Jakarta, 16 November 2015.
Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta
Hal pertama yang menyambutku dengan sangat baik adalah keramaian. Jakarta adalah ibu kota yang dikenal dengan kepadatan penduduknya. Aku menarik koper dengan tenang tanpa tergesa. Sepanjang keluar bandara yang ku tatap hanya lantai saja. Bukan tak berani menatap depan ataupun melihat kesana-kemari, hanya saja alangkah baiknya jika seorang wanita menundukkan pandangnya untuk tetap menjaga mata agar tidak menyebabkan zina mata.
Aku merasakan ponsel yang bergetar di Sling bagku, ku ambil dan terlihat abi yang menelpon. Panggilan itupun segera ku jawab.
"Assalamualaikum.."
"Wa'alaikum salam, Abi."
"Kamu dimana, Fatimah?"
Aku menoleh melihat kanan-kiri lalu menjawab, "Fatimah sudah di lobby bandara, Abi. Abi sama Umi dimana?"
"Abi sama Umi di dalam bandra ini. Yaudah, kami ke sana. Tunggu di lobby saja ya."
"Iya, Abi. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Panggilan terputus, aku membenarkan khimarku yang sedikit memaju. Tak bosan ku lantunkan surah yang sudah ku hapal, dan sesekali melantunkan shalawat nabi untuk mengisi waktu kendur ini.
****
Terlihat abi dan umi yang melanglah dengan senyuman merekah. Senyuman yang selama satu tahun ini hanya terlihat di layar ponselnya saja kini Aku bisa melihatnya kembali dengan secara langsung. Umi dan abi masih terlihat sangat cantik dan tampan seusianya. Umi dengan pakaian serba tertutup, dan Abi dengan kemeja serta jas yang membalut tubuhnya.
Aku mencium tangan abi dan umi bergantian lalu umi memelukku.
"Fatimah anak Umi." Umi memelukku dengan sangat erat dan aku juga membalasnya. Melepaskan segala kerinduan yang sudah lama terpendam.
Ku rasakan abi mengusap kepalaku dengan lembut. Saat itu pula aku mengurai pelukan kami.
"Fatimah kangen sama Umi dan Abi."
"Kami berdua juga kangen sama Fatimah. Gimana perjalanannya? Pasti anak Umi kecapekan."
"Fatimah nggak capek kok Umi. Oh iya, Umi dan Abi sehat, kan?" Tatapanku bertanya dengan melihat umi dan abi bergantian.
"Alhamdulillah sehat." Umi dan Abi menjawab serentak.
"Yaudah, ayo pulang." Ajak umi.
Aku, umi dan abi pun berjalan menuju parkiran untuk kembali ke rumah. Ya, rumah dimana aku dilahirkan dan dibesarkan hingga saat ini.
****
Setelah melakukan kewajibanku sebagai seorang hamba untuk salat isya, aku langsung turun ke lantai bawah hendak bergabung dengan umi dan Abi. Jam makan malam akan dimulai, di sana bukan hanya ada umi dan abi, melainkan ada sanak saudara juga. Sebelum turun aku menggunakan khimarku terlebih dahulu.
Lihat, betapa aku sangat beruntung lahir di tengah-tengah keluarga yang bahagia. Melihat keponakan dan sepupuku yang berjalan ke sana-kemari dengan melempar sapa juga senyum membuat aku amat bersyukur pada Allah karena Allah benar-benar Maha Baik telah memberikan kehidupan hamba sepertiku.
"Assalamualaikum Tante."
Mendengar suara mungil tersebut aku langsung membalik badan. Di belakang aku ada keponakanku yang masih berusia 3 tahun, wajahnya sangat lucu dan menggemaskan. Badannya yang kecil yang berbalut pakaian tertutup lengkap dengan hijabnya membuat aku semakin ingin mencubit pipinya.
Ku tekuk lutut dan memandang gadis kecil itu dengan memasang senyum.
"Wa'alaikum salam, Zahra."
"Tante masih ingat Lala?"
Aku tertawa kecil. Zahra yanh tidak bisa menyebutkan huruf "r" pun semakin membuatku gemas. Panggilannya Rara, tetapi dia menyebutnya sendiri menjadi Lala. Namun, aku lebih suka memanggil namanya, Zahra.
"Masih dong."
"Oleh-oleh Lala, ada?"
"Ada. Tante bawain oleh-oleh untuk semuanya. Tapi, kita harus makan dulu. Selesai makan malam baru Tante begikan."
"Pasti Tante Fatimah banyak abiskan uang, ya?"
Aku mengusap kepala Zahra yang berbalut khimar itu dan mengatakan, "nggak banyak, tetapi cukup dan bermanfaat untuk Zahra dan yang lain."
