Bab 4 Pertamaku Melihatmu

Bab 4

Pertama Kumelihatmu

“Kakakmu belum datang, ya, Ngga?” tanya seorang gadis manis kepada Rangga yang masih berdiri termangu di dekat ruang tata usaha sembari pandangannya tak pernah lepas dari pintu gerbang sekolah.

“Belum, Nin. Entahlah.” Rangga tampak putus asa. Raut mukanya kusut, tidak ada semangat. Padahal rapat sudah dimulai sejak setengah jam lalu.

“Tunggu aja, Ngga. Mungkin kakakmu dalam perjalanan, atau ada halangan.” Hibur Ninda. gadis manis itu.

“Iya, Nin. Makasih, ya,” kata Rangga menyugar rambutnya. Wajahnya yang manis membuat teman-teman wanitanya terpesona. Begitu juga dengan Ninda.

“Semoga cepat datang.” Ninda menyemangati sahabatnya itu. Tak disangka, orang yang Rangga nantikan akhirnya datang.

“Oh, itu dia kakakku!” teriak Rangga senang begitu melihat Aisyah datang. Dia  berlari mendekati Aisyah lalu menyapa, “ Kak Ais, kenapa lama amat sih?” Wajah Rangga menunjukkan kekecewaan.

“Maaf, Dik. Tadi ban motornya bocor, lalu Kakak bawa ke bengkel,” Aisyah menerangkan. “Rapatnya udah mulai ya?”

“Iya, Kak. Yuk, aku anterin ke aula.” 

Rangga dan Ninda berjalan di depan, diiringi Aisyah dri belakang. Rangga menunjukkan aula tempat rapat wali murid dilaksanakan.  Aisyah menuju ke sana setelah Rangga berpamitan. Dia bersama Ninda menuju perpustakaan, tempat kesukaan mereka.

Aisyah duduk di belakang dekat seorang wanita paruh baya. Wanita itu bertanya, “Barusan datang, ya, Mbak?”

“Iya, Bu,” jawabnya singkat. Aisyah memperhatikan dengan saksama apa yang disampaikan oleh pihak sekolah meski dia terlambat setengah jam.

Aisyah terkejut ketika nama Rangga masuk dalam daftar siswa berprestasi yang memenangkan lomba ilmiah remaja. Dia tak menyangka, jika adik asuhnya itu ternyata cerdas. Rangga memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh anak-anak sebayanya masa kini. Air mata Aisyah tertahan, dia tidak ingin menangis di muka umum, meski haru menyergap hatinya.

“Untuk wali murid atas nama Rangga Aji Saputra, kami persilakan maju ke depan,” ucap Kepala Sekolah. Sontak Aisyah menghapus air matanya. Debaran hatinya tak menentu, sebisa mungkin dia menahan emosinya yang bergejolak.

Dia berdiri, berjalan menuju depan di mana  kepala sekolah dan guru-guru berada. Sepasang mata diam-diam mengawasinya dari salah satu sudut. Pandangannya tak pernah lepas melihat Aisyah. Getaran hatinya begitu kuat, dadanya berdebar kencang  tak menentu.

Seandainya aku mampu  mengenal dan memilikinya, pasti aku akan lebih berbahagia. Apakah wanita seperti ini yang kucari?  Monolognya dalam hati.

Kepala sekolah menyuruh seseorang untuk memanggil Rangga. Remaja pria itu tampak malu-malu ketika berdiri di muka umum. Kepala sekolah menyerahkan piala, piagam, serta bea siswa pembinaan kepadanya.

“Selamat, Rangga. Kamu sudah membuat kakakmu dan keluargamu bahagia.” Kepala sekolah menyalaminya, Rangga membalas dengan mencium tangan kepala sekolah dengan takzim. Rasa haru dan bahagia menyelimuti Aisyah dan semuanya. 

“Saya sangat bahagia dengan pencapaian prestasi anak-anak kita. Terutama untuk Rangga. Dia berhasil membuktikan bahwa anak-anak kita di era modern ini mampu menunjukkan prestasinya di tengah gempuran pengaruh-pengaruh perkembangan jaman yang tidak baik. Kakak Rangga adalah contoh pendorong, motivator, serta saudara yang selalu mendukung kemajuan pendidikan adik-adiknya.” Ucapan kepala sekolah membuat seseorang terus memperhatikan Aisyah. Gadis itu tidak menyadari jika dia terus menerus diperhatikan sedari tadi.

Tak lama, rapat selesai. Aisyah pulang bersama Rangga setelah dipanggil kepala sekolah ke ruangannya. Aisyah sangat bangga dengan adiknya itu.

“Kakak bangga padamu, Dik. Kakak nggak nyangka kamu menjadi kebahagiaan di keluarga kita.”

“Semua juga berkat dorongan dan bimbingan Kak Ais, Bunda, dan Ayah.” Rangga tersenyum. Mereka menuju motor, hendak pulang.

