NovelToon NovelToon

Ramadan In Love

Bab 1 Putus

“Aku akan menikahimu jika kamu putuskan Rama segera. Bagiku, dia hanyalah benalu yang harus segera disingkirkan!” kata Robby dengan wajah penuh kebencian.

“Tenang saja, Sayang. Aku akan segera membuatnya menderita. Kamu jangan khawatir. Dia pasti akan menyesal kelak.” Seringai licik pun terpampang di sudut bibir wanita cantik itu. Sudah lama dia menjalin hubungan dengan dua pria sekaligus. Begitu lihai dan pandainya Karina, wanita itu bermain sandiwara.

Karina menjalin hubungan dengan Rama, seorang manajer eksekutif di perusahaan ekspor-impor multinasional, sedangkan Robby adalah manajer keuangan yang juga menjadi bawahan Rama.

“Dialah orang yang sudah membuatku dipecat dari perusahaan itu. Aku  kehilangan karir dan pekerjaanku.”

Kedua mata Robby memancarkan amarah besar.

Karina menenangkan Robby. Dipeluknya pria itu agar kemarahannya sedikit terurai. “Tenang, Robby-ku sayang. Aku akan membuat Rama menderita.”

*

“Kita putus, Ram!” tegas Karina. Tanpa pernah Rama duga sebelumnya. Sesuatu yang membuat seisi dunianya seakan-akan runtuh.

“Apa?” Rama tak percaya dengan ucapan yang baru saja didengarnya dari mulut Karina. Ucapan itu terlontar begitu saja, tanpa ada penghalang atau sekat yang menghalangi.

“Kita putus!” kata Karin tegas sekali lagi sambil meletakkan cincim pertunangannya di meja, di kafe, sore itu. Kafe tempat biasa mereka menghabiskan hari-hari berdua. Rama terkejut dengan keputusan sepihak Karina.

“ Putus?”  Sekali lagi, Rama tak percaya dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Dia betul-betul tidak mengerti jalan pikiran Karina yang sudah bersamanya kurang lebih empat tahun ini. Begitu mudahnya dia berkata; putus!

“Iya, kenapa?  Kamu nggak terima?” kata Karina sedikit mengejek.

“Apa aku nggak salah dengar, Rin?”  Ekspresi muka Rama menegang. Kepalanya mendadak pusing.

“Nggak, Ram! Kamu nggak salah dengar. Itu benar adanya!” lanjut Karina mantap. 

“Rin, kita sudah mau menikah, kita sudah berjuang bersama selama ini, kita sudah menghadapi masa-masa sulit bersama. Kenapa tiba-tiba kamu begini, Rin? Apa salahku?” tegas Rama pada gadis di depannya itu. Dia sangat mencintai Karina dan tidak ingin kehilangannya.

Dengan santainya, Karina menjawab, “Terus kenapa? Kamu merasa rugi dengan pengorbananmu selama ini? Merasa rugi dengan apa-apa yang sudah kamu berikan padaku. Begitu? Hmm …” Karina merasa jengah dengan Rama. 

“Bukan, Rin. Bukan begitu. Aku tidak mempermasalahkan semua itu. Aku tidak tahu mengapa kamu tiba-tiba memutuskan tali pertunangan ini. Ada apa? Mengapa kamu tidak berterus terang padaku? Katakan, Rin!” cecar Rama. Hingga membuat Karina emosi lalu berdiri dan berkata kepadanya,

“Hei, Rama! Kamu dengar, ya! Kalau aku bilang putus, ya putus. Artinya, aku tidak mau lagi berhubunganmu, juga menyangkut apapun tentang kita. Kamu paham?” Suara Karina terdengar keras, hingga beberapa pengunjung yang datang menoleh ke arah mereka. Dia meninggalkan Rama seorang diri yang kini sedang bingung.  Membiarkan Rama yang tengah berperang dengan berbagai macam persoalan yang  menggelayuti pikirannya. Rama tak tahan. Dia memukul meja itu kuat-kuat. 

Beberapa pengunjung pun menyeletuk, “ Kalau mau ngamuk, jangan sama meja, Mas.” Tatapnya melotot pada Rama. “ Jadi bikin nggak nyaman nih orang!”