"Alhamdulillah. Lala tahu, Tante pasti tidak akan bolos uang. Kalena kalau bolos, uangnya telbuang, telus jadi mubajil dan jadi temannya setan."
"Pinter." Aku tertawa kecil mendengar ucapan Zahra. Usianya yang masih menginjak 3 tahun saja sudah paham tentang mubazir.
"Ayo makan malam dulu, pasti yang lain sudah menunggu."
Zahra mengangguk dan ikut bersamaku menuju ruang makan.
Sudah selalu begini, rumah kedua orangtuaku akan sangat ramai jika berkumpul. Tak lagi makan di meja makan, melainkan duduk di lantai dengan tikar yang tergelar. Karena, tida mungkin cukup dengan keluarga besar yang benar-benar besar untuk duduk di meja makan semua.
****
Dering jam beker terdengar sangat jelas di telinga. Aku tahu, ini pasti sudah pukul 3. Aku pun segera bangun dari tidur dan bergegas mengambil wudhu untuk melaksanakan salat sunnah tahajud.
Salat tahajud adalah satu-satunya salat sunnah yang Allah firmankan perintahnya dalam Al Qur’an sekaligus dengan menyebutkan keutamaannya. Salah satunya yang tercantum dalam surah Al-Isra':79, yang berbunyi....
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
“Dan pada sebagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al Isra’: 79)
Saat sepertiga malam terakhir itulah para Malaikat turun ke bumi untuk melihat seluruh hamba Allah. Maka, merugilah mereka yang tetap mempertahankan jiwa berkelana dalam mimpinya.
****
Matahari masih sedikit menampakkan sinarnya. Ku lihat jam ponsel yang masih menunjukkan pukul 6. Aku pun memutuskan untuk keluar kamar dan menuruni anak tangga setelah selesai membersihkan diri.
Rumah yang sebelumnya berserakan, kini sudah tertata rapih. Sanak saudara pun sudah tak terlihat lagi. Semuanya sudah kembali ke rumah masing-masing setelah selesai membersihkan kediaman keluargaku. Ya, keluarga besar kami memang selalu begitu. Pantang pulang sebelum semuanya bersih.
Aku membuka kulkas, masih ada beberapa menu makanan malam tadi. Maka, saat itu juga segera aku panaskan dan memasak beberapa menu tambahan untuk sarapanku bersama umi dan abi.
Baru memulai kegiatan memasak, umi datang menghampiri.
"Loh, kok sudah bangun? Nggak capek, apa?"
Aku tersenyum pada umi. "Sudah terbiasa umi."
"Umi pikir, kamu tidur lagi setelah subuh karena capek."
"Fatimah nggak bisa tidur lagi tadi Umi."
Umi mendekat, mengambil pisau untuk memotong daging yang sudah ku sediakan sebelumnya. Aku tetap melakukan pekerjaanku, mencuci dan menghaluskan bumbu masakan.
"Dulu aja, kamu paling sering tidur setelah subuh. Katamu, itu tidur paling nyaman. Bahkan kamu sering ketiduran di atas sajadah."
Mendengar itu aku malah tertawa kecil. Ucapan umi benar. Ingatan memori beberapa tahun lalu saat usiaku masih 7 tahun yang tak mungkin bisa terlupa. Aku memang sangat menyukai tidur setelah subuh, selain nyaman, bagiku juga mendamaikan. Tetapi, saat dengar pernyataan abi "kalau tidur setelah subuh, rezekinya di ambil orang" ketika itu aku menjadi takut. Ada rasa tak rela saat rezeki yang seharusnya untukku malah menjadi milik orang lain.
Sebenarnya tidur setelah subuh sangat tidak dianjurkan dalam Islam karena dapat mendatangkan kerugian atau efek yang tidak baik.
Banyak dalil-dalil sahih yang berpendapat tentang tidur setelah subuh. Ada yang mengatakan boleh dan makhruh. Salah satunya
Yang selalu ku ingat dari abi adalah, "Tidur setelah salat subuh, maka seseorang itu tidak akan memperoleh berkah dan akan menghambat rezekinya sendiri." Meskipun begitu aku selalu saja ketiduran setelah salat subuh.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
fa_zhra
saja jg kalau hbs subuh suka tidur,dah kebiasaan🤭
2021-07-06
0
Sweet Girl
Alhamdulillah... . dapat ilmunya
2021-06-20
0
Akiyama Hikari
Alhamdulillah, banyak banget ilmu dan pelajaran yang dapat di ambil.. Barakallahu fiik, Kak. 💚
2020-09-14
9