Bab 13 Bukan Penolakan

Sejak saat itu, tiada lagi tegur sapa antara Aisyah dan Rama. Mereka seakan-akan tidak pernah kenal sebelumnya. Rama pun lebih banyak menunggu di luar. Ninda yang super kepo jadi ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia ingin menyelidikinya pelan-pelan. Sore itu, sebelum pulang, dia sempat mendengar cerita anak panti jika Aisyah akan dilamar seseorang setelah lebaran.

“Setelah lebaran, Kak Ais mau menikah.”

“Kamu tahu dari mana?”

“Aku kemarin dengar Bunda lagi cerita sama Bi Atun. Katanya, Kak Ais mau dijodohkan, terus menikah.”

“Kasihan ya, Kak Ais. Kit bakalan berpisah dengannya.”

“Aku harap tidak. Kak Ais pasti akan bersama kita terus.”

“Iya, aku juga berharap begitu.”

Pupus sudah harapan Ninda untuk menjadi mak comblang antara Aisyah dan kakaknya. Di dalam mobil, Ninda tidak banyak bicara. Dia hanya sibuk bermain game. Rama menoleh sesaat pada adiknya itu. Dia juga tampak acuh.

“Mau beli takjil dulu, nggak?” Suara Rama membuyarkan Ninda.

“Boleh,” jawabnya singkat. “ Kayak biasa aja, Mas.”

“Iya.” Hanya singkat jawaban Rama. Di masih fokus menyetir. Mereka turun untuk membeli takjil dan juga buah untuk ibu mereka, Farida. Ninda sengaja membeli banyak makanan untuk ibunya agar kesehatannya kian membaik. Sementara Rama menunggu di dekat mobil.

“Minta sedikit sedekah, Nak.” Suara seseorang membuat Rama yang tengah mengawasi adiknya, menoleh. Seorang laki-laki tua berpakaian dekil dan compang-camping tampak tengadahkan tangannya, meminta sedekah. Laki-Laki itu juga tidak memakai alas kaki. Rama kasihan.

Dia berkata, “Tunggu sebentar, Pak. Bapak tunggu di sini.” Rama meninggalkan laki-laki itu dan pergi. Tak berapa lama, dia sudah kembali membawa dua tas kresek dan memberikannya kepada laki-laki peminta-minta itu. Dia juga mendekati salah satu penjual takjil, membeli beberapa jenis makanan.

“Ini ada beberapa potong baju untuk Bapak, juga sandal. Bisa Bapak pakai nanti. Ini kami ada sedikit makanan dan uang. Mohon diterima ya, Pak?” kata Rama sambil tersenyum kepadanya.

“Terima kasih, Nak. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu dan mengabulkan keinginanmu.”

“Aamiin. Kami pulang dulu, Pak.”

Rama dan Ninda meninggalkan tempat itu. Mereka merasa bahagia bisa berbagi sedikit dengan orang-orang yang dijumpainya.

“Untung Mas Dio udah di rumah, ya? Jadi ada yang njagain Mama,” kata Ninda pada Rama. Rama hanya mengangguk.

Di rumah, Dio sudah membantu menyiapkan hidangan berbuka puasa yang sudah di masak Bi Marni. Meski laki-laki, Dio tidak segan mengerjakan tugas perempuan, karena dia terbiasa hidup mandiri di kost.

Selesai berbuka puasa, Farida memanggil Rama ke kamarnya. Dengan penuh kasih sayang, Rama memijit kaki Farida pelan-pelan. Ada rasa bahagia dan bangga pada Rama. Dia ingin melihat putra tertuanya itu segera menikah.

“Ram, nanti sebelum lebaran, tolong kirimkan zakat untuk anak-anak panti,ya?”

Rama sedikit tersentak mendengar Farida menyebut nama panti. Wajah seseorang kembali hadir menyapanya.

“Iya, Ma.”

“Lebaran pertama tahun ini, kita di sini saja. Kakek dan Nenek sudah tidak ada semua. Kesehatan Mama juga sedang menurun. Lebih baik kita silaturahmi ke panti, tempat Ninda belajar kelas ramadan.”

Rama tidak menjawab. Dia hanya mengangguk, tanda setuju, meski dalam hati dia ingin sekali menghindar bertemu dengan Aisyah.

“Mama juga akan mengenalkanmu dengan anak teman Mama. Semoga saja kalian berjodoh, itu harapan Mama.”

Rama terdiam. Dia masih terus memijit kaki ibunya hingga Farida terlelap.

