sesuai apa yang kamu lakukan. Begitu pula dengan kesedihan dan luka.
Apa yang aku rasakan pun memiliki konsep yang sama. Kebahagiaan yang kudapat berkat kucari dan ku buat bersama Mas Ali. Bahagiaku sangat sederhana, cukup melihat Mas Ali ada di sampingku dengan tatapan sendu dan senyuman yang selalu membuatku merindu.
Tak banyak yang ku harapkan dari Mas Ali. Hanya satu dan itu kejujuran. Namun, bagaimana jika Mas Ali tahu jika aku pun tengah berbohong?
"Ya Allah.... Tak hentinya hamba memohon ampun pada Engkau yang Maha Pengampun, Ya Allah. Sesungguhnya hamba takut jikalau Engkau murka akan kebohongan yang hamba tutup dari suami hamba sendiri, Ya Allah...." Batinku melirih pedih. Kebahagiaan yang ku raih tak dapat menutup rasa gundah akan tiap rahasia yang berusaha ku simpan ini.
"Weekend lusa, Mama mau ke Jepang, Sayang." Mas Ali yang tengah menyikat giginya pun keluar dari toilet. Kebiasaan Mas Ali yang benar-benar aneh, yaitu bisa menyikat gigi dimana pun. Bahkan, ia dapat menyikat gigi sambil mengerjakan deadline kantor.
"Iya, Mas. Mama udah nelpon aku barengan sama Abi, Umi dan Om Zulfan."
"Om Zulfan, yang anaknya cantik tapi cantikan kamu, lucu yang pastinya lebih lucu kamu, dan gemesin-nya kalah telak sama kamu itu?"
Aku tertawa geli mendengar celotehan Mas Ali. Anak Om Zulfan yang Mas Ali maksud adalah Zahra, gadis kecil sepupuku. Parasnya yang cantik dan menggemaskan bagaimana bisa Mas Ali bilang jika aku yang lebih cantik dan Zahra kalah menggemaskan dari aku? Mas Ali itu aneh-aneh saja. "Ih. Zahra itu lebih cantik, Mas."
Mas Ali melangkah mendekati aku yamg terduduk di kursi rias dengan masih tangan yang masih memegang sikat giginya. Posisinya kini berdiri di belakangku dan menatapku lewat cermin. "Bagi Mas, kamu sangat cantik bagai bidadari, Sayang."
"Jangan memujiku seperti itu, Mas."
"Ini bukan sekedar pujian, Sayang. Mas mengatakan yang sebenarnya."
Aku tersipu. Bagaimana tidak? Mendapatkan pujian dari suami sendiri itu membuatku merasa senang, tetapi rasanya sangat menyakitkan jika orang lain yang memujiku. Entah apa yang terjadi, tapi itulah yang kurasakan.
Aku pun tersenyum dan berdiri dari dudukku. Kubalik-an badan dan menatap Mas Ali yang memasang senyuman manisnya dengan pasta gigi yang memenuhi mulutnya. Aku terkekeh kecil dan ku dorong tubuh kekar Mas Ali menuju toilet. "Kamu harus selesaikan sikat gigi dulu, Mas."
Di depan pintu toilet Mas Ali menahan tubuhnya. "Cium." Pintanya dengan tersenyum jahil.
Aku mendelikkan kedua mataku hingga nyaris keluar.
"Nggak."
"Sayang...cium...." Mas Ali merengek dengan wajah memelasnya.
"Nggak mau." Aku menolaknya lagi.
"Sayang...., tak baik menolak keinginan suami."
Jika sudah begini, aku bisa apa? Mas Ali tahu apa yang Allah suka dan tak suka. Menolak keinginan suami adalah salah satu hal yang Allah tak suka. Aku pun menjinjit dan berusaha mencium pipi kanan juga kiri Mas Ali.
"Sudah." Aku tersenyum manis di hadapannya.
Mas Ali tersenyum puas. Namun satu detik setelahnya wajahnya kembali memasang raut masam. Tanganku menangkup rahang gagah Mas Ali. "Kenapa suamiku, tercinta?"
"Kurang." Keluhnya dengan nada lirih dan mulut yang masih tersumpal sikat gigi.
Kedua alisku menyatu bingung. "Kurang? Kan udah kanan kiri, Mas."