Pemuda itu mengembuskan napasnya dengan kesal lalu berdiri dan meninggalkan kafe yang telah meninggalkan banyak kenangan bersama Karina dengan  langkah lunglai. Dia tak habis pikir, apa yang telah diperjuangkan, dijalani, dan dihadapi bersama Karina, semuanya sia-sia. Rama sangat terpukul, malu, bagaimana dia akan menjelaskannya pada keluarganya nanti jika tahu bahwa Karina telah memutuskan hubungan mereka.

“Uffffhhh!” Dipeganginya kepalanya yang terasa pening. Rama hanya berpikir ke satu tempat yang bisa membuatnya sedikit rilex. 

Ya,  ke sana. Ke tempat pencari kenikmatan sesaat, pelepas hiruk pikuk dunia yang melelahkan.

Rama terbuai dan melayang entah ke mana. Dia hanya ingin sejenak melepas kejenuhan dan juga kusutnya pikiran.

Dua orang wanita berpakaian seksi memdekati Rama. Gaya mereka yang menggoda membuat Rama terbuai

Sementara itu, Karina tengah berasyik masyuk dengan seseorang di lain tempat. Tempat yang membuatnya kian terbuai seakan-akan tengah berada di puncak nirwana. Binar-binar kebahagiaannya kentara. Sesekali terdengar celoteh dan tawa mereka terdengar ibarat nyanyian romansa terindah. Karina memang lihai bermain sandiwara yang kini tengah diperankannya. 

“Sekarang kita berdua hanya tinggal bersenang-senang saja, Sayang. Kamu mau kan?” katanya dengan kerlingan menggoda ke arah Karina. Tanpa banyak bicara Karina menyambutnya.

Rama masih  merasakan sakit di kepalanya akibat minuman nirwana  yang telah membawanya serasa berada di awan. Dia sadar, mengerjap, lalu memandang sekeliling.  Oh, ternyata sudah di rumah. Siapa yang membawaku? Seingatku, aku ada di sana.  Gumamnya seorang diri. Rama mengucek matanya, lalu turun dari ranjang dan melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Derit pintu terdengar. Seseorang masuk kamarnya, membawa nampan berisikan jus jeruk dan roti bakar kesukaannya. Diletakkannya nampan itu di meja kecil dekat ranjang Rama. 

Pemuda itu baru saja selesai membersihkan diri. Dia sedikit terkejut ketika melihat seseorang sudah berada di kamarnya.

“Mama,” sapa Rama. Dia mencoba tersenyum meski hatinya sakit dan terluka. Wajahnya terlihat segar. Tidak menunjukkan jika semalam dia telah kehilangan kesadarannya.

“Iya, Ram. Ada yang ingin Mama bicarakan.”

Rama sudah punya firasat jika mamanya akan bertanya tentang hubungannya dengan Karina.

“Silakan, Ma. Mama boleh tanya Rama apa saja.”

Wajah wanita di depannya itu muram, dia berkata kepada Rama, “Apa benar Karina sudah memutuskan pertunangan kalian?” Mamanya bertanya.

Rama menunduk, dia menjawab pelan, “Iya, Ma. Rama pun tak menyangka jika rencana-rencana indah Rama telah dirusak oleh Karina, Ma.” Tetes-tetes air masih saja terlihat dari rambutnya yang masih basah. Rama mengambil handuk, lalu mengeringkan  rambutnya pelan. 

“Mama pun sama, Ram. Selama ini, Mama lihat hubungan kalian baik-baik saja. Bahkan ketika kamu mengajak menikah, Karina pun setuju waktu itu. Dia pun menyetujui jika kalian bertunangan terlebih dahulu.” Wajah mamanya  terlihat  sedih. Rama bisa mengerti bagaimana perasaan mamanya itu, bagaimana rasa sayangnya yang besar pada Karina seperti pada putrinya sendiri. Rama tidak tega jika melihat mamanya menangis.

Semenjak berpisah dari papanya ketika Rama dan adiknya masih kecil-kecil. Mama Rama berjuang seorang diri membesarkan ketiga anaknya. Beruntung sekali Rama memiliki ibu yang tangguh, yang memiliki ketrampilan dan bakat, sehingga bisa membesarkan anak-anaknya dengan membuka usaha catering dan menjahit. Dari ketekunan, kerja keras, kesabaran, serta imannya yang kuat, Farida, mama Arman akhirnya berhasil menjemput pintu kesuksesan.