Sebagai seorang pria yang memiliki banyak kenalan dan pergaulan luas, Rama memang pernah dekat dengan beberapa wanita, meski tidak sampai jadian. Dia belum menemukan sosok yang pas setelah hubungannya kandas dengan Karina. Rata-rata dari mereka hanya menyukai materi dan wajah yang menjadi tolok ukur. Rama sudah muak dan bosan dengan semua hal yang membuat kegersangan hati.

Perlahan, dia kembali ke kamarnya, menenangkan diri.

Aku bisa saja mendapatkan wanita manapun yang aku suka. Tapi mengapa tidak dengan Aisyah? Mengapa Aisyah rasanya sulit kudapatkan? Seakan ada tembok dan tabir yang menghalangi. Aisyah sulit kujangkau.

Di tempat berbeda, Aisyah pun merasakan hal yang sama. Dia sebenarnya tidak akan menolak Rama jika saja Bunda belum akan menjodohkan. Dalam hati di hanya bisa meratap, memohon agar hatinya diberikan keikhlasan terhadap segala sesuatu.

Aku tidak akan menolakmu, Mas. Jika saja aku belum dijodohkan. Ini bukan penolakan dariku. Aku tidak ingin mengecewakan Bunda yang sudah kuanggap seperti orang tua kandungku sendiri. Tapi, aku pun tidak bisa menghapusmu, karena kita baru saja akan dekat.

Tangis Aisyah tumpah di atas sajadahnya. Ibarat tengah berperang dengan perasaan, hingga tanpa disadari dia menyebut Rama berulang kali.

*

Rama mengantarkan Yoga menuju kontrakan yang akn ditempatinya sebelum menjemput Ninda.

“Ini mungkin tidak terlalu bagus buatmu, Yog. Tapi kuharap, kamu sementara bisa nyaman di sini.”

“Terima kasih, Ram. Aku akan segera menceraikan istriku. Aku sudah banyak dibohongi oleh keluarganya. Mereka hanya memperalatku menjadi sapi perahan selama ini.”

“Sudahlah. Tenangkan dulu pikiranmu. Aku yakin orang tuamu mencemaskanmu.”

“Tentu saja. Tapi aku tidak ingin merepotkan mereka dengan masalah yang tengah kuhadapi. Mereka juga terluka. Kurasa karena itu kesalahan mereka juga.”

“Kesalahan? Kesalahan apa?”

“Nanti aku akan menceritakannya padamu.”

“Baiklah. Selamat beristirahat.”

Rama meninggalkan kontrakan Yoga. Sepeninggal Rama, laki-laki itu kini merenungi nasibnya. Dia tidak pernah menyangka jika awal mula yang dulu dia bangun dengan cinta justru dibalas dengan pengkhianatan. Dan itu dilakukan di depan mata kepalanya sendiri.

Apakah mungkin ini adalah karmaku? Balasan untukku? Ataukah cobaan? Gumamnya.

*

Rama sudah sampai depan gerbang kelas ramadan. Dia hanya menunggu di mobil sambil mengecek beberapa pekerjaannya lewat gadget. Beberapa hari lagi dia akan sangat sibuk menjelang hari raya. Dia masih memainkan gawainya ketika Ninda datang dan masuk ke mobil.

“Udah lama ya, Mas?”

“Ya lumayan.”

Dari jendela kantor panti yang tertutup sebagian, Aisyah diam-diam melihat Rama yang sedang bersama Ninda. Sejurus kemudian, Rama meninggalkan panti. Hati Aisyah ingin menangis dan menjerit. Tak ada satu pun yang bisa membuatnya bahagia.

Di perjalanan, Rama pun tiada henti memikirkan Aisyah. Dia bisa merasakan jika gadis itu juga memiliki perasaan padanya walaupun ditutupinya. Rama bisa menangkap gelagat gadis itu.

Sayang sekali, Aisyah. Sebentar lagi kamu akan dijodohkan. Aku salut padamu, yang begitu berbakti pada orang tua asuhmu. Semoga kamu bahagia, Aisyah.

Semoga aku juga bisa melupakanmu.

Kumandang azan tanda berbuka puasa telah berbunyi. Panggilannya begitu membuat hati yang kering menjadi segar kembali untuk segera sujud berserah diri.

Aisyah dan Rama sama-sama menghabiskan waktu mereka di atas sajadah yang membentang. Di antara sujud itu mereka mengadu banyak hal. Terutama kisah asmara mereka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!