Bab 17 Cemburu

Rama berbagi kebahagiaannya bersama anak-anak panti di suatu hari pada saat ulang tahunnya. Hal itu dilakukannya sebagai wujud syukur dengan bertambahnya usianya yang kini semakin menunjukkan kedewasaan. Tidak hanya itu, dia juga memberikan sedekah kepada orang-orang kurang mampu di sekelilingnya.

Di luar pagar panti, seseorang memperhatikannya. Pandangannya tertuju pada Rama yang sedang bersama anak-anak itu. Di salah satu sudut relung hatinya, ada kehampaan yang selama ini melanda.

“Andai saja, istriku tidak mengkhianatiku, aku pasti masih bersama anak-anakku kini. Masih bisa berbagi kebahagiaan dan menikmati masa tuaku. Mungkinkah semua itu adalah hukuman dan karma? Ataukah sebagai peringatan.” Hatinya dipenuhi penyesalan. Dia melangkah menjauhi panti itu.

Tak lama setelahnya. Seorang pengendara motor turun dan menuju kantor panti. Kebetulan Aisyah sedang berada di sana, mengerjakan beberapa desain  undangan pernikahan yang dibuatnya.

“Assalaamualaikum,” ucap seseorang dari luar.

“Waalaikum salam,” jawab Aisyah. Dia berdiri dan berjalan menuju pintu. “Eh, Firman. Ada apa?”

Pemudaa bernama Firman itu menyerahkan bungkusan kepada Aisyah. “Dari ibuku, Ais. Buka aja.”

“Wah!” Aisyah sangat gembira. “Duduk sebentar, Man.” Dia mempersilakan tamunya kemudian berjalan ke belakang. Aisyah kembali dengan membawa dua gelas teh hangat dan kudapan ringan berupa jajan pasar.

“Jadi merepotkan nih, Ais,” kata Firman, sembari merapikan duduknya lebih nyaman.

“Ah, enggak kok. Lagian cuma air biasa. Silakan diminum dulu,  Man.”

“Terima kasih, Ais.” Firman meminum teh yang dibuatkan Aisyah, lalu mengambil kudapan kecil yang ada di hadapannya. Pemuda itu menikmatinya, dia sepertinya sangat suka dengan beberapa jajan pasar.

“Enak sekali Ais. Ini buatanmu?” tanya Firman.

“Iya, Man. Kegiatanku sehari-hari sama Bunda. Sekadar mengembangkan hobi masakku.”

“Tapi bagus lho, Ais. Kamu nanti bisa buka catering sendiri.”

“Aamiin. Alhamdulillah, insya Allah, Fir. Ini juga masih belajar kok.”

Keduanya tidak sadar jika seseorang turut mendengarkan percakapan mereka sedari tadi. Hatinya menahan amarah yang dipendam. Dia hanya memastikan bahwa tidak ada rahasia yang dibicarakannya. Dia terus mendengarkan hingga tamu pria itu keluar. Dia bersembunyi dibalik tembok yang terlindung.

“Sampaikan salamku pada ibumu dan Mirna ya, Fir. Nanti kita bisa ketemuan lagi.”

“Iya, Ais. Pasti kusampaikan.” Firman meninggalkan Aisyah, melaju dengan motornya.

“Siapa dia?” Aisyah urung membalikkan badannya ketika suara seseorang terdengar dari belakang. Rama.

“Mas, sudah lama di sini?” Aisyah tersenyum tetapi ditanggapi dingin oleh calon suaminya. Raut muka Rama terlihat marah, tidak seperti biasanya. Dia mendekati Aisyah dengan sorot mata tajam. Aisyah menjadi takut. Satu pertanyaan besar terlintas, mengapa Rama berubah.

“Kamu belum jawab pertanyaanku!” suara Rama kini meninggi. Aisyah sungguh tidak mengerti mengapa Rama berubah. Dia berjalan mundur ketika Rama terus mendekatinya. Aisyah ketakutan.

“Mas, kamu kenapa? Ada apa denganmu?” Aisyah menundukkan mukanya, tidak berani melawan tatapan Rama.

“Siapa laki-laki itu tadi!” tegasnya. “Siapa?” Nada Rama terdengar marah. 

“I-itu, Fir- Firman, Mas. Kakak temanku,” jawab Aisyah gemetar, sementara badannya kini sudah terdesak ke dinding. “Mas-, mau apa?” Aisyah hampir menangis. Dia berpikir buruk pada Rama.

“Apa tanya sama kamu. Apa pantas kamu yang sudah bertunangan dan dilamar orang justru berduaan dengan pria lain? Pantaskah seperti itu?” Wajah Rama hanya berjarak beberapa senti dari wajah Aisyah. Aisyah memejamkan mata. Dia sangat takut beradu mata Rama yang menyalang. Dia bisa merasakan hembusan naps Rama yang naik turun.