Rama menggenggam tangan mamanya yang mulai tampak mengeriput. Digenggamnya tangan wanita itu dengan penuh kasih sayang. Rama berkata seraya menatap dua telaga bening yang kini airnya tumpah itu, “Ma, mungkin Rama memang belum berjodoh dengan Karina. Mama tidak usah risau. Rama yakin, kelak Rama akan menemukan wanita yang memang benar-benar ditakdirkan untuk Rama. Yang bisa menv

cintai Rama, menghormati Mama dan juga menyayangi adik-adik.

Isak tangis wanita itu terdengar, meski lirih. Rama tak tega melihatnya. Sudah seringkali Rama melihat air matanya disembunyikan dibalik ketegarannya menghadapi berbagai macam cobaan yang silih berganti. “Sudah, Ma. Sudah. Mulai sekarang Rama ingin fokus pada Mama dan adik-adik. Rama ingin membahagiakan Mama.” Diletakkannya kepalanya di pangkuan sang bunda. Air mata Rama ikut berlinang. Meski dia seorang lelali yang pantang menangis, hari itu dia tumpahkan segala rasanya yang membuncah di dada di sana. Tempat ternyamannya. Farida membelai rambut putra sulungnya yang diiringi derai air mata. Satu tetesnya jatuh tepat di kepala Rama.

Jika saja Papa tidak meninggalkan Mama karena bujuk rayu wanita. Pastilah Mama tidak akan bersusah payah seperti ini. Aku yakin, kelak Papa akan mendapatkan apa yang telah Papa tanam pada Mama. Gumam hati Rama penuh luka. Rasa sakit hatinya pada sang ayah ynaag telah membuat ibunya menderita, membuat Rama kian teguh untuk membahagiakannya.

“Ram, Mama minta tolong, janganlah kamu berbuat seperti semalam, ya?” Ada sesuatu ynaag janggall pada perkataan ibunya. Rama mendongakkan kepalanya.

“Memangnya Rama kenapa, Ma?” 

“Kamu semalam kan mabuk.”

“Mabuk?” Rama baru ingat jika dia mampir ke suatu tempat yang membuatnya lupa diri. “Lalu yang membawa Rama pulang siapa?” tanyanya.

“Pak Joko. Dia ngeliat kamu berjalan sempoyongan lau jatuh. Akhirnya Pak Joko yang membawa kamu pulang.”

Ahh… Kenapa jadi begini? Pasti Mama sakit sekali melihat kelakuanku. Maafkan Rama, Ma.

“Sudahlah, Ram. Mama tidak ingin kamu terjerumus pada hal-hal yang membuatmu kian terperosok ke lembah hitam. Jika kamu memang benar-benar ingin membahagiakan Mama, tolong taati Mama.”

Rama mengangguk. Farida meninggalkan kamar putranya, sementara Rama bersiap menuju tempat kerja dengan rasa optimis. Rama berjanji pada dirinya sendiri, ingin berubah. Tidak ingin larut dalam kesedihan hanya karena masalah cinta.

Pak, ini dokumen yang Anda minta.” Jordan meletakkan map berwarna biru di meja kerja Rama. “Silakan Bapak cek kembali.”

“Terima kasih, Yo,” jawabnya. Diraihnya dokumen itu, lalu dibukanya. Rama mengernyitkan dahi setelah mengetahui isi dari dokumen yang dibawa Jordan. Raut mukanya berubah. Dia menatap Jordan.

“Ada apa, Pak?” Jordan ingin tahu.

Ram menutup muka dengan kedua telapak tangannya. “Mereka memutuskan hubungan kerjasama dengan kita, Yo.” Begitulah biasanya Rama memanggil  Jordan, asistennya. 

“Duh! Lalu gimana, Pak, selanjutnya?” Jordan menunggu titah selanjutnya dari sang atasan.

“Nanti saya kabari lagi ya, Yo?”  Mendadak Rama menjadi lemas, tetapi dia menyembunyikanya di depan Jordan. Jordan menelisik atasannya itu, seperti ada sesuatu.

“Baik, Pak. Saya undur diri dulu.”

“Silakan, Yo,” jawab Rama dengan senyum tipis.

