Bab 3 Balasan Setimpal

“Minta sedikit sedekahnya, anak saya belum makan sejak kemarin. Kasihanilah,”  ucap seorang wanita setengah baya mengiba sambil  menengadahkan tangannya kepada setiap orang yang dijumpainya. Dia bersama seorang anak kecil dengan baju kumal dan compang-camping 

Namun, tidak ada yang peduli. Mereka bersikap, bahkan ada juga yang menghardiknya.

Tak jauh dari tempat itu, Aisyah tengah memarkir motornya di depan toko sembako. Dia melihat wanita itu dengan iba setelah melihat seseorang mengusirnya.

“Yaa Allah, kasihan sekali ibu-ibu itu. Apa yang bisa kubantu ya?” gumamnya lirih. Aisyah mendekat lalu memanggilnya. “Ibu, mohon maaf. Ada yang bisa saya bantu?” ucap Aisyah lembut. 

“Minta sedekahnya, Nak. Sejak kemarin, kami belum makan. Anak saya menangis terus karena kelaparan.”

Aisyah mengeluarkan  tiga lembar uang berwarna merah dan menyerahkan kepada wanita itu. “Tunggu sebentar, Bu. Ibu jangan pergi dulu, ya?” pinta Aisyah. Gadis itu menuju ke  toko sembako. Dia kembali membawa satu sak  beras beserta beberapa bahan makanan lainnya. 

“Bu, mohon maaf. Saya hanya bisa membantu ala kadarnya. Semoga ini bisa membantu,” kata Aisyah kepada wanita itu. 

“Terima kasih, Nak. Semoga Allah membalas kebaikanmu.” Dia menyalami Aisyah. 

“Sama-sama, Bu.” Aisyah  masih berdiri mematung memandang  wanita itu berlalu dari hadapannya. Dia menunggu Pak Madi, sopir panti yang terbiasa mengambil sembako di sana. Tak lama, Pak Madi datang. Dia dibantu Bi Atun dan Aisyah memasukkan barang-barang itu ke mobil. 

Aksinya mendapatkan perhatian seseorang dari dalam mobil. Dia sekilas dapat melihat wajah Aisyah yang cantik dengan balutan hijab pastelnya. Senada dengan warna gamis yang dikenakan. Ada gelenyar-gelenyar aneh yang kini dirasakannya, bahkan membuat hatinya berbunga-bunga. Dia ingin mengenal Aisyah lebih jauh. 

Siapa gadis itu? Andai saja aku bisa mengenalnya. Gumamnya dalam hati. Dalam pandangannya, Aisyah memiliki aura yang tak dimiliki oleh wanita lain, lebih tepatnya wanita yang sebelumnya pernah menjadi kekasihnya kemudian memutuskannya.

Dia tak lain adalah Rama. Setelah beberapa bulan putus dari Karina, Rama lebih fokus memikirkan karirnya. Nasib perusahaan tempatnya kerja pun kini sedang berada di ujung tanduk. Tetapi Rama berusaha semaksimal mungkin mempertahankan karirnya di sana.

Dia harus berusaha membuat perusahaan itu kembali eksis, sebab banyak tenaga kerja yang menggantungkan hidup mereka di sana. Rama bekerja keras untuk itu, tanggung jawabnya pun berat.

*

Di salah satu apartemen, Karina sedang bersama seorang pria, menikmati kebersamaan yang penuh keintiman.

“Sayang, kapan dong kamu nikahin aku. Aku kan sudah memenuhi perkataanmu. Sekarang aku nagih janjimu.” Rengek Karina dengan manja.

“Sabar, dong. Nikah juga perlu modal.” Dia beralasaan. Mengacuhkan Karina yang masih bermanja di sampingnya.

“Kenapa? Aku -,” Karina menjeda kata-katanya.

“Kamu kenapa?” tanya pria itu penasaran.

“Aku positif, Sayang. Aku hamil.”

“Apa? Kamu … kamu … hamil?”

“Ya. Aku hamil. Ini anakmu, anak kita.”

“Tidak! Itu tidak mungkin! Bagaimana bisa, bukankah kita selalu memakai pengaman?”

