Hari ini adalah jadwal check up pertamaku kembali, setelah sekian tahun lamanya tak ku lakukan lagi. Di koridor rumah sakit, aku berjalan menyusuri seorang diri. Tak ada Naya yang menemani, karena aku pun tahu jika Naya memiliki kesibukan sendiri. Tak ada Mas Ali pula yang menguatkan untuk menopang diri, karena ini adalah kesalahan yang tak pernah sanggup untuk ku ungkapkan.
Sebelum masuk ke dalam ruangan Dokter Daiyan, aku pun terlebih dahulu mengetuk pintunya. Hingga pintu terbuka dengan suster yang mempersilahkan masuk padaku.
Duduk berhadapan dengan Dokter Daiyan yang terpisah oleh meja.
Suara lembut dan dengan sopannya Dokter Daiyan bertanya, "ingin saya atau suster saya yang memeriksa?"
"Suster saja, dok."
"Suster, pasiennya ingin kamu yang memeriksanya. Periksa semuanya dan berikan hasilnya ke saya." Dokter Daiyan pun memerintahkan susternya untuk memeriksaku dengan Bahasa Jepang. Aku memang tahu arti bahasa Jepang, namun tak terlalu fasih. Untungnya saja, di Jepang sedikit lebih banyak menggunakan Bahasa Inggris. Jadi akan sangat memudahkan aku selama berada di sini.
****
"Kamu tidak meminum obatmu. Benar, Fatimah?"
Aku mengangguk. Sudah kuduga sebelumnya ini akan terjadi. Dokter Daiyan pasti akan dapat mengetahui dengan cepat jika aku tak mengkonsumsi obat yang diberinya.
"Kenapa?"
"Karena saya tahu jika obat-obatan untuk penyakit saya itu akan berefek samping untuk janin saya. Secara tak langsung saya meracuni janin saya sendiri."
"Minum obatmu atau saya hubungi kedua orang tuamu?"
Aku tak percaya dengan ucapan Dokter Daiyan. Apakah benar ia masih menyimpan nomor umi dan abi? Tapi, masih sangat sulit ku pahami bagaimana Dokter Daiyan dengan segala kepribadian yang datar-datar saja. "Apakah ini sebuah ancaman?"
Dokter Daiyan tersenyum simpul. "Ini sebuah penawaran untuk kamu pilih, Fatimah."
"Saya tak memilih keduanya."
"Pilih salah satu atau saya hubungi orangtuamu saat ini juga."
Aku memejamkan netraku sejenak dan beristighfar.
"Apa Dokter Iyan tega jika nanti aku kehilangan janinku seperti aku kehilangan Fattana?"
Dokter Daiyan terdiam. Aku tahu, ia pasti bingung harus melakukan apa untuk pasien egois sepertiku. Apalagi ketika aku ikut menyangkut pautkan Fattana.
"Aku dan suami menantikan janin ini di dalam pernikahan kami. Bagaimana bisa Dokter terus kembali memaksaku untuk meminum obat yang jelas akan mempengaruhi kehamilanku. Aku bukan Fatimah yang sendiri, sekarang ada janin yang lebih berarti daripada hidupku sendiri, dok."
"Saya berani bertaruh jika suamimu pasti akan sejalan dengan saya, Fatimah. Suamimu mencintaimu, dia tak ingin kehilanganmu. Setidaknya kamu minum obat itu sekali saja. Paling tidak dapat memperlambat kerusakan yang pasti akan menyerang fungsi hati kamu nantinya."
Aku tersenyum kecil, sangat kecil hingga tak yakin jika Dokter Daiyan melihatnya. "Apa saya akan kehilangan orang yang saya sayangi lagi?"
"Tak akan jika kamu mengikuti prosedur pengobatan dari saya."
"Dengan meminum obat itu? Obat yang jelas tak baik untuk kandungan? Artinya perlahan-lahan aku meracuni janinku, aku akan menjadi calon ibu yang sangat buruk."
Terdengar helaan napas kasar Dokter Daiyan. "Saya akan mencari obat herbal untukmu dan itu tak akan berefek samping untuk kamu dan janinmu." Putusnya mengambil jalan tengah untuk pasien egois sepertiku.
Aku tersenyum sumringah. "Sungguh?"
"Hm."
"Terima kasih, Dokter Iyan." Aku tersenyum dan membungkuk kecil padanya.
Ia pun kembali berdehem saja.
"Kalau gitu saya permisi dulu, dok."
"Tunggu."
