Bab 9 Ijinkan Aku Memasuki Ruang Hatimu

Sejak saat itu, Rama  dan Aisyah kian dekat. Keduanya sama-sama telah melupakan orang yang pernah singgah dalam hidup mereka. Rama sangat senang, ketika Ninda kini sudah mulai banyak berubah. Terutama dalam hal membaca Al-Qur’an. Rama menemukan adanya kesejukan di oase hatinya yang selama ini gersang. Dia memiliki titik terang agar terus mendapatkan tempat di hati Aisyah

“Terima kasih, ya, Mbak Ais, atas bimbingannya pada adik saya,” kata Rama, sekedar basa-basi. Berharap dalam hati agar sinyal-sinyal yang dia kirimkan dapat mudah ditangkap oleh Aisyah.

Gadis itu tersenyum, menjawab, “Sama-sama, Mas Rama. Sudah menjadi kewajiban saya menjalankan hal itu. Bagi saya, kebahagiaan terbesar adalah ketika mereka bisa memahami dan mengerti apa yang saya sampaikan,” jawab Aisyah tersipu malu. Entah mengapa, ada sesuatu yang dimiliki Rama, Aisyah juga merasakan kesejukan dana kedamaian ketika dua bola mata Rama yang bening dan tajam seakan-akan menghunjam dasar kalbuya. Dia menunduk, memalingkan muka sejenak sebelum akhirnya pandangannya beralih ke arah anak-anak yang masih bermain.

Duh! Ternyata aku saja yang terlalu berharap. Dia sama sekali tidak tahu apa yang aku maksudkan. Sudahlah, Ram, kamu nggak bakalan berhasil. Kamu hanyalah butiran debu kotor. Tidak pantas menyanding bidadari surga.

 Bisik hati kecilnya, minder.

Terus berjuang, Ram. Kejar sampai dapat. Sampai kalian berdua  nanti duduk di depan meja penghulu, disaksikan orang banyak. Sahkan dia jadi milikmu sebelum ada yang mengambilnya. 

Bisik hati kecil lainnya, menyemangati.

“Jujur saja, Mbak. Kami memang kurang memperhatikan Ninda dalam hal ilmu agama. Kami ini minim dan juga masih kurang mengerti,” sambung Rama dengan nada bicara sedikit pilu.

“Memangnya kenapa?”

“Semua karena -” Rama menjeda ucapannya. Haruskah aku mengatakannya? Dan membuka aib orang lain? Yaitu papaku sendiri? Ah, tidak! Sebenci apapun aku pada papaku, aku takkan pernah mengumbar aibnya. Monolognya lagi dalam hati. 

“Kenapa, Mas. Kok diam,” ucapan Aisyah kali ini membuat Rama tersadar. Dia tahu jika gadis itu mulai tertarik dengan ceritanya.

“Eh, ah. Enggak kok. Maksudnya, kami ini pindah-pindah tempat. Dan Ninda pun jarang keluar rumah, dia takut bergaul dengan orang-orang baru. Baru di sini aja dia berani

“Oh, begitu. Mungkin saja karena di rumah nggak ada teman sebayanya atau satu sekolahan.” Aisyah memiliki alasan paling kuat. 

“Oh, iya. Betul itu, Mbak.” Rama membenarkan.

Waktu telah bergeser, sebentar lagi asar berlalu. Rama dan Ninda berpamitan pulang. Ada binar keceriaan di wajah Rama dan Aisyah. 

Rama membeli buah dan takjil  di jalan untuk berbuka sebelum akhirnya melanjutkan perjalannya pulang. Beberapa hari ini kondisi Farida memang sedang kurang baik. Rama menyuruh ibunya agar banyak beristirahat, agar kesehatannya tidak terganggu.

“Mas, Mas. Akhir-akhir ini aku lihat Mas Rama jadi rajin ke masjid buat taraweh. Apa Mas melakukan semua itu karena cinta?” Keisengan Ninda membuat kakaknya harus menahan diri. Diacukannya saja celotehan gadis remaja yang baru memasuki masa puber itu. Dalam hati ia membenarkan, tetapi lebih memilij diam.

“Kok diem aja sih, Mas. Nggak jawab pertanyaanku!”

“Aku harus jawab gimana, nona bawel?”

“Kan udah jelas pertanyaannya; apakah Mas Rama rajin taraweh karena cinta?” 

Rama tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan bagus ini, dia menjawab pertanyaan Ninda, “ Ya, adikku yang manis. Aku sholat karena cintaku pada Allah.”

