Bab 11 Rencana

“Ninda, ajak Kak Ais lihat-lihat rumah,” pinta Farida diiringi anggukan olehnya.

“Ayo, Kak.” Ajak Ninda menggandeng tangan Aisyah. Dia mengajak Aisyah melihat-lihat sekeliling rumah.

Sementara di kamar, Farida dan Bunda sedang membicarakan sesuatu. Mereka hanya berbicara empat mata

“Aminah, apakah Aisyah itu anakmu?” tanyanya.

“Iya, dia anakku. Tapi anak angkat. Dia sudah kuasuh dari bayi,” kata Bunda mantap.

“Oh …, aku kira dia anak kandungmu. Cantik dan lembutnya sama kayak kamu.”

“Bukan, Mbak. Tapi sudah kuanggap anakku sendiri. Dia dititipkan kerabat ibunya di panti peninggalan orang tua Mas Harun yang kini sudah kami perbaiki. Ibunya meninggal beberapa hari setelah melahirkannya. Ayahnya pergi entah ke mana. Sedangkan keluarganya tidak mampu.”

“Kasihan sekali.”

Sejenak mereka terdiam. Hingga Farida bertanya lagi, “ Apakah sudah ada rencana mau menikah?” Pertanyaan Farida membuat Aminah atau Bunda terkejut.

“Belum, Mbak. Kenapa?”

“Aku ada rencana, gimana kalo kita jodohin anak kita saja? Aisyah maksudku, sama anak tertuaku.”

“Sebenarnya ide bagus. Cuma, gimana ya? Kayaknya jaman sekarang sudah jarang sih perjodohan-perjodohan gitu.”

“Siapa tahu mereka cocok dan berjodoh. Anakku sebenarnya sudah mau menikah, tetapi gagal. Padahal dia sudah cukup umur dan mapan.”

“Emang anak Mbak kerja di mana?”

“Dia kerja di perusahaan ekspor- impor. Dia juga yang membantu usaha kecil-kecilanku selama ini.”

“Masya Allah. Aku senang mendengarnya.”

“Iya. Tapi sayang, hidupnya belum menemukan kebahagiaan. Jujur aku katakan, aku sudah ingin sekali menimang cucu. Lihat teman-temanku yang lain, mereka sering bermain dengan cucu mereka. Menghabiskan waktu bersama cucu-cucu mereka.”

Bunda menghela napas. Sebenarnya ada sesuatu yang mengganjal dalam dirinya tentang Aisyah.

“Sebenarnya Aisyah dulu juga pernah dekat dengan seorang laki-laki. Bahkan, dia sudah berniat meminang Aisyah. Tetapi, orang tuanya tidak merestui hubungan mereka. Mereka sudah mencarikan gadis lain sebagai menantunya.”

Farida mendengar dengan saksama. Ada kesedihan dari cerita Bunda. Dia semakin berkeinginan kuat menjodohkan Aisyah dan Rama.

“Insya Allah, kami akan berkunjung ke tempatmu saat hari raya. Aku akan mengajak anak-anakku ke sana.”

“Dengan senang hati, Mbak. Kita bisa kumpul-kumpul kayak dulu lagi.”

Farida meneteskan air mata. Dia terharu dan bahagia bisa bertemu kembali dengan Aminah. Tak lama, Aminah dan Aisyah meminta diri untuk pulang. Berta rasanya Farida jauh dari Aminah. Apalagi di kota ini, dia tidak memiliki siapa-siapa.

Dia teringat betapa baiknya Aminah dan Harun yang baru saja menikah, meminjamkan salah satu rumah kontrakan mereka untuk ditinggalinya bersama suaminya yang baru saja kehilangan pekerjaan. Saat itu, ia tengah mengandung Rama enam bulan.

Saat-saat perjuangan yang melelahkan bersama sang suami terekam jelas di benaknya. Bagaimana dia melahirkan Rama dengan susah payah dan serba kekurangan hingga akhirnya suaminya mendapatkan pekerjaan layak.

Hidup mereka seketika berubah. Di saat itu, suaminya tergoda wanita lain. Dia meninggalkan Farida yang masih mengandung Ninda, bersama Rama dan Dio yang masih kecil. Dengan sekuat kemampuan dan tenaganya, Farida menapaki hidup tak mudah. Dia berpindah-pindah tempat, mencari pekerjaan yang lebih layak.

*

Kumandang azan maghrib terdengar. Waktu berbuka puasa tiba. Setelah sholat maghrib, Farida meminta Ninda memanggil Rama untuk datang ke kamarnya. Farida bersandar di punggung ranjang.

“Ram, ada yang ingin Mama bicarakan padamu.”

“Ada apa, Ma? Sepertinya penting,” tanya Rama, penasaran.

