Bab 10 Kebahagiaan Baru

Dua minggu berlalu di bulan Ramadan. Rama dan Ninda makin rajin meningkatkan ibadah mereka. Mereka mengisi waktu luang dengan membaca buku tentang agama, hafalan surah-surah pendek dan doa-doa.

Farida sangat bahagia melihat kedua anaknya itu. Wanita itu hendak berjalan keluar rumah, tetapi dia merasakan sakit kepala dan ulu hatinya sangat sakit, seperti dipelintir-pelintir. Badannya lemah, pandangan matanya berkunang-kunang.

Bruk!

Tubuh wanita itu jatuh. Dia tak sadarkan diri di ruang tengah. Ninda yang baru saja mandi melihat tubuh ibunya dan berteriak, “ Mas Rama, Mas …” Dengan panik Ninda mencari kakaknya di semua penjuru rumah, tapi dia tidak menemukannya. Ninda menangis, tetap mencari Rama hingga keluar. Juga tidak ada. Akhirnya dia menelpon kakaknya.

Rama yang saat itu tengah berada di rumah Pak Beni, ketua RT terkejut setelah menerima telepon dari Ninda. Dia segera berpamitan dan meninggalkan tempat itu.

“Apa yang terjadi, Nin?” tanya Rama.

“Mama jatuh, Mas. Dia masih tergeletak di ruang tamu,” kata Ninda terisak. Rama segera berlari menuju ruang tengah. “Panggilin Bi Marni, Nin. Sama Pak Amir, ya?”

Ninda pergi menemui Bi Marni dan Pak Amir. Mereka adalah orang kepercayaan Farida yang sudah lama ikut dengan mereka. Keduanya datang tergopoh-gopoh.

“Astaghfirullah, Bu Farida!”

Pak Amir segera membantu Rama membawa Farida menuju mobil

Rama segera melarikannya ke rumah sakit dan langsung dibawa ke IGD.

Ninda menangis dalam dekapan kakaknya. “Mama kenapa begitu, Mas. Kenapa Mama begitu? Biasanya Mama sehat. Aku terlalu nakal, nggak bisa buat Mama senang. Huuu…”

“Sudah, sudah. Kita doakan Mama agar segera pulih, ya? Mas mau ijin kantor dulu.” Rama menenangkan adiknya. Dia mengetik pesan digawai kepada seseorang.

Dari hasil pemeriksaan dokter, Farida terkena demam berdarah juga asam lambung. Sekarang dia dirawat intensif. Dio yang berada di luar kota, segera pulang ketika mendengar kabar ibunya sakit. Untung saja, Dio sudah libur, sehingga dia bisa bergantian menjaga ibunya.

Aisyah tidak melihat Ninda beberapa hari ini. Dia juga tidak mengirim pesan kepadanya. Ada rasa cemas dalam hati gadis itu. Dia mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Ninda.

“Assalaamualaikum, Nin. Ini Kak Ais. Ninda baik-baik saja, kan?”

Di rumah sakit, Rama dan Dio masih menunggu ibu mereka di luar, hanya Ninda yang berada di dalam menunggu ibunya. Rama yang saat itu tengah memegang ponsel Ninda pun membalas.

“Waalaikumsalam, Mbak Ais. Ini Rama. Ninda di rumah sakit.”

Aisyah yang mendapat balasan itu terkejut.

“Allaahu Akbar. Siapa yang sakit, Mas?”

“Ibu kami, Mbak.”

“Saya segera ke sana.”

Rama menyuruh Ninda dam Dio membeli makan di luar untuk buka puasa mereka, berhubung Farida sedang tidur. Mereka bisa beristirahat sejenak.

Sore itu, Aisyah mendatangi rumah sakit bersama Fina. Ia mencari ruang Farida dirawat. Di sana hanya ada Rama sedang duduk termenung.

“Assalaamualaikum,” sapa Aisyah . Dada Rama kembali bergetar melihat gadis pujaannya datang.

“Waalaikumsalam.”

“Mas Rama, ibunya dirawat di mana?”

“Di ruang ini, Mbak.”

“Apa boleh saya tengok sebentar?”

“Mama sedang tidur, Mbak.”

“Ninda di mana?”

“Dia sedang keluar beli makanan buat buka puasa nanti.”

Rama dan Aisyah terlibat percakapan serius. Entah mengapa Rama merasakan damai dalam hati ketika Aisyah duduk di sampingnya. Apalagi ketika Aisyah menunjukkan empati pada keluarganya, dia semakin ingin memiliki gadis itu. Entah kapan dia bisa mengutarakan isi hatinya. Selain lembut, Aisyah juga pengertian. Ketika Ninda datang, gadis remaja itu menghambur ke pelukan Aisyah dengan derai air mata.