“Kenapa diam? Jawab! Siapa dia. Siapa?” ucap Rama dengan nada kemarahan yang tinggi.

“Di-dia, cuma teman biasa. Tidak lebih. Kami hanya berbicara ringan. Tidak ada yang kami sembunyikan.”

“Lalu, pantaskah kamu berduaan dengannya?”

Aisyah terdiam. “Aku tidak ngapa-ngapain. Aku cuma menghormatinya sebagai tamu. Tidak lebih!” Kini Aisyah menjawab dengan nada tak kalah tinggi. 

“Kenapa tidak memanggilku. Kenapa?”

Brak!

Rama menendang kursi kayu yang ada disebelahnya hingg terpental jauh. Aisyah membuka matanya. Dia menahan pergelangan tangan Rama. “Mas, jangan begitu! Kamu nggak usah marah-marah!”

“Dengarkan aku bicara!  Aku tidak suka laki-laki manapun mendekati calon istriku! Dengan alasan apapun! Kamu paham sekarang?”

Rama melepaskan tangan Aisyah dengan kasar. Dia melangkah pergi meninggalkan gadis yang masih ketakutan itu. Bi Atun yang melihat lalu mendekati Aisyah. 

“Ada apa, Ais? Kenapa ribut-ribut?” tanya Bi Atun cemas.

“Mas Rama marah, Bi. Gara-gara lihat Firman barusan dari sini,” jawabnya diiringi isak tangis. Bi Atun tersenyum, dia menghibur Aisyah.

“Nggak apa-apa, Ais. Itu wajar. Rama cemburu.”

“Cemburu?”

“Iya, dong. Kamu kan sudah dilamar sama Rama. Pria manapun takkan rela jika wanita yang akan menjadi pendamping hidupnya terlihat bersama pria lain.”

“Tapi kan, Firman itu temanku dari dulu, Bi. Sewaktu aku masih jalan sama Wildan.”

“Apapun alasannya, dia cemburu.”

Aisyah menuju kamarnya dan mengirim pesan kepada Rama. 

“Aku tahu kamu cemburu, Mas. Tapi bukan begitu caranya. Dia teman biasa, tidak lebih. Bukankah sebentar lagi aku seutuhnya akan jadi milikmu?”

Rama yang membacanya hanya terdiam. Dia tidak membalas pesan Aisyah. Justru ponselnya dia matikan. Rama tidur dalam kemarahan. Posesifnya telah mengalahkan kesadaran diri. Dia hanya ingin Aisyah selalu memberi perhatian padanya.

Di kantor, Rama tampak fokus pada pekerjaannya. Sudah dua hari ini dia mengabaikan pesan-pesan dari Aisyah. Dia sedang mencoba menyembuhkan rasa cemburunya.

 Sementara Aisyah juga tidak habis mengerti dengan sikap Rama yang dinilainya kekanak-kanakkan. Dia tidak pernah menyangka, Rama akan meluapkan kemarahan yang menakutkan. 

Banyaknya persiapan pernikahan membuat Aisyah kelelahan. Badannya panas, dia juga muntah-muntah dan sangat lemas. Tubuh Aisyah limbung, di jatuh di lantai kantor panti. 

Rangga yang kebetulan melihatnya berteriak memanggil Bi Atun. “Bi … Bi Atun … tolong Bi!”Dia sangat panik. Bi Atun datang tergopoh-gopoh dari arah dapur.

“Astaghfirullah, kenapa Ais? Kenapa ini, Ngga?” Bi Atun sangat cemas. Dia memeriksa dahi Aisyah. “Ayo kita bawa ke kamarnya.” Bi Atun dibantu Rangga memindahkan tubuhnya ke kamar.

 “Nggak tahu, Bi. Aku tadi kebetulan lewat sini. Malah lihat  Kak Ais sudah tergeletak.”

“Kamu panggilin dokter Susan, ya? Hari ini dia ada di rumah.”

“Baik, Bi.” Rangga meninggalkan Bi Atun dan Aisyah menuju tempat dokter Susan. Dokter langganan keluarga Ayah dan Bunda. Tidak jauh dari sana, Rama melihat Rangga tengah berlari-lari kecil. 

Dia memanggilnya, “Rangga! Rangga! Tunggu!”

Rangga menoleh. Dia mencari tahu dari mana datangnya suara itu.

“Mas Rama!” 

Rama melambaikan tangannya ke arah Rangga. “ Amu ke mana?”

“Ke dokter Susan, Mas.”

“Siapa yang sakit?”

“Kak Ais, Mas. Dia pingsan barusan di kantor panti,” jawabnya.

“Apa?” Rama terkejut. Dia menyuruh Rangga segera naik ke mobilnya. Rama diliputi rasa bersalah pada Aisyah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!