Bab 6 Debaran Itu ...

Bab 6

Debaran Itu …

“Hari ini kita mau ziarah, Ais. Lusa sudah puasa, kan?” kata Bunda yang baru saja selesai melaksanakan solat dhuha.

“Iya, Bun. Sebentar lagi Ais beli bunga buat nyekar,” jawab Aisyah.

“Nggak usah, Bunda sudah beli kemarin. Nggak usah beli lagi.”

“Iya, Bun.”

Aisyah bergegas menuju belakang, membantu Bi Atun yang sedang menyiapkan makanan untuk siang hari. Gadis itu dengan cekatan membantunya. Bi Atun sangat menyukai Aisyah. Selain cantik dan cerdas, Aisyah juga pandai memasak.

“Kamu sudah pantes kalo jadi istri, Ais,” kata Bi Atun menggodanya.

“Ah, Bibi. Sukanya nggodain Ais, nih,” jawabnya tersipu

“Ais belum berpikir ke sana, Bi.”

“Siapa tahu sebentar lagi Ais bakalan ketemu jodoh, nggak ada yang tahu, kan?”

“Soal itu, Ais serahkan pada Allah, Bi. Ais juga belum berpikir untuk menikah. Masih ingin bersama Bunda dan adik-adik di sini.”

Bi Atun sangat memahami Aisyah. Dia adalah anak asuh tertua Bunda. Dia sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Aisyah memberikan contoh dan teladan yang baik untuk adik-adik asuhnya. Di samping itu, dia masih tekun menimba ilmu, serta menularkan ilmu yang dimilikinya kepada anak-anak panti juga sekitarnya.

“Iya, Ais. Bibi tu yakin kok, nanti Ais dapet jodoh yang baik, yang bisa jadi pelindung, serta suami yang bertanggung jawab.”

“Aamiin … iya, Bi. Semoga Allah kabulkan.”

Aisyah dengan cekatan melakukan beberapa pekerjaan, Bi Atun melihatnya dengan hati senang. Dia juga menyayangi Aisyah seperti keponakannya sendiri.

Selesai semua, Aisyah menuju ruang makan anak-anak panti, membersihkan dan menyiapkan makan siang untuk mereka. Setelah itu, dia pergi menjemput Fina, Rangga, dan beberapa adik-adiknya di tempat berbeda bersama Pak Madi. Kebetulan hari itu Pak Madi sedang tidak ada tugas dari Bunda. Angkot milik Bunda yang biasa digunakannya setiap hari adalah kendaraan umum juga kendaraan khusus milik panti itu. Jika sedang tidak membawa anak-anak, Pak Madi menggunakannya sebagai angkutan umum. Hasilnya sebagai tambahan penghasilan keluarga Bunda.

“Pak Madi, besok bisa antar saya ke kampung, nggak? Saya mau ziarah ke makam ibu saya,” kata Aisyah.

“Tentu bisa, Mbak. Pak Madi siap menjalankan tugas dari Mbak Ais kapanpun,” jawab pria paruh baya itu ringan.

“Terima kasih, Pak Madi. Besok saya mau ajak Rangga sama Fina.”

“Siap, Mbak. Kapanpun Mbak Ais mau, saya siap.”

Setelah menjemput adik-adiknya, Aisyah menemui Bunda yang tengah berada di ruang tengah membaca buku. Aisyah duduk di depannya. Di berkata, “ Bun, besok Ais mau ngajak Rangga dan Fina ziarah ke kampung, ya?”

Bunda tersenyum lalu menjawab, “ Iya, Nak, boleh.”

Aisyah gembira mendengarnya, dia kembali bersama adik-adik asuhnya yang tengah bersantap siang.

“Kembalikan ikanku! Kembalikan!” teriak Daffa mengejar Adin yang mengambil ikannya. Keduanya berlarian membuat anak-anak panti yang sedang makan siang menonton mereka. “ Ayo kembalikan! Itu ikanku!” teriak Daffa diiringi tangisnya yang mulai tertahan.

“Ambil aja kalo bisa, weeekkk …,” Adin mengejek Daffa, anak itu kian kencang nangisnya. Melihat Aisyah yang sedang lewat, Daffa mengadu padanya.

“Kak Ais …,” Daffa terisak sambil berkata, “ ikanku diambil sama Mas Adin. Padahal ikannya Mas Adin sudah habis, dia ambil ikanku. Huu … huu …”

Aisyah mendekati Adin. Anak laki-laki kelas enam itu diam tertunduk. “Din, tidak baik seperti itu, ayo kembalikan ikannya Daffa. Jangan serakah. Kamu mau nanti dibalas Allah? Diserakahin orang?” tutur kata Aisyah menusuk kalbu Adin. Dia mengembalikan ikan ke piring Daffa, meski tinggal separo. Daffa sedih, karena bagiannya tinggal separo. Dia tetap memakannya.