“Mama Ninda pasti akan sembuh, kita doakan aja semoga Mama cepat diberi kesehatan,” tuturnya menghibur Ninda. Aisyah membelai rambut Ninda lembut untuk menguatkan hatinya

“Iya, Kak. Cuma Mama orang tua yang Ninda miliki.” Ninda mengeratkan pelukannya. Aisyah bisa merasakan apa yang dirasakannya.

“Masih ada Mas Rama, ada Kak Ais, dan yang lain. Ninda nggak sendirian. Ada Fina dan Rangga juga saudara-saudara yang lain di panti yang akan mendoakan Mama.”

Ninda mengangguk. Dia memiliki kekuatan baru dan cinta dari seorang kakak perempuan. Kasih sayang Aisyah yang begitu tulus padanya membuat hatinya kini tentram. Gadis itu makin ingin menjadikan kakak perempuan sesungguhnya.

Aisyah dan Fina berpamitan kepada mereka bertiga. Dia menerobos gerimis yang hanya rimis-rimis bersama Fina menuju panti.

Beberapa hari kemudian, Farida sudah diijinkan pulang. Dia hanya perlu kontrol seminggu sekali hingga kesehatannya benar-benar pulih. Selama itu pula dia tidak menjalani puasa karena masih dalam perawatan.

Rama masih termenung di meja kerjanya. Beberapa hari ini pekerjaannya menumpuk. Dia memikirkan ibunya yang masih dalam masa pemulihan. Berulang kali dia membolak balikkan buku yang belum sempat dibacanya. Dia mengirim pesan kepada Dio.

Selepas dhuhur, Aisyah yang kebetulan baru saja selesai berbelanja di pasar bersama Bunda, mengunjungi rumah Ninda untuk menengok keadaan Farida. Ninda sangat gembira melihat kedatangan Aisyah dan Bunda. Ninda mencium tangan mereka.

“Mama lagi tidur nggak, Nak?” tanya Bunda lembut pada Ninda.

“Nggak, Bun. Silakan masuk.” Ninda mengantar Bunda menuju kamar Farida. Wanita itu masih tergolek tak berdaya di ranjangnya. Aisyah menyerahkan bingkisan pada Ninda.

Bunda menyapa, “Assalaamualaikum, Bu.”

Farida menoleh. Samar-samar dia mengenal suara itu. “Aminah?” ucapnya menyebut seseorang.

“Iya,” jawab Bunda. Dia sepertinya juga mengenal wanita yang tergolek lemah itu, “ Mbak-,” Bunda menjeda kata-katanya sejenak, “Mbak Farida, bukan?” Bunda meyakinkan.

“Iya, Aminah. Ini aku, Farida.”

Keduanya berpelukan dan bertangisan penuh haru. Ninda dan Aisyah berpandangan, mereka tidak tahu menahu bagaimana keduanya saling mengenal.

“Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi Aminah. Bagaimana kabarmu?” Farida bertanya dengan keadaan yang masih lemah.

“Alhamdulillah, Mbak. Allah menjawab semua doa-doaku. Aku yakin kita akan dipertemukan lagi.”

“Bagaimana kabar Dik Harun dan anak-anakmu?”

“Alhamdulillah, mereka semua baik.”

“Kamu sama siapa, Aminah?”

“Aku sama Aisyah.” Bunda menoleh ke arah Aisyah. “Aisyah, sini Nak. Kenalkan ini kakak kelas dan juga sahabat terbaik Bunda,” panggil Bunda.

Aisyah mendekat dan mencium tangan Farida. Ada kedamaian yang dirasakan ketika dia menatap wajah cantik dan lembut Aisyah.

Anak ini cantik dan manis. Menantu seperti ini yang aku cari. Semoga Rama suka jika aku mengenalkannya.

Bisik hati Farida.

“Mbak ke mana aja selama ini?”

“Aku pindah-pindah, Aminah. Berjuang demi anak-anak. Alhamdulillah, anak tertuaku sudah bekerja, yang kedua sebentar lagi lulus.”

“Lama kita nggak ada kontak ya, Mbak. Semenjak kita sama-sama menikah dan berjuang demi hidup kita sendiri.”

“Iya, Am. Aku kapan-kapan mau main ke tempatmu yang sekarang.”

“Alhamdulillah, tempat tinggalku dekat sini, Mbak. Setiap saat kita bisa bertemu.”

“Alhamdulillah, masya Allah.” Farida menggenggam tangan Farida. Dia kian bahagia setelah lama tidak bertemu dengannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!