BAB 14

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bagaimana? ada yang kangen Ali dan Fatimah? part ini sepenuhnya tentang mereka berdua.

semoga cerita ini dapat memotivasi dan dapat dipetik pula hikmahnya.

*****

"Hari ini aku ada undangan dari klien, Sayang. Kamu ikut, ya?"

Ajakan sang suami baru saja pun membuat Fatimah sedikit bingung. Masalahnya, hari ini ia akan ada jadwal periksa kandungan. Ia pun lupa mengatakannya pada Ali.

"Hari ini aku ada janji sama dokter, Mas. Gimana?"

"Loh, kamu pasti lupa bilangnya nih."

Fatimah menyengir. "Iya, Mas. Hehe..."

Kecupan manis pun Ali berikan di dahi Fatimah. Tangan besarnya membelai lembut kepala Fatimah.

"Padahal Mas mau ngenalin kamu sama klien baru Mas di sana nanti."

"Yang punya sponsor itu, Mas?"

"Yang punya sponsor itu Adiknya, dia cuma jalankan cabang di sini aja."

Fatimah pun mengangguk-anggukan kepalanya pelan. Dia tak tertarik pada pembicaraan Ali tentang kliennya itu. Fatimah lebih menarik untuk membahas, makan.

"Aku laper, Mas." Fatimah menatap perut datarnya dan sesekali mengusapnya.

"Laper?" Tanya Ali terheran, karena mereka baru saja selesai makan siang beberapa menit yang lalu. "Mau makan di luar?"

Gelengan Fatimah menandakan bahwa ia menolak.

"Aku mau makan di.....kantor kamu. Boleh?" Kedipan kedua mata Fatimah pun membuat Ali merasa sangat gemas. Ia pun mencium hidung Fatimah.

"Sangat boleh. Kantor aku itu milik kamu, Sayang. Apapun yang suami punya, itu adalah punya istrinya juga. Jadi kita ke sana sekarang?"

"Kalau kita ke sana sekarang, makanannya gimana, Mas?"

"Hm, kemarin perusahaan Mas mau ngeluarin menu makanan baru dan hari ini seharusnya Mas akan menilainya. Makanan kesukaan kamu, Sayang. Gimana? Kamu mau coba?"

Makanan kesukaanku? Masa sih Mas Ali mengeluarkan menu tempe bacem kesukaanku di Jepang. Bahkan untuk mencari kedelai saja sangat rumit di sana. Batin Fatimah.

"Kamu serius launching tempe bacem, Mas?" Tanya Fatimah lagi dengan kekehan kecil hendak memastikan.

"Kamu nggak percaya, Sayang? Ayo ke kantor Mas. Akan Mas tunjukkin."

Fatimah mengembungkan pipinya dan menggeleng pelan. "Aku lagi nggak pengin itu."

Kening Ali berkerut membentuk beberapa lipatan. "Terus kamu mau apa, Sayang?" Ali bertanya dengan nada yang sangat lembut.

Tangan Fatimah menarik tangan kanan Ali dan diletakkannya tepat di atas perut Fatimah. Tanpa dikomando pun Ali langsung membelai lembut perut sang istri. Kecupan pun ia daratkan di ubun-ubun Fatimah seiring melantunkan surah Maryam.

****

"Tadi katanya laper, eh sekarang malah tidur." Ali menggeleng dan terkekeh kecil melihat Fatimah yang semakin menggemaskan dipandang.

Tangannya terus membelai perut Fatimah tanpa rasa bosan. Bahkan untuk beranjak saja ia tak ingin. Rasa cintanya pada Fatimah selalu membuatnya nyaman. Pertemuan singkatnya dahulu yang tak sengaja pun sudah mampu membuatnya bahagia saat ini. Mungkin kalau dulu ia bersikeras mengejar cinta Fatimah dan lalai untuk mengejar cinta Allah, bisa saja tak ada pernikahan antara dirinya dan Fatimah.

Mencintai dan memiliki Fatimah bukanlah sebuah kesalahan, melainkan kesempatan untuk menyempurnakan ibadah keduanya.

Ali tidak pernah menyangka sebelumnya jika ia akan berjodoh dengan wanita secantik dan sesolehah Fatimah.

Ali dahulu tak tahu jika Fatimah yang wanita biasa pun bisa seperti malaikat tak bersayap layaknya Fatimah Az-Zahra. Fatimah istrinya pun lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri.

Ada salah satu kisah teladan dari Siti Fatimah, yakni tentang kalung yang dia miliki. Kala itu, Rasulullah tengah duduk di masjid bersama dengan sahabatnya. Tiba-tiba, datang seorang musafir yang kehabisan bekal. Musafir pun berkata kepada Rasulullah. "Ya Rasulullah, saya lapar sekali. Beri lah saya makanan

"Saya tak punya pakaian kecuali yang saya kenakan. Saya tak punya uang untuk bekal pulang. Tolong saya ya Rasul."