Aku yang hendak beranjak pun kembali duduk. "Kenapa, dok?"
"Cantumkan nomor teleponmu. Saya akan menghubungi jika sudah mendapatkan obat herbal itu."
Aku berpikir sejenak. Niat Dokter Daiyan memanglah amat baik, tetapi entah bagaimana aku sedikit kurang nyaman akan halnya memberi nomor telepon pada laki-laki lain. Dengan sengajanya pun aku menuliskan nomor Naya di buku Dokter Daiyan. Setidaknya, ia akan menghubungi Naya dan Naya akan mengatakan padaku. Ini lebih baik.
****
Sesampainya di rumah, aku langsung melenggang masuk tak lupa mengucapkan salam terlebih dahulu meskipun tak ada orang di rumah.
Ku geser pintu kamar dan merebahkan tubuh di sana. Rasanya sangat melelahkan. Pusing, perut terasa sangat perih namun harus seolah baik-baik saja. Setidaknya aku tak begitu kaget dengan rasa sakit ini, karena aku pernah merasakan yang lebih sakit dari ini.
Ku belai perut yang masih terasa datar seiring melantunkan surah Maryam. Aku bahagia, damai terasa, namun kenapa air mataku mengalir? Lantunan ayat suci yang tadinya lancar pun kini mulai tersendat.
"Kamu kenapa nangis kaya gini, Sayang."
Aku tak tahu sejak kapan Mas Ali masuk ke dalam kamar, pintu pun tak ku dengar terbuka.
Mas Ali membantuku untuk duduk, dipeluknya erat tubuhku yang masih bergetar hebat.
Tak ada pertanyaan apapun lagi, Mas Ali hanya mengusap punggungku, mencium puncak kepalaku terus menerus. Mas Ali sesekali pula menenangkan aku. Namun kenapa hatiku sakit? Rasa bersalah pula kembali muncul.
"Mas.... Hikss, hikss..."
"Habiskan nangisnya dulu, Sayang."
Mendengar ucapan Mas Ali, aku pun kembali melanjutkan tangisku. Tanganku melingkari pinggang Mas Ali. Ku peluk erat, sangat erat hingga kantuk hinggap dan membuat bibir bungkap mata terpejam.
****
"Sayang...."
Belaian serta kecupan kurasakan. Tanpa membuka kedua mata pun aku tahu siapa pelakunya. Siapa lagi jika bukan Mas Ali?
"Sayang, makan dulu. Aku udah masak untuk kamu, Sayang."
Aku menggeleng pelan menolak. Bukan tak menghargai masakan Mas Ali, tetapi kepalaku terasa sangat pusing, perutku mual dan kenapa wangi Mas Ali terasa tak enak? Aku pun langsung tenggelam dalam selimut menghindari wewangian dari tubuh Mas Ali.
"Sayang..... Tak baik begitu pada suami. Allah tak menyukainya."
Jika sudah begitu, aku bisa apa? Mas Ali paham sekali tentang agama. Aku pun keluar dari selimut. Perlahan ku buka mataku dengan hidung yang kututup dengan selimut.
"Mas..., kamu...., bau gak enak."
"Masa sih? Mas sudah mandi loh, Yang." Mas Ali mencium bagian ketiaknya kanan kiri.
"Tapi seriusan kamu bau, Maaaasss...." Aku merengek tak jelas hingga beberapa detik setelahnya aku tak sanggup menahan mual. Kakiku beranjak dari ranjang dan langsung berlari ke toilet untuk mengeluarkan isi perutku.
Mas Ali mengejarku, dia sudah tak memakai bajunya lagi dan itu lebih baik.
Tengkukku dipijat pelan oleh Mas Ali. Aku terus mengeluarkan isi perutku, aku tak tahu ini mual karena kandungan atau penyakitku. Namun, tampak dari apa yang aku keluarkan, ini adalah mual karena kehamilan. Ini memanglah hal biasa, aku pun memahaminya.
"Mas nggak tega liat kamu kaya gini, Sayang. Kita ke rumah sakit, ya?" Aku membasuh wajahku dan ku lihat pantulan wajahku di cermin.
Hanya satu kata yang mendominasi wajahku, pucat. Netraku pun berpindah pada Mas Ali, khawatir pula yang mendominasi wajahnya.
"Aku nggak apa-apa, Mas. Ini wajar kok kalau lagi hamil muda, kan?"
"Tapi aku nggak tega liat kamu muntah-muntah gini, Sayang."