Aisyah berkata kepada adik-adik asuhnya, “ Jangan dibiasakan siapapun mengambil atau merebut bagian milik orang lain. Karena nanti perbuatan kalian juga akan ada balasannya. Ingat ya? Tidak boleh serakah!”

Anak-anak kembali melanjutkan makannya setelah Aisyah pergi.

Sore itu, Bunda, Ayah, dua anaknya, Farah dan Azka, serta Aisyah, berziarah ke makam orang tua Bunda. Mereka menabur bunga dan juga berkirim doa bersama peziarah-peziarah lain. Setelah itu, mereka menuju kediaman sepupu Bunda, Wak Anik. Mereka singgah sebentar seperti biasa meminta maaf sebelum memasuki bulan suci Ramadan.

Sehari sebelum puasa, Aisyah mengajak Rangga dan Fina berziarah ke makam ibunya. Di sana di memanjatkan doa dengan penuh kekhusyukan. Air matanya mengalir deras. Sesekali terdengar isaknya yang memilukan. Aisyah belum pernah melihat wajah wanita yang telah melahirkannya. Yang dia miliki, hanyalah foto usang mendiang ibunya. Itu pun sudah pudar. Sedangkan wajah ayah kandungnya, dia bahkan belum pernah melihat sama sekali.

Fina dan Rangga yang berada di dekatnya, ikut meneteskan air mata. Kedua anak yatim piatu itu sudah menganggap Aisyah seperti kakak mereka sendiri. Fina memeluk Aisyah, menguatkannya. Rangga menyentuh pundak gadis itu, ikut larut dalam keharuan.

Tak jauh dari tempat itu, Farida bersama tiga anaknya, Rama, Dio, dan Ninda, juga tengah berziarah. Sepasang mata Ninda menangkap sosok tubuh yang sangat dikenalnya; Rangga. Dia melihat Rangga bersama Aisyah dan Fina.

“Mas, itu bukannya Rangga sama kakaknya?” bisiknya pada Rama. Mereka baru saja mengirim doa di makam kakek-nenek mereka dari pihak ibu.

Rama menoleh ke arah yang ditunjuk Ninda. Debaran hatinya kembali berdegup kencang tak beraturan. Debar-debar hati Rama seakan tidak berhenti berdendang.

Aisyah, tak kusangka akhirnya kita bisa bertemu lagi. Apakah itu berarti …

“Mas, Mas, kok ngelamun.” Ninda melambaikan tangannya di depan muka Rama. “Cieee … ngliatin kakaknya Rangga rupanya. Ehemm …”

“Apaan sih, ah! Bawel!” gerutu Rama.

“Ngaku aja deh, Mas Rama diem-diem merhatiin kakaknya Rangga, ye kannn?”

“Kepo kamu! Anak kecil ngerti apa?”

Farida yang melihat kelakuan kedua anaknya hanya geleng-geleng kepala. “Kalian ini ya, nggak di rumah, nggak di luar, sama. Ribut terus.”

“Iya, nih, Ma. Si Bawel nih, kepo lagi!”

“Sudah, sudah. Ayo kita pulang. Keburu hujan lagi nanti.”

Dengan iseng, Ninda sengaja memanggil Rangga. Dia ingin tahu reaksi kakaknya pada Aisyah yang sedari tadi memperhatikannya.

“Rangga! Rangga, tunggu!” teriak Ninda. Dia berlari kecil mengejar Rangga yang sudah berjalan agak jauh bersama Aisyah dan Fina. Mereka menoleh.

“Eh, Ninda. Sama siapa?”

“Tuh!” Ninda menunjuk ke arah Farida dan kedua kakaknya. “Kamu juga mau pulang, kan?”

Rangga mengangguk.

“Boleh nggak aku main ke tempatmu?”

“Boleh dong, Dik,” jawab Aisyah. “Kami sangat senang jika ada teman-teman sekolah yang bersedia datang ke gubug kami.” Kata-kata Aisyah membuat Ninda senang.

Yess! Semoga rencanaku berhasil ngerjain kakakku yang masih jomblo itu. Hihi… Hati Ninda bersorak dalam hati.

“Baik, Kak. Aku mau bilang mamaku dulu, ya?”

Ninda berlari ke arah Farida, meminta ijin ke panti bersama Rangga. Semula Farida tidak mengijinkan, tetapi Ninda bersikeras tetap ikut ke sana. Rama menjadi kesal melihat ulah adiknya. Akhirnya mereka kalah dan mengijinkan Ninda.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!