Bab 8 Kilasan Masa Lalu

“Ma, Ninda berangkat dulu, ya?” kata gadis manis itu. Dia sudah siap ikut tadarus di panti. Farida melihat Ninda sangat cantik dengan balutan hijabnya, putri kecilnya itu kini mulai beranjak dewasa, dia terlihat anggun dengan baju muslim yang dikenakan.

“Masya Allah, anak Mama cantik sekali. Baju sama hijabnya kontras. Mama suka,” katanya memperhatikan tunik dan hijab yang dikenakan Ninda berwarna pastel. Dipadu dengan celana wanita berwarna hitam.

Ninda tersipu. Dia mencium tangan ibunya. “Ninda nanti naik angkot aja, Ma.”

“Kenapa nggak naik sepeda? Kan lebih irit kalo naik sepeda.”

“Bannya bocor, Ma. Ninda lupa kalo ban sepedanya bocor.”

“Ya udah, nanti Mama minta tolong Pak Maman buat nambal di bengkel. Besok bisa kamu pakai.”

“Iya, Ma.” Ninda mencium tangan ibunya. Gadis remaja itu menuju panti dengan menaiki angkot. Hari tidak begitu panas, cenderung dingin dengan gumpalan awan hitam menggantung di langit.

Tidak berapa lama, Ninda sampai di sana. Fina, Rangga, dan anak-anak panti menyambutnya dengan gembira.

“Masuk kelas, yuk” ajak Fina kepada semuanya.

Hari pertama puasa dijalankan anak-anak dengan semangat. Kali ini Ninda menjalankan puasa sedikit berbeda. Jika dulu dia merasa kesepian, kini dia mendapatkan keceriaan dengan anak-anak itu.

Waktu bergulir. Tak terasa asar pun menyapa. Anak-anak melaksanakan solat berjamaah di mushola dekat ruang belajar.

Rama yang baru saja datang ke tempat itu, menunggu di depan ruang belajar. Dia menunggu Ninda hingga selesai sholat. Gadis itu terlihat senang ketika melihat siapa yang datang.

“Mas Rama! Ayo sholat dulu!” teriak Ninda melambaikan tangan pada kakaknya. Rama segera berjalan dan mengambil air wudhu lalu melaksanakan sholat.

Rama merasakan kesejukan dalam hati. Baru kali ini dia merasakan hidupnya benar-benar berubah. Ada semacam salju yang mencairkan kebekuan hatinya yang panas dan jauh dari jalan-Nya karena sibuk memikirkan urusan duniawi.

Tanpa sengaja. Matanya tertumpu pada Aisyah yang juga tengah menatapnya. Aisyah tertunduk, tersipu malu. Gadis itu melangkah keluar. Diiringi Rama dari belakang. Ninda yang melihat dua orang itu mengulum senyum.

Kalo aku perhatiin, kakakku yang paling ganteng serumah cocok nih sama Kak Ais. Tapi, Kak Aisnya mau nggak ya kalo aku comblangin? Kasihan kakakku, umurnya sudah hampir kepala tiga, tapi belum juga dapet jodoh. Ah! dasar jones!

Ninda berbicara dalam hati.

“Ee maaf, Mbak Aisyah,” panggil Rama.

Aisyah menoleh ke arahnya, “ Setiap hari selesai jam berapa?”

“Jam setengah empat, dilanjutkan dengan sholat asar berjamaah, Pak,” jawabnya.

Rama sedikit terkejut dipanggil Pak oleh Aisyah. Dia melayangkan nada protes. “Saya belum menikah, Mbak. Belum jadi bapak-bapak.”

“Oh, maaf. Mas.” Aisyah kembali menunduk. Sorot mata Rama begitu tajam menembus kalbunya. Aisyah mencoba menetralkan debaran -debaran itu.

Astaghfirullah, kenapa begini? Jagalah hatiku, Yaa Allah.

“Terima kasih, Mbak. Kami permisi dulu.”

“Silakan.”

Rama dan Ninda berlalu dari tempat itu. Rasa usil Ninda muncul lagi. Dia ingin tahu sejauh mana kakaknya itu memiliki ketertarikan pada Aisyah.

“Mas, Kak Ais itu orangnya sabaaarrr banget. Dia juga pinter dan …,” Ninda menjeda kata-katanya.

Rama menghentikan langkahnya, dia bertanya, “Dan apalagi?” tanyanya penasaran.

“Emm … kayaknya dia cocok sama Mas Rama,” ujar Ninda sembari menutup mulutnya.