Farida tersenyum, “Iya, Nak. Memang penting dan sangat penting.”

“Maksud Mama apa, ya?” Sekali lagi Rama bertanya penuh tanda tanya.

Farida terdiam sejenak. Dia mengumpulkan keberanian agar mampu membuat Rama tidak tersinggung atas keputusannya. Dia tahu, Rama masih trauma dengan kegagalan pernikahannya dengan Karina.

“Ram, tadi teman lama Mama ke sini, dia datang bersama anak gadisnya.”

“Terus, maunya Mama apa?” cecar Rama ingin tahu.

“Mama rencananya ingin … menjodohkanmu dengannya.”

Rama terkejut. “Apa? Apa Rama nggak salah dengar?”

“Nggak, Nak. Ini kalau kamu setuju. Kalau nggak juga nggak apa-apa. Mama nggak maksa, kok. Kamu berhak memilih.”

Rama terdiam. Ditatapnya wajah ibunya lekat-lekat. Ada cinta dam kasih sayang yang besar padanya. Rama pun sudah berpikir ingin berumah tangga. Meski pada akhirnya hancur dengan pengkhianatan Karina.

“Iya, Ma. Biarkan saja waktu yang bicara. Rama masih ingin berbakti pada Mama.”

“Nanti lebaran kita berkunjung ke sana, ya, Nak? Kenalan aja dulu. Nambah saudara buat kita.”

“Iya, Ma. Menikah itu juga harus ada cinta dan bukan paksaan. Rama tidak ingin menikah karena terpaksa atau dipaksa. Harus ada kecocokan hati.”

“Iya, Mama tahu. Mama nggak akan maksa kamu seandainya kamu tidak suka atau tidak cocok. Mama hanya ingin kamu menemukan wanita yang tepat demi kebahagiaanmu.”

Rama mengangguk. Dia kemudian meninggalkan ibunya yang masih bersandar.

Di kamarnya, Rama memikirkan kembali perkataan ibunya. Di sisi lain, dia memikirkan Aisyah.

Siapa sebenarnya gadis itu? Apakah dia seperti Aisyah ataukah Karina?

Hati Rama gundah.

Di tempat yang berbeda, Bunda juga tengah memanggil Aisyah.

“Ais, sini Bunda mau bicara sebentar, Nak.”

“Iya, Bun.” Dengan patuh, Aisyah memenuhi panggilan Bunda, dia duduk di sampingnya. “Ada apa, Bun?”

“Ada sesuatu yang ingin Bunda sampaikan pada Ais. Bunda sebelumnya minta maaf, ya? Apabila nanti Ais keberatan, tidak apa-apa,” tutur Bunda sangat hati-hati.

“Emangnya ada apa, sih, Bun? Ais nggak ngerti deh. Bikin penasaran aja.”

Bunda menghela napas sebentar, dia berkata, “ Ais, Bunda rencananya mau jodohin Ais sama seseorang.”

“Apa? Dijodohin?” kata Aisyah tak percaya. Dadanya berdebar kencang.

“I-iya, Ais. Ini pun jika Ais setuju. Kalau nggak juga nggak apa-apa,” kata Bunda lirih.

“Bun, Bunda kan tahu, Ais belum mikir untuk menikah saat ini. Ais masih ingin berbakti pada Bunda, juga jagain adik-adik.”

“Iya, Bunda tahu, Nak. Ais adalah anak tertua di sini. Bunda paham. Tapi, nggak ada salahnya kan jika saling mengenal terlebih dahulu? Syukur-syukur jika memang kalian berjodoh. Bunda akan sangat bahagia.”

Aisyah terdiam. Luka hatinya belum mengering setelah seseorang pergi dari hidupnya juga karena perjodohan.

Wildan. Ya, pemuda itu telah membuat Aisyah untuk berhati-hati menjaga hati. Bagaimanapun kuatnya cinta di antara mereka, mereka takkan bisa bersatu, akibat perjodohan itu.

“Bun, Ais sungguh belum berani membuka hati lagi untuk orang lain. Ais masih fokus ingin menyelesaikan kuliah dulu,” timpal Aisyah sambil tertunduk.

“Iya, Bunda mengerti, Ais. Bunda tidak akan memaksa jika memang Ais tidak mau. Yang berhak menentukan pilihan kan Ais, ya kan?”

Aisyah mengangguk. Sejujutnya dia keberatan jika ada pernikahan lewat perjodohan. Dia ingin memilih dan dipilih oleh pria yang juga dia cintai. Bukan hanya dari satu pihak. Baginya, kenangan bersama Wildan adalah sebagai pelajaran, agar tidak mudah dan tidak terlalu berharap kepada pria manapun. Supaya tidak sakit hati.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!