Bab 18 Aku Hanya Milikmu

Rama merasa sangat bersalah. Dia bisa merasakan jika Aisyah sakit pasti ada hubungannya dengan kecemburuannya beberapa hari lalu. Dibantu Rangga, akhirnya mereka sampai di kediaman dokter Susan. Untung saja dokter Susan sedang tidak ada pasien dan bebas. Mereka bertiga segera menuju ke panti.

Dokter Susan memeriksa keadaan Aisyah. Dia berkata, “ Dia hanya kecapekan dan kebanyakan pikiran. Untuk sementara waktu butuh banyak istirahat.”

“Baik, Dokter,” jawab Bunda. Dia merasa cemas dengan keadaan Aisyah.

Dokter Susan memberikan resep obat untuk Aisyah. Dia meninggalkan kediaman Bunda di antar oleh Rama yang sekaligus menuju ke apotik untuk menebus obat untuk Aisyah. Perasaannya sangat gundah. Hatinya tak menentu. Pikirannya melayang ke beberapa hari lalu dia tidak mengindahkan pesan-pesan Aisyah. Kini dia menyesal telah membuatnya sakit.

“Rama, sebaiknya Rama beristirahat dulu. Biar Bunda saja yang menjaga Ais,” kata Bunda dengan lembut.

“Nggak, Bun. Saya nggak lelah,” jawab Rama dengan lirih.

“Tapi kamu kan baru pulang kerja dan belum istirahat?” kata Bunda lagi.

“Iya, nggak apa-apa. Saya bisa istirahat nanti. Saya ingin menjaga Aisyah.” Rama tetap bersikeras. Bunda tidak bisa menghalangi kemauannya. Dia meninggalkan Rama yang berada di kamar Aisyah ditemani Bi Atun. Wajah Rama terlihat sangat lelah. Seluruh tubuhnya pun penat. Tapi demi wanita yang dicintainya dia tahan semua itu.

Aisyah masih terlelap. Dia belum membuka mata sejak Rama datang. Bi Atun yang tahu penyebabnya menyuruh Rama bersabar. Dia menyuruhnya untuk beristirahat tetapi Rama bersikeras tidak mau. Bi Atun meninggalkannya yang masih menunggu Aisyah. Pemuda itu tidak bisa menjauh dari calon istrinya yang masih tergolek lemah. Dipandanginya lekat-lekat wajah cantik itu. Wajah yang selalu ceria dan berseri-seri, kini memucat. Semua itu karena ulahnya. Rama menyalahkan diri sendiri.

Rasa cintanya yang besar telah membuatnya sangat posesif. Dia tidak ingin gagal untuk yang kedua kalinya. Dia tidak imgin membuat kecewa keluarga kedua belah pihak. Dia juga berubah ketika mengenal Aisyah

Sesuatu yang tidak dimiliki wanita-waniya yang selama ini dikenal dan dekat dengannya. Aisyah adalah sosok ideal di mata Rama. Sosok yang sempurna menurutnya.

“Mi-num,” suara Aisyah bergetar. Tangannya bergerak-gerak. Dengan sigap Rama mengambilkan air putih yang terletak di meja kecil, samping pembaringan Aisyah. Aisyah perlahan meminumnya, hanya sedikit. Kemudian dia berbaring dan tidur lagi. Rama memberanikan diri untuk menyentuh tangan Aisyah. Suhunya masih panas. Dia mencoba menggenggam jari jemari wanitanya, berharap agar Aisyah juga merasakan apa yang dirasakannya.

Beberapa menit berlalu, Rama mengirim pesan kepada Farida jika dia sedang berada di tempat Bunda. Mengabarkan bahwa Aisyah sakit. Dia duduk terdiam, tangannya masih menggenggam jemari Aisyah. Kantuk pun menyerang. Kepala Rama akhirnya jatuh di sisi Ranjang. Bunda yang melihatnya tak kuasa membangunkan meski sebenarnya tidak enak hati melihat mereka berduaan saja sebelum ada ikatan Resmi. Dia hanya menunggu hingga terdengar Aisyah batuk-batuk. Bunda bergegas masuk. Rama pun terbangun.

“Mas, Ra-ma,” gumam Aisyah lirih begitu melihat calon suaminya itu. Dia menarik tangannya dari tangan Rama.

“Iya, Ais. Ini aku.”

“Ais sudah bangun, Sayang? Ais mau minum?” tanya Bunda padanya.

Aisyah mengangguk. Rama dengan sigap mengambilkan air minum dan memberikannya kepada Aisyah. Gadis itu menyandarkan tubuhnya ke punggung ranjang.

“Pulanglah, Mas. Sudah malam. Kamu lelah,” ucap Aisyah dengan suara lemah.