Sepeninggal Jordan, Rama hanya duduk terpekur di depan layar monitor komputernya. Diketuk-ketuknya pena yang berada di tangannya. Pandangannya tertuju pada grafik-grafik yang terkadang berubah-ubah. Pikirannya kosong, melayang entah ke mana. Jiwa Rama seakan-akan sedang dihimpit celah sempit yang membuatnya kian terjepit. Diraihnya gelas berisi air putih di sebelahnya, diminum hingga habis. Sedikit melonggarkan pikirannya yang kusut.

Jam istirahat menyapa. Rama keluar  dari kantornya menuju lobby. Dia memakai motor menuju salah satu kedai makanan terkenal yang jadi favoritnya. 

Bab 2 Aisyah

Sisa-sisa hujan masih meninggalkan hawa dingin yang menusuk malam itu, tetapi bagi Aisyah, dia sudah terbiasa bangun. Dingin sudah menjadi sahabat baiknya nya. Selepas menjumpai-Nya di keheningan malam, Aisyah bersiap membantu Bunda menyiapkan segala keperluan untuk dagangan mereka. Bunda, adalah panggilannya kepada wanita yang sangat dihormatinya itu, dia adalah ibu asuhnya bersama beberapa anak panti lainnya. Bagi Aisyah, Bunda sudah seperti ibu kandungnya sendiri.

Ya, Aisyah adalah gadis malang. Ibunya meninggal setelah melahirkannya, sedangkan ayahnya pergi entah ke mana beberapa hari setelah ibunya meninggal. Tidak ada yang tahu keberdaannya. Sejak kecil, dia dititipkan oleh kerabatnya ke panti itu karena kondisi perekonomian mereka yang kurang mampu. Bunda dan suaminya merawat dan mengasuhnya sejak kecil hingga kini usianya menginjak dua puluh dua tahun. Meskipun mereka memiliki anak kandung sendiri. Aisyah tumbuh menjadi gadis cantik yang solikhah dan berakhlaq baik. Dia juga panutan bagi adik-adiknya karena memiliki prestasi gemilang di sekolahnya hingga kini. Aisyah mendapatknaa bea siswa dari sekolah dasar hingga di perguruan tinggi.

“Bun, hari ini biar Ais saja yang nganterin pesanan Bu Marto, ya? Syifa kan ada tambahan pelajaran di sekolah sampai sore,” katanya pada Bunda yang masih mengelap daun pisang yang sudah agak layu.

“Iya, Nak. Justru kebetulan kalau kamu yang mau nganterin ke sana. Sekalian bilang ke Mbak Tari, jahitannya mau diambil lusa,” timpal Bunda, tersenyum.

“Baik, Bun.”

Mereka mulai mengolah beberapa jenis makanan yang akan dijualnya. Bunda wanita yang sangat mahir memasak. Kepiawaiannya memasak sudah tidak diragukan lagi. Beberapa kali, Bunda mengikuti lomba kuliner yang diadakan di beberapa tempat, pernah menjuarainya beberapa kali. Bahkan, ketika Bunda mengikuti festival kuliner tingkat nasional. Bunda menjadi salah satu pemenang terfavorit. Aisyah bangga pada Bunda. Semangat kerja keras dan pantang menyerah Bunda telah menginspirasi Aisyah untuk menjadi wanita yang maju.

Mereka bekerja dengan telaten hingga azan subuh berkumandang. Semuanya berjamaah. Selepas itu, anak-anak panti mulai dengan kegiatan rutin mereka, bersiap-siap ke sekolah. Aisyah pun memgantar pesanan-pesanan Bunda ke rumah Bu Marto, kemudian ke rumah Mbak Tari, penjahit baju.

Awan hitam kembali terlihat menggantung di ujung pagi itu. Titik-titik hujan turun membasahi bumi lagi yang masih basah. Aisyah menepikan sepedanya dan berteduh di depan toko yang masih belum dibuka. Menunggu hujan reda. Setelah itu, ia mengayuh sepedanya kembali di bawah gerimis yang masih menyapa.

Meski hujan, jalanan terlihat ramai karena orang-orang berlalu-lalang pergi ke tempat kerja mereka. Tanpa disadarinya, sebuah mobil melintas dan menyipratkan genangan air hingga mengenai baju Aisyah.

“Astaghfirullah,” gumamnya. Dia menahan kesal karena bajunya kotor. Meski begitu, tak ada gunanya dia mengumpat. Dia memilih bersabar.