Rama melotot ke arah adiknya. “ Eh, apaan ngomong kayak gitu.” Dia pura-pura marah.

“Sabar dong tuan jones, alias jomblo ngenes. Jangan marah-marah dulu tuan jones. Siapa tahu nanti Anda berjodoh dengan dewi surga itu.”

“Ilih sok puitis kamu. Ayo lekas pulang. Keburu maghrib ini.”

Ninda hanya tertawa melihat kelakuan kakaknya.

*

“Mau ke mana, Ram?” tanya Farida begitu melihat Rama berubah. Putra tertuanya itu mengenakan baju koko, kopiah, beserta sarung. Binar ketampanan Rama begitu jelas. Wajahnya juga tampak berwibawa dan kebapakan. Baru kali ini putranya berpenampilan lain, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Putranya tidak mengenal agama bahkan sholat pun tidak ia laksanakan.

“Mau taraweh, Ma,” jawabnya singkat.

“Masya Allah, alhamdulillah. Akhirnya Allah membukakan pintu hidayah buatmu, Nak. Mama bahagia sekali mendengarnya.”

Ninda yang baru saja datang ikut menyeletuk, “Semua karena cinta, Ma.”

“Huss! Kamu itu, sok tahu!” bentak Rama pada Ninda.

“Sudahlah, Ram. Nggak perlu begitu juga sama adikmu.”

Ninda hanya nyengir mendapat pembelaan dari sang ibu. “Dah yok, Mas. Kita berangkat!” ajak Ninda seraya menarik tangan kakaknya. Farida hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan keduanya. Tapi dia bersyukur, Rama sudah mendapatkan hidayah.

*

Selesai taraweh, Rama membaca Al-Quran. Hal yang sudah sangat lama tidak dikerjakannya. Beberapa ayat terlantun dari mulutnya. Hati Rama bergetar ketika membaca arti dari ayat-ayat suci tersebut. Tak terasa, air matanya menetes membasahi permukaan sajadah tempatnya duduk.

Yaa Allah, selama ini aku menjauhi-Mu. Melupakan-Mu. Tidak pernah sedetik pun aku mengingat-Mu. Padahal Kau masih memberiku nyawa untuk hidup dan bernapas. Ampunilah aku, Yaa Rabb.

Sekelebat wajah manis Aisyah menyapa Rama ketika berbaring. Dia sudah ingin sekali berumah tangga, mengingat ibunya, Farida, sudah semakin tua. Setelah putus dari Karina, Rama hanya menghabiskan hari-harinya di klub malam berteman minuman-minuman nirwana dan para penjaja cinta.

Air mata Rama kian deras. Dia merasa sangat kotor dan hina. Apalagi jika dia melihat Aisyah yang berakhlaq mulia serta berbudi baik. Dia merasa tidak ada harga dirinya sama sekali.

Di lain tempat, Aisyah pun tengah memikirkan hal yang sama. Perjalanan cintanya yang ditentang oleh orang tua dari teman prianya beberapa waktu lalu membuat Aisyah kini lebih fokus mengabdikan dirinya pada panti dan anak-anak. Dia berpikir positif bahwa segala sesuatu sudah berjalan pada takdirnya. Dia hanya tinggal menjalani.

Dia masih teringat, teman prianya itu berkata padanya.

“Ais, aku akan berjuang untuk kita, untuk masa depan kita. Meskipun sulit, aku akan berjuang untukmu.”

“Tapi, Dan, orang tuamu tidak merestui kita. Aku bukan gadis yang tepat bagi mereka. Kamu layak bahagia, Dan. Aku rela berpisah darimu.”

“Tidak, Ais. Meski mereka memaksaku menikahi gadis lain, aku akan menceraikannya. Aku tidak ingin menikah dengannya. Aku cuma mau menikah denganmu, Ais.”

“Dan, aku ingin kamu bahagia. Jangan buat kedua orang tuamu kecewa denganmu

Jangan, Dan. Kumohon, turutilah mereka. Nikahi gadis itu.”

“Ais, aku hanya korban. Kau disuruh menikahinya karena dia anak teman ayah dan ibuku. Aku tidak mencintainya. Aku cuma cinta kamu, Ais.”

Air mata Aisyah tak terbendung mengingat semua kejadian itu. Wildan, pemuda yang selama ini dekat dengannya harus menikah dengan gadis pilihan orang tuanya dengan alasan agar menambah erat persahabatan mereka. Cerita itu masih terekam jelas di benak Aisyah. Dia dan Wildan akhirnya tidak bisa bersama, meski hati mereka berat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!