“Rangga, Rangga! Tunggu!” Ninda berteriak dan berlari kecil menuju arah Rangga dan Aisyah.

“Iya, Nin. Ada apa?” jawab Rangga.

“Selamat, ya! Kamu memang luar biasa!” Ninda mengulurkan tangannya menjabat tangan Rangga yang dibalas oleh remaja  itu.

“Terima kasih, Nin. Kamu juga hebat!” Puji Rangga tulus. “Kamu pulang sama siapa, Nin?”

“Sama kakakku juga. Kalau begitu, aku pulang dulu, ya? Mari, Kak, Rangga.”

Ninda meninggalkan mereka berdua menuju parkiran luar, tempat kendaraan kakaknya berada.

“Silakan,” jawab Aisyah. “Siapa cewek cantik itu? Kayaknya kalian dekat ya?” tanya Aisyah, membuat Rangga tersipu. 

“Iya. Itu Ninda, Kak. Sahabat baikku.”

“Sahabat atau sahabat?”  Aisyah mencoba menggoda adiknya itu.

“Ya sahabatlah, teman.”

“Oh … teman. Kirain teman.” Godanya lagi.

“Ah, Kak Ais. Sudah deh, pulang yuk! Nanti keburu hujan lagi!” Rangga mengalihkan pembicaraan. Aisyah tahu jika Rangga terpojok dengan candaan yang Aisyah lontarkan.

*

“Mas, Mas. Ngapain sih, senyum-senyum sendiri. Kesambet ya?” Ninda merasa heran dengan kakaknya yang sudah beberapa hari terlihat sangat bahagia. Tidak biasanya kakaknya bersikap begitu. Kakaknya masih diam, tidak menanggapi celoteh adiknya.

“Mas, denger nggak sih!” Kali ini Ninda sedikit teriak. Membuat kakaknya memukulnya dengan bantal sofa kecil. Ninda tertawa. 

“Bawel banget sih, kamu ini. Apa nggak bisa lihat orang lagi santai? Nganggu mulu kerjaanmu, huh!” Dilemparkannya bantal kecil sekali lagi ke muka Ninda. Justru Ninda kian tergelak.

“Aku panggil-panggil dari tadi nggak dijawab. Entah males jawab atau lagi mikir seseorang, nggak tau deh!”

“Bukan urusanmu, bawel!” katanya ketus.

“Ya urusankulah. Aku kan pengen tahu kisah cinta terbaru dari kakakku yang paling ganteng serumah.”

“Nggak lucu tau!”

“Biarin!” Ninda justru makin menggoda kakaknya. Dia sengaja duduk di sebelahnya sambil menikmati kripik pisang gurih kesukaannya sambil nonton berita di tivi.

Sang kakak kembali terdiam. Dia sedang memikirkan sesuatu. Bagaimana aku bisa mengenalmu lebih dekat? Di mana tempat tinggalmu? Aku ingin bertemu. Dia tersenyum. Tanpa disadari, Ninda menoleh.

“Ihimm … senyum lagi, senyum lagi. Jatuh cinta niheee …,” godanya. 

“Dasar bawel!” Diserobotnya kripik pisang yang tengah di pegang Ninda.

 Ninda berteriak-teriak. “Mama … Mas Rama merebut kripik pisangku nih, Ma …!” 

“Bodo amat!” Tanpa mempedulikan teriakan adiknya, Rama kini menikmati kripik pisang yang sudah berpindah tangan.

“Mama … tolong…!”

“Dasar tukang ngadu!”

Seorang wanita mendatangi mereka berdua. “Ada apa sih teriak-teriak, Ninda! Kayak di hutan aja!”

“Itu tuh, Ma. Kripik pisangku direbut Mas Rama.” Muka Ninda berubah jutek. Dia minta dikasihani ibunya.

“Ah, biarin dah! Dasar bawel! Tukang ngadu!” Rama tidak peduli dengan aduan adiknya pada ibunya.

“Dia senyum-senyum sendiri tuh, Ma. Kayak lagi kemasukan makhluk asing,” ucap Ninda sekenanya.

“Huss! Kamu ini!” 

“Beneran, Ma. Atau, jangan-jangan …,” Ninda menjeda kata-katanya.

“Jangan-jangan apa?” Ibunya turut penasaran.

“Jangan-jangan dia lagi … jatuh cinta.” Ninda menjulurkan lidah ke arah kakaknya lalu berlari  menuju kamarnya.

“Dasar biang kerok! Sok tahu aja!” gerutu Rama. Ibunya hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak-anaknya. Dia melangkah pergi meninggalkan Rama yang masih melihat tivi.

Dalam hati, Rama membenarkan kata-kata Ninda.

Ya, aku memang sedang jatuh cinta. Tapi entahlah,apakah wanita itu kelak bisa kumiliki? Dia kembali tersenyum, membayangkan keindahan sesaat yang entah kapan akan dilihatnya lagi. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!