Tiba di panti, Aisyah segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti baju. Dia berpapasan dengan Bi Atun yang baru saja datang dan melihatnya, lalu dia bertanya, “ Baju kamu kenapa, Ais?”

“Tadi kecipratan air, Bi,” jawabnya datar. “Ada pengendara mobil nyipratin air. Ais kan kesel, Bi. Mana ini baju baru aja dipakai,” katanya bersungut-sungut.

“Yahh … itu ujian kesabaran buat Ais.” Bi Atun menimpalinya. Dia tahu sifat dan karakter Aisyah. Bi Atun juga sangat menyayanginya.

“Iya sih, Bi. Cuma aneh aja, Ais udah ada di pinggir, masih juga dicipratin.”

“Ya sudah. Kamu mandi dulu.”

“Iya, Bi.”

Aisyah meninggalkan Bi Atun. Wanita paruh baya itu segera menuju dapur. Bi Atun sudah bekerja di panti itu sejak Bunda dan suaminya mengadopsi Aisyah dan beberapa adik-adik asuhnya. Wanita ramah dan penyabar itu juga menjadi tempat curhatan Aisyah ketika Bunda sedang tidak ada. Karena kesibukan Bunda juga yang terkadang keluar kota mengikuti beberapa kegiatan. Suami Bunda juga seorang pebisnis mebel sukses yang hidup bersahaja. Mereka banyak membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar yang tempat tinggal mereka. Selain itu, mereka juga mengelola usaha kecil yang dibantu beberapa anak panti, termasuk Aisyah.

Aisyah telah selesai membersihkan diri. Gadis itu tampak semakin cantik dengan balutan gamis dan hijab senada pastel. Aisyah menuju kantor panti untuk membersihkan ruangan itu, seperti biasa, kegiatan yang dilakukannya sebagai wujud tanggung jawab.

“Kak Ais,” panggil seseorang padanya.

Aisyah menoleh. Fina, adik asuhnya yang lain telah berdiri sambil tersenyum.

“Nih, buat Kak Ais.” Fina menyodorkan sebungkus batagor lengkap dengan isinya.

“Lho, Kakak kan nggak nitip batagor, Fin.”

“Nggak apa-apa, Kak. Hari ini Fina dapat rejeki.”

“Alhamdulillah.”

“Fina tadi nolongin orang bawain barang-barang belanjaannya.”Fina duduk di kursi kayu di sudut kantor. Badannya disandarkan pada dinding tembok yang dingin tapi kokoh.

“Masya Allah, semoga Allah membalas kebaikan Fina, menjadi anak yang solikhah,” ucap Aisyah.

“Tadi aku diajak ke rumahnya lho, Kak. Rumah besa…r sekali kayak istana.” Fina tersenyum, membayangkan.

“Iya, Fin,” jawab Aisyah datar. “Kalau Fina nolong orang, niatkan karena Allah, ya? Jangan mengharap sesuatu.” Aisyah mengingatkan.

“Enggak, Kak. Aku tadi lihat dia kasihan. Terus aku nawarin bantu aja.”

“Ya, bagus. Teruslah berbuat kebaikan.”

Fina kembali tersenyum, tiba-tiba dia teringat sesuatu. Dia berkata pada Aisyah, “ Oh, iya, Kak. Ada sesuatu lagi.” Aisyah merasakan Fina kali ini sedikit aneh. Dipandanginya gadis mania yang baru duduk di kelas VII itu.

“Ada apa lagi?”

“Emm … di rumah itu … emm …,”

“Apa?”

“Ada cowok cakep banget.”

“Oh, ya? Secakep siapa? Nabi Yusuf-kah?” Aisyah menggoda Fina.

“Ah, Kakak! Masa’ disamain dengan Nabi Yusuf. Ketemu aja belum pernah.”

Aisyah tertawa. Fina jadi manyun.

“Lagian kamu lebay banget, kayak nggak pernah lihat cowok cakep aja.”

“Iya, sih. Cuma ini beda orangnya.”

“Beda kayak apa? Emang dia laki-laki jadi-jadian?” selorohnya lagi.

“Buka…n, Kak. Bukan…! Dia cakep kayak artis Turki!”

“Nah, tu kan, mulai deh, lebaynya. Yang lokal aja gimana? Kayak siapa?”