Bibir merah yang tak pernah tersentuh rokok itu pun tampak mengerucut dengan sisa-sisa buih di sana.
"Ih, nggak. Kamu harus bilas dulu, Mas."
"Habis bilas, ya?" Kedua alis Mas Ali naik turun menggodaku.
Aku mengembungkan bibir seolah menimbang permintaan Mas Ali. Aku pun mengangguk kecil dan tersenyum malu.
Secepat kilat Mas Ali masuk ke toilet dengan girang. Aku menggeleng melihat tingkah Mas Ali yang sangat menggemaskan. Masya Allah.
****
"Sayang..." Bisikkan Mas Ali membuat mataku yang nyaris terpejam untuk ke alam mimpi pun tertunda.
Aku yang sudah berada di dalam selimut tebal dan disekap hangat Mas Ali hanya menyahut dengan berdehem pelan.
"I Miss you."
"Satu rumah pun masih kangen, Mas?" Aku sudah mengantuk parah. Suaraku pun sudah memberat. Kegiatan hari ini yang sangat padat. Kuliah, kerja kelompok, dan mengejar untuk skripsi.
"Bukan itu, Sayang."
Air mataku mengalir begitu saja. Akhir-akhir ini aku merasakan sangat lelah, badanku seolah remuk, perutku terasa sakit melilit. Tapi aku tak mau mengungkapkannya. Aku tahu jika Mas Ali pasti akan khawatir. Tak sanggup ku tahan isak tangis yang sudah pasti Mas Ali mendengar kala selimut yang ia singkap.
"Kamu kenapa, Sayang? Mas ada salah lagi?" Khawatir yang tercetak jelas di air mukanya pun membuatku benar-benar merasa bersalah.
Aku sangat ingin mengatakan jika aku tak baik-baik saja. Perutku yang tadinya membaik pun kini terasa sangat sakit. Aku takut, aku sangat takut jika Allah memberiku umur yang tak lama lagi. Aku takut jika penyakitku akan membahayakan janin yang tengah aku kandung.
"Ya Allah... Bantu hamba untuk memperkenalkan buah hati hamba pada seluruh ciptaan-Mu di alam semesta ini Ya Allah..." Aku tak tahu kemana lagi aku mengadu dan berkeluh kesah selain pada Allah.
Tak sanggup lagi ku tahan rasa sakit ini. Aku tak bisa terus diam, tapi aku juga tak bisa menahan lebih lama lagi. Aku tahu, jika lebih lama aku tahan maka lebih cepat pula hidupku mendekati maut. Namun, perasaanku masih tak ingin Mas Ali tahu akan penyakitku.
"Sayang... Kamu kenapa? Kamu ngerasain sakit? Apa yang sakit, Sayang?"
Aku menggeleng pelan, tak tahu bagaimana khawatirnya Mas Ali. Ku remas perutku kuat, air mataku terus mengalir.
Mas Ali bangkit dari rebahan-nya dan beranjak mengambilkan khimarku. Dengan cepat ia kembali dan memakaikan khimar itu untuk menutupi auratku.
Tanpa bertanya, Mas Ali langsung membopongku keluar kamar dengan tergesa dan menuruni satu per satu anak tangga.
"Maaf Tuan, Ibu Fatimah, kenapa?" Masih dapat ku dengar suara Gin yang bertanya.
"Siapkan mobil. Cepat, Gin!" Perintah Mas Ali pun membuat Gin mengangguk patuh.
"Baik, Tuan."
Seperginya Gin, Mas Ali menatap wajahku yang terus mengalirkan air mata dan meringis menahan sakit. "Pe—perut aku sakit Mas...., hikss..."
Mas Ali memejamkan matanya dan mengangguk kecil. Ku lihat air matanya mengalir karena khawatir. "Iya Sayang, iya. Kita ke rumah sakit."
Aku menangis kesakitan di dalam gendongannya. "Mas... Maafin aku..." Satu detik setelahnya pandanganku menjadi gelap dan aku pun tak sadarkan diri.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Sweet Girl
semoga othor dg baik hati menyembuhkan penyakit Fatima
2021-06-20
0
Ruby Talabiu
kasian fatimah
2020-09-18
1
Mommy El
like
2020-09-14
0