Mendengar hal itu, Rasulullah langsung menjawab, "Sayang, aku sedang tidak memiliki apa-apa untuk diberikan kepadamu. Tetapi, orang yang menunjukkan kebaikan adalah sama dengan orang yang melakukannya."

Rasulullah pun langsung meminta musafir untuk pergi ke rumahnya untuk bertemu Siti Fatimah Az Zahra. Rasullah mengaku sang anak memiliki ketaatan kepada Allah SWT.

"Pergi lah ke tempat yang dicintai Allah dan Rasulnya. Dia lebih mengutamakan Allah daripada dirinya sendiri, itu lah Fatimah, putriku."

Lalu, diantarkannya musafir oleh sahabat nabi untuk bertemu Siti Fatimah. Sesampainya di sana, Fatimah ternyata juga tidak memiliki sesuatu yang layak untuk dimakan. Ia juga tidak memiliki uang untuk diberikan kepada musafir.

Tetapi, Siti Fatimah Az-Zahra ingat bahwa ia memiliki kalung hadiah pernikahan dari sang suami, Ali bin Abi Thalib. Dengan ikhlas, Siti Fatimah memberikan kalung satu-satunya itu kepada sang musafir.

"Jual lah kalung ini. Mudah-mudahan harganya cukup untuk memenuhi kebutuhanmu," kata Siti Fatimah kepada sang musafir.

Kemudian, musafir kembali ke tempat Rasulullah berkumpul dan diperlihatkannya kalung pemberian Siti Fatimah Az-Zahra. Rasulullah begitu terharu melihat sang putri yang ikhlas memberikan satu-satunya harta yang dimiliki untuk membantu musafir itu.

Salah seorang sahabat Nabi bernama Ammar bi Yasir pun mengajukan diri untuk membeli kalung. "Berapa hendak kau jual kalung itu?" kata Ammar kepada musafir.

Musafir menjawab, "Aku akan menjualnya dengan roti dan daging yang bisa mengenyangkan perutku, sebuah baju penutup tubuhku dan uang 10 dinar untuk bekalku pulang."

Tak disangka, Ammar justru membeli kalung itu dengan harga 20 dinar emas, ditambah sebuah baju, serta seekor unta untuk tunggangan Si Musafir.

Mendapatkan kalung itu, Ammar langsung meminta budaknya bernama Asham untuk menghadap Rasulullah dan memberikan kalung milik Siti Fatimah tersebut. Ia juga turut memberikan Asham sebagai budak Rasulullah.

"Wahai Asham, pergi lah menghadap Rasulullah dan katakan aku menghadiahkan kalung ini dan juga engkau kepadanya. Jadi mulai hari ini kamu bukan budakku lagi tetapi budak Rasulullah," jelas Ammar.

Setelah mendengar pesan dari Asham, Rasulullah tersenyum dan melakukan hal yang sama kepada Siti Fatimah. Mendengar hal itu, Siti Fatimah begitu bahagia.

Namun, kebahagiaannya bukan karena mendapatkan seorang budak. Malahan, ia membebaskan Asham dan menjadikan ia sebagai manusia merdeka.

Asham begitu gembira hingga tertawa. Hal itu pun membuat Siti Fatimah bingung. Asham pun berkata bahwa ia kagum dan takjub melihat berkah dari kalung milik Siti Fatimah karena telah mengenyangkan orang lapar, hingga membebaskan seorang budak.

"Aku tertawa karena kagum dan takjub akan berkah kalung itu. Kalung itu telah mengenyangkan orang yang lapar, telah menutup tubuh orang yang telanjang, telah memenuhi hajat seorang yang fakir dan akhirnya telah membebaskan seorang budak," ungkap Asham.

****

Ali pun memindahkan Fatimah ke kamar mereka agar nanti saat bangun badan Fatimah tak akan merasakan sakit-sakit. Hati-hati pula Ali menidurkan Fatimah dengan penuh cinta meletakkan di ranjang.

Kecupan pun ia tinggalkan cukup dalam seiring berdoa tepat pada ubun-ubun Fatimah.

"Dekatkanlah yang terbaik untuk menjadi garisnya Ya Allah. Jauhkan pula hal buruk dari setiap langkahnya." Dikecup pula ubun-ubun Fatimah lalu ia melangkah keluar kamar.

