Bab 12 Hanya Ingin Kau Tahu

Rama termenung di belakang meja kerjanya. Layar monitor komputernya masih menyala, dia hanya memperhatikan grafik- grafik hasil penjualan yang naik turun. Dia tidak bisa konsentrasi. Pikirannya melayang pada kata-kata ibunya, Farida. Sekilas, bayang wajah Aisyah berkelebat di benaknnya. Menari-nari dan menggoda. Wajahnya yang cantik serta senyumnya yang menawan telah membuat Rama benar-benar jatuh cinta dan ingin segera memilikinya.

Ingin sekali Rama bercerita kepada ibunya jika dia telah memiliki tambatan hati. Di sisi lain, dia belum memiliki keberanian menyatakan perasaannya kepada Aisyah. Rama tidak yakin, gadis itu akan menanggapinya. Di tengah kejenuhannnya dengan pekerjaan yang sedikit menumpuk, sesekali dia merentangkan tangannya yang sedari tadi dipakai untuk tumpuan kepalanya, terasa sedikit kebas.

Beberapa hari lagi, hari raya akan tiba. Sebelum hari itu, dia akan berterus terang kepada ibunya. Dia hanya ingin Aisyah yang diharapkan menjadi tujuan hidupnya.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. “Masuk!” perintah Rama.

Seseorang muncul dari balik pintu dan tersenyum. Ternyata Ines, salah satu staf bagian marketing mendekatinya.

“Mohon maaf, Pak Rama. Ada yang ingin bertemu dengan Anda.”

“Siapa?”

“Pak Yoga.”

“Baik, terima kasih, Mbak Ines.”

Yoga adalah salah satu rekan kerja Rama, mereka sahabat karib. Perusahaan tempat merek bekerja menjalin kerja sama sejak beberapa tahun ini. Yoga adalah manajer eksekutif handal yang sedang dipromosikan sebagai salah satu CEO di perusahaan itu.

“Halo, Ram,” sapa Yoga menjabat tangan sahabatnya itu. Senyumnya mengembang tipis, samar.

“Halo, bos,” Rama menjawab dengan candaan. Tetapi wajah Yoga tampak lain hari itu. “Silakan duduk.”

“Terima kasih, Ram.”

“Bagaimana dengan proposal kerjasama kita yang kemarin? Apakah menemui kendala?” tanya Rama. Wajah Yoga tampak lesu, dia enggan menanggapi.

“Nggak ada masalah, Ram. Cuma, aku sedang ada sedikit masalah.”

“Masalah apa?”

“Sebaiknya kita berbicara di luar saja, ya? Apa kamu bisa?”

“Tentu. Tiga menit lagi waktunya istirahat.”

Mereka menuju ke kafe dekat kantor Rama bekerja. Kafe itu baru buka sore hari di bulan Ramadan. Suasana pun masih sepi. Mereka berdua berbicara dengan bebas.

“Ada masalah apa?” tanya Rama begitu sampai.

“Apa kamu bisa nyariin aku tempat tinggal di sekitar sini?” Pertanyaan Yoga terdengar janggal di telinga Rama.

Mengingat, selama ini Yoga tinggal berkecukupan bersama istrinya. Ada sesuatu yang tidak beres.

“Memangnya kenapa? Mengapa ingin mencari tempat tinggal? Bukankah kamu dan istrimu sudah punya rumah sendiri?” Rama mencecar pertanyaan pada Yoga. Yoga menundukkan kepala. Berbagai macam kilatan peristiwa begitu membekas, bagaimana kehidupan rumah tangganya.

“Istriku selingkuh, Ram,” ucapnya dengan lirih.

“Apa?” Rama terkejut mendengar ucapan Yoga.

“Selingkuh? Bagaimana kamu bisa tahu jika di selingkuh? Bukankah kalian saling mencintai?”

“Iya, tapi entah mengapa dia malah bermain di belakangku.”

“Maksudmu apa?”

“Dia menjalin hubungan lagi dengan mantan kekasihnya. Beberapa kali aku memergoki dia chat dan teleponan dengan lelaki itu. Tapi dia tidak pernah mengaku. Mereka justru tidur bersama ketika aku keluar kota. Aku benar-benar dikhianati!”

“Astaghfirullah. Lalu bagaimana?” Rama tidak percaya.

“Dia meminta maaf padaku dan tidak ingin mengulanginya lagi. Hatiku sudah tertutup, Ram. Kupikir ini adalah karma untukku. Karma yang pantas aku terima, karena menyia-nyiakan cinta seseorang.”

“Aku bisa merasakannya, aku pernah hampir menikah juga. Tapi tunanganku berkhianat. Bahkan dia sudah hamil dengan laki-laki itu.”

