Bab 19 Rencana Pernikahan

Beberapa hari kemudian, kesehatan Aisyah berangsur-angsur pulih. Kali ini Rama sering mendatanginya dan menyempatkan sedikit waktu memberikan perhatian ekstra pada calon istrinya itu. Binar-binar bahagia terlihat begitu jelas di wajah mereka.

“Sebentar lagi kamu akan menjadi bagian terindah dari hidupku, Aisyah. Suatu anugerah terbaik yang selama ini aku impikan dan aku nantikan.”

Aisyah tersenyum bahagia. Kini dia telah memantapkan dirinya  menjadikan separuh hidupnya untuk Rama.

“Iya, Mas. Kita takkan tahu takdir dan nasib kita berjodoh pada siapa. Tapi kuyakin pada-Nya, bahwa Dia sudah memilihkan yang terbaik untukku.”

“Mari kita jalani dan arungi samudera kehidupan ini bersama. Jadikan bahtera rumah tangga kita sebagai dasar untuk meraih ridho-Nya.”

“Iya, Mas. Semoga kita senantiasa istiqomah dan tawakal dalam hal apapun.”

Keduanya kemudian menemui Ayah dan Bunda yang tengah memberikan nama-nama pada undangan pernikahan Aisyah dan Rama. 

Aisyah mendekat pada  Bunda, ia berkata, “Bun, Ais mau bicara sebentar.” 

“Iya, Nak. Bicara saja. Ayah dan Bunda akan mendengarkannya,” timpal Ayah. Di tangannya ada bolpoin dan juga kertaa untuk catatan daftar nama-nama tamu undangan nanti.

“Ayah, Bumda, Ais mau nanti saat pernikahan Ais, kita undang kaum dhuafa juga.”

“Saran yang bagus tuh, Nak. Ayah setuju.”

“Bunda juga Ais. Pernikahan yang membawa berkah itu adalah pernikahan yang di dalamnya ada anak yatim dan juga orang-orang kurang mampu. Karena dari doa-doa mereka-lah  terkadang Allah mengabulkannya,” kata Bunda bijak.

“Iya, Bun. Ais ingin semua yang ada di sekitar kita merasakan kebahagiaan, kebersamaan, juga kekeluargaan yang bisa mengokohkan tali silaturahmi,” lanjut Aisyah lagi.

Rama hanya diam, dalam hati dia sangat bersyukur dan bahagia mendengar semua yang dituturkan calon istrinya itu. Dia begitu mengagumi kepribadian Aisyah yang begitu lurus, suci, bahkan mungkin jiwanya sangat jernih dibandingkan dengan dirinya yang pernah berkubang dalam lumpur dosa, beberapa waktu lalu.

Kamu sangat agung dalam pandanganku, Aisyah. Aku tak mempermasalahkan siapa dirimu. Aku mencintai kejernihan jiwamu yang begitu tulus, ikhlas, serta penuh kasih sayang. Sungguh aku sangat beruntung memilikimu dalam hidupku. Aku akan terus berusaha memberikan yang terbaik untukmu. Wanita terbaikku.

Aisyah yang merasa diperhatikan oleh Rama sejak tadi, pura-pura tidak tahu. Dia tidak menanggapi, justru dia makin banyak berdiskusi dengan Ayah dan Bunda. Tetapi Rama tidak merasa diacuhkan, karena sesekali Aisyah meminta pendapatnya. Dia merasa dihargai. Harga dirinya sebagai seorang laki-laki sangat dihormati dan dijunjung tinggi oleh wanita bernama Aisyah.

Hari kian sore, menjelang maghrib Rama berpamitan pulang. Tak lupa dia berpesan kepada Aisyah agar menghubunginya karena malam ini dia akan ke luar kota selama dua hari, ada urusan pekerjaan yang harus diselesaikannya. Aisyah mengangguk, dia mengantarkan Rama sampai depan rumah.

*

Rama dan Yoga melakukan perjalanan malam mereka karena pekerjaan yang sedang mereka tangani menjalin kerjasama dengan pihak asing yang berada di luar kota. Mereka pergi berempat dengan sopir kantor, Pak Yono, yang terkenal humoris dan ringan tangan.

Sepanjang perjalanan, Pak Mono menggoda dan melontarkan candaan-candaan kepada Rama yang akan segera menikah.

“Mas Rama kayaknya berbunga-bunga terus ya, Mas Yoga? Dia sudah nggak sabar mau jadi suami,” seloroh Pak Mono yang ditanggapi Yoga dengan candaan pula.

“Iya nih.  Sudah siap tempur dia. Makanya cari amunisinya sampai keluar kota ya, Pak?”