Sembari menunggu istri tercinta bangun, Ali memilih untuk memasakkan menu makanan sehat nanun tetap enak untuk wanita hamil. Setelah mengalami morning sickness beberapa hari, kini Ali merasa sudah sangat baik. Rasanya sangat senang ketika ia merasakan apa yang Fatimah rasakan sebelumnya. Karena jarang sekali terjadi suami yang mengalami morning sickness dan Ali pun termasuk dalam kalangan kata beruntung.

Membuang sampah adalah pekerjaan selanjutnya. Sebenarnya Ali ada pekerjaan di kantor. Hanya saja, entah dorongan dari mana, hatinya sangat ingin memanjakan Fatimah. Melihat Fatimah yang setiap hari melakukan pekerjaan rumah layaknya Ibu rumah tangga, lalu kuliah menjadi mahasiswi pasti sangat melelahkan. Namun, tak pernah sedikitpun Ali dengar Fatimah mengeluh. Ia bahkan selalu menebar senyumannya, senyuman yang sangat membuat Ali candu di setiap detiknya.

Ali mengangkat tong sampah minimalis itu dan membawanya keluar untuk ia tuang di mana petugas kebersihan akan mengangkutnya. Saat menuang tempat sampah itu Ali mengernyit ketika mendapati tabung obat yang ikut terjatuh.

Tangannya pun meraih tabung itu dan menatapnya seksama. "Apa ini?" Tanya Ali terheran pada dirinya sendiri.

"Apa ini milik Fatimah? Ini bukan vitamin yang biasa ia konsumsi."

Ali menghela napas pelan. Sepertinya ada hal yang Fatimah sembunyikan darinya. Tabung itu pun ia bawa dan simpan. Ia harus tahu, apa yang Fatimah sembunyikan.

****

"Loh, udah bangun, Sayang?"

Ali tersenyum saat memasuki rumah sudah ada Fatimah yang menikmati masakannya tadi.

Senyuman menawan Fatimah pun tampak dengan mata yang masih sangat sayu. "Kamu dari mana, Mas?"

"Buang sampah tadi." Ali mencuci tangannya terlebih dahulu dan mendekat pada Fatimah. Membelai rambut istrinya adalah pilihan.

"Enak?" Tanya Ali.

Fatimah memasang cengiran lebar dan mengangguk. "Sangat enak."

"Aku pengin makan udon, Mas." Sambungnya setelah meletakkan sendok yang tadinya Fatimah pegang.

"Udon? Terus makanan sebanyak ini siapa yang makan, Yang? Mubazir."

Fatimah mengembungkan pipinya. Pikirannya berkelana mencari solusi. Benar, makanan ini masih sangat banyak, siapa yang akan memakannya?

Bibirnya pun mengembang cepat. Naya. "Aku beri Naya, boleh?"

"Mas masak ini untuk kamu, Sayang."

Fatimah menghela napas pelan. "Oke. Aku habisin."

Tangannya kembali memakan masakan Ali dan tanpa terasa air matanya mengalir begitu saja.

Ali memejamkan matanya sesaat takut jika ia tersulut amarah melihat Fatimah yang memang tengah menguji kesabaran. Ali memasakkan makanan untuknya, dan ia ingin memberikan makanan itu untuk Naya. Bagaimana bisa? Kini, istrinya menangis? Astaghfirullah. Hormon ibu hamil yang Fatimah alami benar sangat menguras kesabaran.

Ali menghela napasnya pelan dan mencium dalam puncak kepala Fatimah. "Mas beliin udon. Jangan nangis."

Fatimah menggelengkan kepalanya tapi masih dengan air mata yang mengalir.

Ali meraih sendok dari tanganku, "Nggak apa-apa sayang. Kita belu udon."

"Maafin aku, Mas." Ucapnya dengan sangat lirih.

"Nggak apa-apa. Mas paham, Sayang. Yaudah, sekarang Mas mau minta tolong dulu dengan Gin untuk membelikan udon."

Gin adalah supir pribadi Ali yang sudah lama bekerja, tetapi Ali masih jarang sekali untuk memakai Gin. Karena, bagi Ali jika ia masih bisa maka akan ia lakukan. Ali bisa saja pergi membelikan Fatimah udon, tetapi ia adalah pemilik perusahaan ternama di Jepang, Khay Kin Group.

Sifat dan sikap sederhana yang Ali miliki tak menampakkan ia seolah orang yang kaya raya bergelimang harta. Baginya, harta dari kesuksesan itu hanyalah milik Allah. Ali tak bisa semena-mena atas harta itu, harta yang kelak pun akan dimintai pertanggungjawabannya.

"Mas..."

Ali yang tadinya hendak menghubungi Gin pun terhenti saat mendengar Fatimah yang memanggilnya dengan nada sangat lembut. Ali melihat Fatimah yang memainkan jemarinya dan tampak gugup juga seperti tak enak untuk mengatakan sesuatu. "Kenapa, Sayang?"