“Baiklah, aku besok ke sini lagi,” jawab Rama. Dia berpamitan kepada Bunda dan Ayah yang juga berada di kamar Aisyah.

Sesampainya di rumah, Rama tidak langsung beristirahat. Pikirannya menerawang jauh entah ke mana. Dalam hati dia menyesal telah mengabaikan Aisyah hingga gadis itu jatuh sakit. Memang, Rama berubah menjadi pria pencemburu dan juga posesif sejak mengenal Aisyah. Kelebihan yang dimiliki Aisyah telah menawan hatinya.

“Baru pulang, Ram?” sapa Farida.

“Iya, Ma.”

“ Bagaimana kabar Aisyah, Nak?” Farida bertanya dengan wajah cemas.

“Belum stabil, Ma.”

“Kayaknya dia kelelahan untuk persiapan pernikahan kalian,” kata Farida sedih.

“Mungkin saja. Tadi dokter sudah memeriksanya.”

“Apa katanya?”

“Kelelahan dan juga asam lambungnya naik.” Padahal Rama tahu jika Aisyah jatuh sakit karena sikapnya yang tiba-tiba marah pada calon istrinya itu. Api cemburu sudah membuat Rama buta dan mendominasi. Dia menghela napas panjang. Farida melihat putranya begitu letih.

“Ya sudah. Kamu beristirahat saja dulu. Sudah hampir tengah malam. Besok kamu kan juga harus kerja.”

“Iya, Ma. Rama istirahat dulu, ya?” Rama meninggalkan Farida dengan langkah gontai. Tidak ada gairah. Dia sibuk menyalahkan diri sendiri. Farida merasakan jika putranya benar-benar lelah, tetapi dia tidak tahu menahu apa yang sebenarnya telah terjadi antara Rama dan Aisyah.

*

Selepas kerja, Rama menyempatkan diri menengok Aisyah. Di sana, Ayah dan Bunda menyambutnya dengan gembira. Dia membawakan parsel buah dan juga beberapa makanan ringan.

“Baru pulang, Rama?” tegur Ayah Harun yang sedang membaca buku. Rama menyalami keduanya dengan takzim.

“Iya, Yah, Bun. Rama mau bertemu Aisyah dulu.”

“Iya, Nak. Silakan.”

Rama melangkah masuk diiringi Bunda yang membawa oleh-oleh darinya dan meletakkannya di ruang makan.

Rama melihat Aisyah sedang termenung seorang.

“Ais …,” sapanya. Dia melihat gadis itu sedang tidak berhijab. Sungguh sangat cantik wanita yang akan dinikahinya itu. Dia mengagumi kecantikan Aisyah.

Gadis itu terkejut dan menoleh melihat Rama datang. “Mas Rama.” Aisyah hendak meraih hijabnya dan mencoba duduk bersandar pada punggung ranjang. Tetapi Rama menahannya. Dia menahannya dengan dua bantal yang ditumpuk untuk sandaran Aisyah.

“Tidak perlu kamu tutupi lagi wajahmu. Biarkan aku menikmati keindahan ciptaan Tuhan yang ada di depanku. Jangan kamu tutupi.” Rama tersenyum. Debaran hatinya kian terasa. Aisyah menjadi salah tingkah.

“Baru pulang, Mas,” tanya Aisyah sedikit gugup ketika Rama duduk di dekatnya.

“Iya. Kebetulan hari ini nggak lembur.”Keduanya terdiam sejenak. Hingga Rama membuka suara lagi.

“Aku mau minta maaf, Ais.”

“Untuk apa?”

“Aku akui, aku cemburu dan kecemburuanku telah membuat kamu begini.” Rama memandang wajah sayu di depannya.

“Lupakan, Mas. Jangan berpikir terlalu berlebihan.”

“Iya, aku minta maaf. Maafkan aku, Ais. Aku sungguh-sungguh mencintaimu, dan tidak ingin melihatmu dekat dengan yang lain.”

Aisyah tersenyum. “Sudah kumaafkan sebelumnya. Yakinlah aku hanya milikmu. Jangan ragukan itu.”

“Terima kasih, Sayang.” Rama mengucapkan kata Sayang pada Aisyah, membuat gadis itu kian tersipu. Hati keduanya kembali mencair setelah kesalahpahaman tempo hari.

“Cinta kita akan terus diuji, Ais. Kuharap kita tak tergoyahkan hingga maut memisahkan kelak.”

“Aamiin, Insya Allah.” Keduanya larut dalam kebahagiaan. Rama mengambil dan mengupas buah untuk Aisyah dan memberikannya padanya.

“Aku melihat bidadari ada di depanku. Bidadari cantik yang tiba-tiba datang memporak porandakan hatiku,” goda Rama.

“Sok puitis dan romantis kamu.” Keduanya tergelak, tertawa bersama.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!