“Betul, Mas Yoga. Supaya nanti dia bisa memenangkan pertarungannya. Ha ha ha ….”

“Emangnya aku mainan? Pakai menang bertarung segala.”

“Iyalah, Ram. Kamu kan bakal bertarung dengan lawan main, makanya jangan sampai kalah. Cari amunisi sebanyak-banyaknya supaya kamu menang.”

“Ah, kalian ini! Jadi provokator aja!”

“Harus, dong. Aku yang paling akan jadi provokatormu.” Yoga makin keranjingan menggoda Rama. Mereka bergantian mengemudi, perjalanan malam yang menyenangkan karena candaan-candaan itu sebagai obat anti ngantuk. Menjelang subuh mereka sudah sampai hotel tempat mereka akan menginap. Rasa penat yang melanda selama dalam perjalanan, setidaknya kini sudah terbayarkan  dengan beristirahat beberapa jam.

Aisyah mengirim pesan kepada Rama setelah selesai membersihkan ruangan. 

“Assalaamualaikum, Mas. Gimana pertemuannya? Semoga diberikan kemudahan dan kelancaran. Jaga diri dan hati-hati di jalan.” 🥰

Rama tersenyum membaca pesan itu, dia membalas, “Waalaikumsalam, calon Nyonya Rama. Alhamdulillah, berkat doa-doamu kami di sini diberikan kemudahan, Sayang. Besok kami kembali, karena masih ada satu pertemuan lagi.”❤️

Selesai membaca pesan Rama, Aisyah menuju kantor panti. Dia membuka semua jendela dan pintunya. Tatapan mata Aisyah tertuju pada sosok pria setengah tua yang berjongkok di depan gerbang. Dari tampilannya terlihat pakaiannya yang compang-camping, kumal, lusuh, dan dekil.

 Aisyah mendekatinya lalu menyapa, “Pak, Bapak sedang apa di sini?” 

Pria tua itu menoleh, menatap Aisyah begitu lekat. Ada rasa aneh dalam hatinya, wajah dan suara Aisyah mengingatkannya pada seseorang di masa lalu.

Dia menjawab, “Bapak tidak sedang apa-apa, Nak. Bapak hanya ingin melihat rumah Bapak.”

“Di mana rumah Bapak?”

Dia menggeleng. “Bapak lupa, Nak. Bapak lupa di mana rumah Bapak.”

“Anak dan istri Bapak ke mana?” cecar Aisyah ingin tahu lebih jauh tentang orang itu. Pria tua itu sekali lagi menggelengkan kepalanya. Aisyah menjadi iba. Dia mengajak pria itu masuk.

“Bapak bersihkan diri dulu. Saya carikan baju yang layak, ya?” Aisyah meninggalkan pria itu dan segera kembali dengan membawa beberapa potong baju layak pakai.

“Ini, Pak. Silakan Bapak bersih-bersih badan. Kamar mandinya ada di bawah tangga.”

Pria itu menuruti Aisyah. Hatinya begitu tersentuh dengan perlakuan Aisyah kepadanya. Belum pernah dia mendapatkan perlakuan seperti itu dari keluarganya. Mereka justru malah menyia-nyiakannya dan tidak sudi merawat ketika sekujur tubuhnya dipenuhi dengan penyakit. Kedua matanya memanas dan mengembun. Dia menahan sesak di dada, air matanya menetes.

Layakkah aku dikasihani? Sedangkan dosa-dosaku di masa lalu sudah tak terhitung banyaknya. Betapa aku dikasihani dan diperlakukan secara manusiawi oleh orang lain. 

Hati kecilnya berkata. Kilasan masa lalunya masih terekam jelas di benaknya. Masa yang mengubahnya kini karena buah perbuatannya sendiri.

“Pak, silakan makan dulu. Saya sudah nyiapin makan untuk Bapak di ruang makan,” kata Aisyah penuh keramahan.

“I-iya, Nak. Terima kasih.”

“Mari, Pak. Saya antar,” kata Aisyah diiringi pria tua itu. Dengan cekatan Aisyah mengambilkan minum, menaruhnya di sisi piring pria itu.

“Silakan dimakan, Pak, saya tinggal dulu ya?”

“Iya, Nak. Terima kasih.”

Pria tua itu bersantap seorang diri. Sementara Aisyah membersihkan kantor panti. Dia merasa bahagia hari ini, karena bisa berbagi dengan orang lain.

Seandainya anakku masih ada, tentu dia sudah sebesar kamu, Nak. Sayangnya, aku tidak sempat melihat wajahnya dan juga ibunya.

Pria tua itu terus memperhatikan gerak gerik Aisyah.

Terpopuler

Comments

Nor Aini

Nor Aini

mungkin kh bapaknya aisyah

2024-03-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!