Ninda terperangah mendengar jawaban kakaknya itu. Tidak pernah menduga jika kakaknya akan melontarkan kata sakti yang selama ini jarang didengarkan.

“Waow.” Itu saja yang keluar dari mulut Ninda. Rama tersenyum tipis melihat ekspresi muka adiknya itu.

“Loh! Aku dah jawab gitu, masa’ jawabanmu cuma waow gitu. Nggak ada tambahannya lagi?”

“Waow dan alhamdulilah. Aku bersyukur kakakku yang paling ganteng serumah akhirnya mendapatkan hidayah.”

“Aamiin.”

“Semoga segera dapet jodoh juga.” Satu kata yang baru saja dilontarkan Ninda, sontak terdengar menyindir Rama, membuatnya menoleh dan melotot ke arah adiknya itu.

“Tuan jones jangan ngambek dong. Pahala puasanya kurang, loh!” katanya cengengesan.

“Dasar nona bawel!”

Tiada henti Ninda menggoda kakaknya. Semenjak gagal menikah dan kakaknya sering pulang dalam keadaan mabuk, Ninda merasa sedih. Dia tidak tahu bagaimana caranya menghibur kakaknya itu. Meski belum mengenal arti cinta sesungguhnya, Ninda bisa merasakan jika hati kakaknya masih terluka dan belum sepenuhnya sembuh. Dia hanya ingin menghibur dan membuat kakaknya tersenyum lagi. Baginya, Rama adalah ayah keduanya. 

*

Aisyah tengah menyiapkan buka puasa ketika Bunda memanggilnya.

“Ais, sini sebentar, Nak.”

“Iya, Bun.”

“Besok kelas ramadan  kan libur. Nah, kita bagi-bagi takjil buat orang-orang yang lewat di jalan, ya? Nanti kita belanja dalam jumlah banyak. Biar diantar Pak Madi ke pasar habis taraweh ya?”

“Iya, Bun.”

Aisyah kembali ke belakang melanjutkan pekerjaannya lagi. Beberapa menit lagi, waktu berbuka akan tiba.

*

Wajah manis Aisyah kembali menyapa ruang hati Rama yang hampa. Dia tersenyum membayangkan seandainya gadis itu menjadi miliknya . Selamanya.

Wanita sepertimu yang bisa membuatku damai, Ais. Bukan wanita-wanita penuh polesan yang selama ini mengelilingiku. Yang hanya mengejar cinta semu. Mereka hanyalah racun dunia. Sedangkan dirimu, ibarat bidadari surga yang sulit diraih. Bagaimana caraku mendapatkanmu, Ais? Apakah kamu juga memiliki rasa itu padaku? Ijinkan aku memasuki ruang hatimu, jika kamu belum ada yang memiliki.

Rama termenung. Dia memandang keluar kamar, menatap langit yang penuh bintang malam itu. Dia tersenyum, tatkala dua matanya menangkap satu bintang paling terang di antara yang lain. Dia berharap akan ada pertanda baik.

Azan subuh menggema. Jiwa-jiwa insan yang tengah merasakan kegersangan pun kini mulai merasakan kesejukan dan kedamaian ketika panggilan Ilahi itu mengetuk pintu hati. Begitu juga dengan Rama. Kewajiban yang sudah lama ditinggalkannya, kini perlahan dijalankannya. 

Semua karena cinta. Cinta yang mengubahnya, cinta yang menunjukkannya, cinta yang membuatnya sadar ke mana cinta itu harus diberikan. 

Dia menyimpnan nomor Aisyah yang didapatkan dari kontak ponsel Ninda. Untung saja, adiknya itu tidak pernah mengunci ponselnya, sehingga mudah bagi Rama untuk membuka.

Pagi menyapa bumi yang masih ingin terlelap. Semburat mentari yang masih malu-malu menampakkan cahaya terangnya, kini perlahan mulai tunjukkan kilau pesonanya. Menghangatkan jiwa-jiwa yang gersang, seperti halnya jiwa Rama yang telah lelah dengan capaian duniawi. Dia semakin sadar, seiring bertambahnya usinya, jatah hidupnya pun semakin berkurang.

Namun selama ini, dia terjebak dalam buai semu dunia. Dunia yang kelak akan fana, dengan segala keindahannya.

“Yaa Allah, terima kasih. Kau  telah menyelamatkanku dari buai semu dunia. Kau masih memberiku kesempatan untuk menjadi manusia yang lebih baik. Dengan cinta-Mu yang begitu besar, kuingin Kau selalu membimbingku di jalan-Mu.” Doa Rama di ujung paginya penuh harap.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!