"Aku....., aku mau..."

Ali tersenyum seolah paham apa yang akan Fatimah katakan. "Oke, Mas akan memasaknya untuk kamu dan baby kita."

Lekungan bulan sabit pun tampak sempurna di bibirnya. Ali yang sangat peka membuat Fatimah merasa sangat beruntung dan selalu begitu.

"Tapi, Mas..."

"Jangan merasa tak enak hati pada suamimu sendiri, Sayang. Mas tahu jika itu permintaan baby kita." Tangannya membelai lembut perut Fatimah dan tubuh Ali pun membungkuk kala mencium perut istrinya yang sedikit membuncit itu.

Ali paham, sangat paham. Fatimah bukanlah tipikal istri yang banyak meminta, hanya saja Ali tak tahu mengapa hormon kehamilan Fatimah membuat wanita itu sedikit lebih manja. Meski terkadang menguras kesabaran, tetapi Ali juga menyukainya. Ali merasa sangat bahagia walaupun selalu diiringi istighfar.

****

Selesai dengan drama romantis rumah tangga, kini Ali dan Fatimah pun bersama datang ke dokter kandungan dan mengabaikan undangan dari klien Ali dan mengundur acara launching menu makanan baru di perusahaan Ali pula. Ali lebih rela meninggalkan segala pekerjaan hanya untuk istrinya. Pekerjaan bisa saja selesaikan oleh tangan kanan kepercayaannya, sedangkan Fatimah? Tak mungkin ia rela membiarkan istrinya pergi sendiri dengan supir pribadi.

"Aku deg-degan, Mas." Ujar Fatimah.

"Masa sih?" Ali menghentikan langkahnya di lobby rumah sakit dan secara otomatis pula langkah Fatimah ikut terhenti.

Fatimah mengangguk. "Serius, Mas. Aku deg-degan. Kenapa, ya?"

Ali tersenyum kecil. Kakinya pun ia tekuk agar sejajar sengan perut Fatimah. "Hei kesayangan Ayah. Kamu takut bertemu dokter, hm? Jangan gitu, ya. Kasian Bunda, jadi deg-degan, katanya."

Fatimah menggeleng pelan. Tangannya membelai rambut Ali. "Mas, diliatin orang ih."

Ali pun membalikkan posisinya. "I don't care about that, my wife. Now what? Still pounding?"

Tangan Fatimah mengarah pada dadanya. Tak ada lagi jantung yang berdebar kencang setelah Ali berbicara dengan janin yang masih berada di dalam perut Fatimah. Janinnya seolah paham akan apa yang Ali katakan, Masya Allah.

"Udah nggak lagi, Mas." Gumam Fatimah kecil.

Ali mengusap lembut kepala Fatimah yang tertutup khimar. "Baby kita pintar, Sayang."

"Ayo ke ruangan dokter kamu."

Anggukan Fatimah pun menjadi jawaban sebagai awal berlanjutnya langkah mereka.

Baru melangkah melewati beberapa jendela, kini langkah mereka terhenti saat secara tak sengaja Fatimah bertemu dengan lelaki yang pernah menolongnya tempo hari yang tak lain dan tak bukan lagi adalah Ken.

"You again?" Ujar Ken dengan bibirnya yang mengeluarkan tawa kecil. Hal itu jelas membuat Alu mengernyit bingung dengan tumbuh banyak pertanyaan dalam benaknya.

"Do you know my wife?" (Apakah Anda mengenal istri saya?)Tanya Ali dengan tatapan mengintimidasi.

Fatimah pun merunduk. Ia sungguh takut jika Ken mengatakan saat dirinya mendapati Fatimah yang tergeletak pingsan karena anfal.

"I've only seen him a few times in Sapporo park. And now meet again. God's power is unpredictable." (Aku hanya melihatnya beberapa kali di taman Sapporo. Dan sekarang bertemu lagi. Kekuatan Tuhan tidak dapat diprediksi)

Ali hanya mengangguk kecil mendengar jawaban Ken.

"Then, excuse me first. Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam." Jawab Ali dan Fatimah bersamaan.

Ken pun meninggalkan sepasang kekasih halal itu berdua. Fatimah bernapas lega saat Ken tak mengatakan apapun tentang apa yang ia tahu.

"Jujur saja, Mas sangat cemburu, Sayang."

****

HUAAAQQA GIMANA NIH?

Terpopuler

Comments

fa _azzahra

fa _azzahra

alangkah baiknya kalau bahasa inggris nya ada translate.ga semua tau arti nya

2021-07-06

0

Sweet Girl

Sweet Girl

ngomong opo tho Thor ... Ken mAu....?

2021-06-20

0

shakila

shakila

q masih pensaran waktu ali bohong

2021-03-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!