“Apanya yang tidak mungkin?  Terakhir kali kamu tidak memakainya. Kamu lagi mabuk, Sayang. Bukankah kita saling mencintai?”

“Iya, tapi-” Pria yang sedang bersama Karina terlihat frustasi. Mengapa aku jadi bodoh begini ! Mengapa dia sampai kebobolan. Dasar wanita licik!  Rutuknya dalam hati.  Sepertinya dia sengaja memanfaatkan kelemahanku.

“Tapi apa? Bukankah kamu sudah berjanji jika kamu akan bertanggung jawab padaku?” Karina terus merengek kepada pria itu. Pria itu bukan Robby, tetapi pria lain yang berhasil diperdaya oleh Karina dengan pesonanya. Karina memang lihai merayu. Beberapa pria bahkan terjebak dalam bujuk rayunya, hanya sekadar demi materi.

Karina meraih tangan pria itu, meletakkannya di perutnya yang masih terlihat rata. “Apakah kamu tega anak ini tidak memiliki ayah jika kelak lahir?” Didekapnya pria itu, berharap dia akan mendapatkan balasan serupa. Ternyata tidak, pria itu justru mendorongnya dengan kasar, hingga tubuh Karina jatuh terduduk. Karina terkejut. Dia segera berdiri.

“Kamu bohong! Kamu hanya memperdayaiku! Sekarang, keluarlah! Aku tidak mau melihat mukamu lagi. Pergi!” teriaknya dengan keras sambil mendorong tubuh Karina. Karina tidak menyangka, jika usahanya menjerat beberapa pria kini justru berimbas kepadanya. Bagaimanapun juga dia melakukan itu agar mudah mengharapkan gelimang harta dari pria-pria itu.

“Kamu tega sekali, Hen. Kamu Tega!” Karina menangis dengan air mata palsunya. Berharap bahwa Hendra, pria itu akan iba. Tetap saja tidak.

“Pergi, atau aku panggil pihak keamanan biar mengusirmu!” Nada kemarahannya sudah sampai puncak. Didorongnya tubuh Karina keluar dari apartemennya.

Karina menahan sakit, tidak hanya di tubuhnya, tetapi juga di hatinya. Tetapi dia takkan menyerah, akan melakukan berbagai macam cara agar bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.

*

Aisyah baru saja di panti bersamaan dengan Pak Madi dan Bi Atun. Beberapa anak panti yang melihat kedatangan mereka, menyambutnya dan membantu menurunkan barang-barang yang berda di mobil. Mereka melakukannya dengan bersuka cita.

“Setelah ini mau beli apa lagi, Mbak?” tanya Pak Madi kepada Aisyah, setelah selesai membereskan sembako-sembako itu.m

Aisyah berpikir sejenak. “Sebentar Pak Madi, saya tanya  Bunda  dulu ya?” kata Aisyah.

“Silakan, Mbak.”

Aisyah mengirimkan pesan kepada Bunda  yang masih berada di luar kota. Tak lama, ia menerima pesan balasan. Aisyah tersenyum.

“Ke toko plastik, Pak  Madi. Tapi saya nggak ikut.”

“Iya, Mbak. nggak apa-apa. Biar saya sama  Bi Atun aja yang ke sana.”

“Ya, Pak. Ini barusan ada pemberitahuan di grup ada rapat wali murid di sekolahnya Rangga. Saya harus ke sekolah nih. Mendadak.”

“Iya, Mbak. Silakan.”

Aisyah meninggalkan Pak Madi dan Bi Atun menuju ke sekolah salah satu adik asuhnya, Rangga, di sekolah menengah pertama yang tidak begitu jauh. Hanya sepuluh menit perjalanan dengan motor.

Naas, motor Aisyah mengalami ban bocor. Dia segera ke bengkel untuk menambalkan bannya. Gadis itu menyodorkan uang dua puluh ribu rupiah, tetapi ditolak oleh pemilik bengkel itu.

“Nggak usah, Mbak. Wong  cuman dikit, kok.”

Aisyah berterima kasih, dia segera menuju sekolah Rangga.

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!