Aku tersenyum pada pantulan wajah Mas Ali di cermin. "Aku nggak apa-apa, Mas. Serius."
Mas Ali menghela napasnya pelan, "kalau gitu kita ke dokter aja."
"Ini mual biasa, Mas."
Aku yang hendak berjalan meninggalkan toilet pun terkejut saat Mas Ali tiba-tiba membopongku ala bridal style. Aku hanya pasrah dan mengalungkan tangan kananku di lehernya.
****
"Aaaaa......"
Aku menggeleng pelan. "Udah kenyang, Mas...."
"Sayang, sekali lagi. Ingat ada baby kita di perut kamu."
Aku berdecak pelan. Mas Ali terus mengatakan "sekali lagi" dari tujuh suapan yang lalu.
"Aku mau makan, tapi setelah itu kita jalan-jalan, ya?"
Mas Ali tersenyum dan mengangguk setuju.
"Yeayy!!"
Mas Ali menciumku singkat disertai gigitan kecil di pipiku. "Gemesin banget."
****
Memakai pakaian serba tertutup dengan warna gelap memanglah sudah biasa untukku. Namun, saat ini aku sangat ingin memakai pakaian berwarna merah jambu.
"Kamu sudah sepuluh kali putar-putar badan di depan cermin, Sayang."
Aku tak menghiraukan ucapan Mas Ali, aku malah bertanya, "Aku cantik, kan, Mas?"
Ku rasakan tangan Mas Ali yang melingkar apik di perutku. Mengusap dan membelai manja perutku. "Cantik, sangat cantik, Yang. Kamu adalah bidadari surga yang paling cantik nan menawan hati, Sayang."
Pipiku terasa panas, wajahku mengeluarkan rona padam. Ku tutup cepat wajahku dengan keeua tanganku. "Nggak usah gombalin aku, Mas."
"Kenapa ditutup? Mas selalu sangat menyukai rona si pipimu, Sayang."
"Mas, jangan menggodaku terus. Nanti kita nggak jadi nih jalannya."
"Ya sudah, ayo kita berangkat."
Aku dan Mas Ali pun beranjak dari kamar untuk jalan-jalan sore.
Berdua menikmati semilir angin musim semi di Jepang adalah pilihan terbaik. Jaket tebal dan rangkulan hangat Mas Ali semakin membuatku terbuai cintanya.
Drrrttt.... Drrrttt...
Aku merasakan ponsel Mas Ali yang bergetar di kantong jaketnya.
"Mas.... Ponsel kamu bunyi tuh."
"Biarin, Sayang. Tak ada yang lebih penting dari kebahagiaan kamu."
Aku tersenyum manja. "Duh sosweet...." Wajahku pun berubah cepat menjadi datar. "Tapi jawab dulu ponsel kamu, Mas. Mana tau penting."
"Iya deh iya aku jawab."
Mas Ali mengeluarkan ponselnya. Aku mengernyitkan dahi saat melihat perubahan air muka Mas Ali. Wajahnya tampak tak enak dipandang dan tegang. Yang lebih mencurigakan, Mas Ali mereject panggilan itu.
"Siapa yang nelpon, Mas?"
Mas Ali tersenyum kaku. "Nggak siapa-siapa, Yang. Oh ya kamu mau makan se—"
Drrrtttt.... Drrrttt....
"Dijawab, Mas. Aku tahu itu penting."
Mas Ali pun mengangguk dan menjawab ponsel itu. Wajahnya benar-benar berubah, rautnya tak lagi menampakkan keceriaan. Hingga batinku sakit saat Mas Ali mengatakan hal yang benar-benar tak pernah kubayangkan sebelumnya setelah panggilan itu terputus.
"Mas harus pergi, Sayang. Kamu pulang sendiri ya."
Sakit. Sangat sakit. Baru beberapa menit yang lalu Mas Ali mengatakan jika tak ada yang lebih penting daripada bahagiaku. Kini Mas Ali pergi meninggalkanku sendirian, bahkan dia pergi tanpa meninggalkan kecupan untukku, salam pun tak pula diucapkannya.
"Ya Allah, kenapa hamba merasa suami hamba berdusta? Jauhkan rasa su'udzon ini dari hati hamba, Ya Allah. Sebab, ini sangat menyakitkan."
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Sweet Girl
semoga bukan pelakor Thor ....
biar Ndak tambah terpuruk Fatimah nya.
2021-06-20
0
Ruby Talabiu
smangat thor
2020-09-17
1