Bab 15 Kubahagia

Mereka semua berpandangan. Termasuk Bunda dan Farida, ibu Rama.

“Kalian sudah kenal?” tanya Bunda. Dia mengajak Aisyah duduk. Aisyah mengangguk sambil tertunduk malu, dalam hati dia bahagia.

“Iya, Bun. Aku sudah kenal Mas Rama,” jawab Aisyah tersenyum.

“Benarkah begitu, Ram?” Farida bertanya pada putranya.

Rama mengangguk, dia berkata,“Iya, Ma. Kami sudah kenal, bahkan sudah dekat.”

“Sejak kapan?” sambung Ayah.

Rama bercerita waktu itu dia yang pertama kali melihat Aisyah ketika dia sedang membeli sembako dan memberikan sedekah pada seorang peminta-minta. Dia juga bercerita melihat Aisyah kedua kalinya di sekolah Ninda yang kebetulan satu sekolah dengan Rangga. Ketiga kalinya dia melihat Aisyah ketika berziarah tempo hari sebelum Ramadan, hingga akhirnya mereka dekat ketika Ninda ikut kelas Ramadan. Semua yang mendengarnya bersyukur. Binar-binar kebahagiaan terpancar dari wajah mereka semua.

“Jujur saya katakan, saya sudah tertarik dengan Aisyah sejak pertama kali melihatnya. Saya mencintai Aisyah, dan ingin meminangnya. Itu pun jika Aisyah bersedia,” ucap Rama penuh harap.

“Alhamdulillah. Bagaimana denganmu, Ais, apakah kamu bersedia jika Ayah jodohkan dengan Nak Rama?” lanjut Harun, suami Bunda, menunggu jawaban Aisyah.

Aisyah tertunduk malu. Dalam hati dia bahagia dan menjawab; YA. Aisyah mengangguk. Rama sangat bahagia, ternyata wanita yang dijodohkan dengannya adalah wanita yang selama ini diinginkannya.

“Alhamdulillah.”

“Jika diijinkan, saya ingin secepatnya melamar Aisyah,” ucap Rama mengagetkan semuanya.

“Se-secepat-itu, Mas,” kata Aisyah tergagap. Dia tidak menyangka jika Rama benar-benar serius dengan ucapannya.

“Iya, Aisyah. Aku tidak berbohong. Aku sungguh-sungguh.”

“Syukurlah kalau memang Rama ingin segera melamar Aisyah. Kita sebagai orang tua hanya bisa mendoakan saja, semoga diberikan kelancaran.”

Bunda mengajak mereka bersantap bersama. Suasana kekeluargaan tampak begitu akrab. Sesekali, Rama dan Aisyah saling mencuri pandang. Getar-getar indah itu kini terangkai dengan jelas. Tidaka ada lagi rahasia antara mereka berdua. Tidak ada tabir yang menjadi penghalang.

Rama meminta ijin kepada semua untuk mengajak Aisyah berbicara hanya berdua di ruang tengah. Sementara yang lain masih bercengkrama. Ninda pun bertemu Fina dan Rangga, mereka sudah seperti saudara baginya.

“Ais, aku sangat bahagia dan bersyukur, ternyata wanita yang akan dijodohkan denganku itu adalah kamu. Jujur aku katakan, aku ingin segera menjadikanmu sebagai istriku. Apakah kamu bersedia, Aisyah?” Rama memberi penekanan pada kata-katanya. Menatap lekat kepada wanita cantik di depannya itu.

Aisyah mengangkat wajahnya. Dia memberanikan diri menatap wajah pria di depannya. Ada kejujuran dan kesungguhan terpancar lewat sorot mata dari dalam hati Rama.

Dia mengangguk.“Iya, Mas. Aku pun tidak menyangka jika pria yang akan dijodohkan denganku adalah kamu.”

“Aku ingin secepatnya melamarmu. Kita akan segera memiliki keluarga sendiri.”

“Tapi, kamu belum tahu sisi baik dan burukku, Mas. Aku tidak ingin kamu kecewa nanti.”

“Aku pun sama. Aku memiliki banyak keburukan yang belum pernah kuceritakan padamu. Aku juga tidak ingin kamu kecewa.”

“Kita akan menghadapi masa depan. Rasanya tidak perlu melihat kembali ke masa lalu.”

“Menurutku tidak begitu. Kita sesekali harus melihat masa lalu agar bisa lebih bersyukur serta mengambil pelajaran darinya.”