“Pikiranku benar-benar kacau, Ram. Orang tua dan mertuaku menyuruh kami supaya damai. Tetapi aku tidak bisa. Aku ingin berpisah dengannya. Apalagi kini dia sedang mengandung benih dari laki-laki itu.”

“Bagaimana kamu bisa tahu?”

“Aku sudah melakukan tes DNA beberapa kali. Dan hasilnya sama. Aku bukan ayah biologis dari janin yang dikandungnya sekarang.”

Rama meraup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia miris dengan nasib Yoga. “Baiklah, Yo. Akan aku usahakan. Sebaiknya kita sholat dulu, agar diberi ketenangan berpikir.”

Yoga mengangguk. Mereka melaksanakan sholat dhuhur bersama di mushola kantor.

*

Rama terngiang cerita sahabatnya. Dia memikirkan kisah Yoga yang berakhir dengan kesedihan. Rama berpikir dia akan mengutarakan perasaannya kepada Aisyah sebelum idul fitri tiba. Setelah itu, dia akan mengatakan pada ibunya jika dia sudah memiliki calon istri.

Sore itu, dia menjemput Ninda seperti biasa. Kebetulan, Ninda sedang ada pelajaran dengan ustaz Yasin. Rama memberanikan diri menemui Aisyah, dia ingin berbicara berdua.

“Maaf, Ais. Bolehkah aku berbicara sebentar?”

“Iya, silakan, Mas.”

Rama masih mencoba merangkai kata yang akan dia katakan kepad Aisyah. Dengan sedikit gemetar dan hati yang berdegup kencang, Rama memberanikan diri.

“Ais, sebenarnya …,” Rama menjeda kalimatnya.

“Iya, kenapa?” tanya Aisyah sedikit heran.

“Aku … aku menyukaimu, Ais.” Lega Rama mengutarakannya. Dia melihat ekspresi wajah Aisyah berubah dan langsung meninggalkannya. Rama mengejar dan meraih tangan gadis itu.

“Ais, aku sungguh-sungguh. Aku mencintaimu, Ais.”

Aisyah melepaskan tangannya dari Rama. “Maaf, saya sudah dijodohkan! Saya akan menikah dengan pria pilihan saya itu!” jawabnya dengan ketus. Dia berjalan menuju kantor panti. Rama terus mengikutinya.

“Ais, maafkan aku. Aku sungguh-sungguh mencintaimu. Tidak mengapa jika memang kamu sudah dijodohkan, asalkan aku sudah mengungkapkan perasaanku padamu.” Ungkapan kejujuran Rama telah meluluhkan hati Aisyah.

“Saya sudah memiliki pilihan hati, Mas. Saya ingin Bunda dan Ayah saya bahagia. Ini sebagai bentuk bakti saya kepada mereka.”Gadis itu menutup pintu kantor panti. Dia menangis. Dalam hati dia juga mencintai Rama. Tetapi demi kebahagiaan Bunda, Aisyah bersedia untuk dijodohkan, meskipun dia belum mengenal dan bertemu dengan pria itu.

“Aku hanya ingin kamu tahu, Ais. Aku tidak bisa membohongi perasaanku.” Rama berjalan dengan gontai meninggalkan depan kantor panti yang dikunci oleh Aisyah.

“Maafkan aku, Mas Rama. Aku tahu kamu sakit hati, tetapi aku lebih memilih berbakti pada Bunda dan Ayah.” Aisyah terisak. Hatinya pun terasa sakit. Dulu, Wildan meninggalkannya karena dijodohkan dengan gadis lain. Sekarang, dialah yang akan dijodohkan dengan pria yang belum dikenalnya.

Aisyah hanya pasrah menerima nasibnya. Calon suaminya akan datang saat hari raya. Dia sudah bertekad dalam hati akan membuat Bunda bahagia. Bunda pernah bercerita kepadanya jika pria yang akan menikahinya itu sudah cukup umur dan mapan. Dia juga laki-laki yang baik.

Seandainya saja aku belum dijodohkan dengan orang lain, aku pasti akan menerima cintamu, Mas Rama. Aku melihat ada ketulusan dan kejujuran di matamu. Aku merasakan semua itu. Apalah dayaku, aku sudah memilih pria yang akan dijodohkan denganku. Semua itu kulakukan demi Bunda dan Ayah.

Aisyah berbicara dalam hati.

Andai dulu kita berjumpa lebih awal. Tentu aku akan lebih berbahagia, Aisyah. Sayangnya, aku terlambat. Andai waktu bisa diputar kembali.

Rama pun bermonolog dalam hati di sudut ruangannya yang terasa sempit. Seperti jiwanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!