Ucapan bijak Rama telah membuat hati Aisyah kian mantap dengan pria di hadapannya itu. Keduanya kembali bersama dengan orang tua mereka yang kian akrab berbincang.

“Saya ingin melamar Aisyah setelah lebaran ini.”

Semuanya kaget, tapi juga senang. “Saya tidak ingin berlama-lama menunda, karena sudah menemukan wanita yang tepat.”

“Mama setuju, Ram. Lebih cepat lebih baik. Ya kan, Am? Biar kita segera punya cucu,” kata Farida berseloroh. Aisyah kian tersipu dibuatnya.

Mereka akhirnya berpamitan, melanjutkan silaturahim mereka ke tempat lain.

“Kita kasih tahu keluarga papamu di Surabaya, Ram. Walau bagaimanapun, mereka juga keluarga mereka,” kata Farida ketika mereka telah sampai rumah, dan hanya bicara berdua saja.

“Apakah pentinga,Ma?” Nada bicara Rama menggambarkan kebencian. Ada luka yang belum hilang dari hatinya. Bagaimana dulu papanya mempelakukan mamanya dengan begitu tega. Membawa pulang perempuan yang sudah mengandung benihnya. Sedangkan waktu itu, mamanya pun tengah mengandung Ninda. Melahirkan adik kecilnya itu tanpa didampingi sang suami.

“Lho, gimana sih kamu. Ya penting dong, Ram.”

“Bukankah mereka juga sudah membuat Mama menderita?” Nada bicara Rama makin tinggi.

“Sudahlah, Ram. Semua itu masa lalu. Aku sudah memaafkan mereka. Ini hari fitri, Ram. Jangan kotori hatimu dengan kebencian.”

Rama terdiam. Dia tidak lagi menimpali cinta pertama dalam hidupnya itu.

“Pikirkan saja rencana lamaranmu pada Aisyah. Jangan memikirkan hal lainnya. Nggaka ada gunanya,” lnaajut Farida lagi.

“Baik, Ma. Rama hanya akan fokus pada Aisyah sekarang,” jawabnya mantap.

Rama meninggalkan Farida di ruang tengah. Dia mendatangi Dio yang sedang berbicara dengan teman karibnya, Akbat di taman belakang. Mereka becanda dan saling berbagi cerita. Sementara Farida menerima tamu yang berdatangan ke rumah untuk silaturahim.

Di lain tempat, Aisyah membantu Bunda menyiapkan makanan dan minuman bagi tamu-tamu mereka. Terutama tetangga sekitar panti. Tak ketinggalan juga Pak Madi dan Bi Atun beserta keluarga mereka.

“Duh …. yang mau menikah, tambah cantik aja,” ujar Bi Atun menggoda Aisyah. Gadis itu tersipu malu dibuatnya. “Dah ketemu sang pangeran rupanya.”

“Ah, Bi Atun sukanya nggodain.” Aisyah tersenyum tipis.

“Tapi bener kan? Sebentar lagi mau lamaran?”

“Insya Allah, Bi. Minta doa restunya, semoga lancar.”

“Aamiin. Tentu Bibi, Pak Madi, juga yang lain mendoakan kebahagiaan Ais. Memang Ais sudah pantas untuk menikah dan menjadi seorang ibu.”

“Terima kasih, Bi. Ais akan belajar dari Bunda dan Bibi.” Gadis itu memeluk erat Bi Atun yang sudah dianggap bibinya sendiri. Wanita bertubuh kurus itu membalasnya dengan penuh kehangatan.

“Ais bisa kok. Bibi yakin. Tanpa belajar pun Ais sudah punya bekal ilmu dari Bunda. Bukankah Bunda sudah mengajarkan Ais banyak hal?”kata Bi Atun bijak.

Aisyah bahagia sekali. Dia memiliki banyak cinta dan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya. Ditambah lagi, kini dia akan segera memasuki babak baru dalam hidupnya. Setelah lebaran ini, Rama akan datang melamarnya. Suatu hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Yaa Allah, mudahkan urusanku kami yang ingin menjalankan separuh dari ketentuan agama. Beri kami hati yang lapang agar bisa menjalani kehidupan ini dengan penub kesabaran dan keimanan padamu.

Pinta Aisyah dalam hati.

Rama pun tengah merasakan hal yang sama.

Sebentar lagi takkan ada yang bisa memisahkan kita, kecuali hanya Allah. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu, Ais. Menjalani samudera kehidupan yang penuh liku ini. Kuharap kita takkan tergoyahkan meski terpaan badai kehidupan datang silih berganti menghempas kita.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!