“Emm … bentar deh.” Fina sedang berpikir. “Kayak itu lho, aktor pemeran utama Ikatan Cinta.”

“Beneran, Kak. Wajahnya kayak ada rasa-rasa timur-tengah gitu. Kalau sama Kakak, kayaknya cocok deh!”

“Eh, kamu ini! Kayaknya kayaknya. Mana tahu cocok dan tidaknya, ngaco ah kamu ini.”

“Semoga ketemu dan berjodoh,” kata Fina lagi diselingi tawa kecil.

“Ah, ada-ada aja.”

“Beneran deh, Kak. Kalo sama Kakak, cocok. Itu aku lihat dari ilmu terawangan diri.”

Aisyah tertawa, hingga giginya yang putih berbaris rapi terlihat. Fina makin ngaco. Dia hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan adiknya itu. Dia sadar, Fina sedang memasuki masa puber. Jadi wajar, jika dia sedang menghalu dan mengagumi lawan jenis.

“Sudah, sudah. Kamu istirahat dulu sana. Tadi Kakak dan Bi Atun sudah masak bobor sama sambel trasi.”

“Tempe goreng juga, kan?” Fina mengedipkan matanya.

“Iya, dong.”

“Oke, kakakku yang cantik.

Aisyah meneruskan pekerjaannya. Dia mengecek beberapa data donatur yang masuk ke rekening panti lewat whatssap bisnis yang dikelolanya.

“ Alhmdulillah, semoga para donatur diberikan keluasan rizki dan dimudahkan segala urusannya.” Doa Aisyah penuh pengharapan. Dalam hati, dia juga akan membantu Bunda dengan mencari pekerjaan agar bisa membantu adik-adiknya yang lain.

Sebenarnya Aisyah sudah pernah bekerja sebagai tenaga bantu administrasi di salah satu sekolah tempatnya dulu menimba ilmu. Tetapi karena waktu itu sakit asam lambungnya naik, Aisyah mengundurkan diri. Dia kini diminta Bunda dan Ayah untuk membantu mereka mengurus panti dan usaha-usaha lainnya.

Selain itu, Aisyah juga sedang merintis usaha kecilnya dengan membuka bimbingan belajar di samping panti. Bimbingan belajar itu terbuka secara umum, Aisyah mengajar di sore dan malam hari selepas kegiatan juga aktivitas rutinnya. Sedikit demi sedikit ada pemasukan untuk membantu Bunda, meski Bunda pernah melarangnya dan menyuruhnya untuk menyimpan uangnya sendiri. Aisyah bersikeras membantu Bunda dengan, Bunda pun tidak dapat mencegah.

Aisyah keluar dari kantor dan menguncinya. Dia mengambil motor dan bergegas pergi menuju suatu tempat. Beberapa hari lagi bulan suci ramadan akan tiba. Seperti biasa dia akan membeli kebutuhan pokok dengan stok yang cukup banyak, menghindari harga semakin naik, apalagi menjelang hari raya.

Bab 3 Balasan Setimpal

“Minta sedikit sedekahnya, anak saya belum makan sejak kemarin. Kasihanilah,”  ucap seorang wanita setengah baya mengiba sambil  menengadahkan tangannya kepada setiap orang yang dijumpainya. Dia bersama seorang anak kecil dengan baju kumal dan compang-camping 

Namun, tidak ada yang peduli. Mereka bersikap, bahkan ada juga yang menghardiknya.

Tak jauh dari tempat itu, Aisyah tengah memarkir motornya di depan toko sembako. Dia melihat wanita itu dengan iba setelah melihat seseorang mengusirnya.

“Yaa Allah, kasihan sekali ibu-ibu itu. Apa yang bisa kubantu ya?” gumamnya lirih. Aisyah mendekat lalu memanggilnya. “Ibu, mohon maaf. Ada yang bisa saya bantu?” ucap Aisyah lembut. 

“Minta sedekahnya, Nak. Sejak kemarin, kami belum makan. Anak saya menangis terus karena kelaparan.”

Aisyah mengeluarkan  tiga lembar uang berwarna merah dan menyerahkan kepada wanita itu. “Tunggu sebentar, Bu. Ibu jangan pergi dulu, ya?” pinta Aisyah. Gadis itu menuju ke  toko sembako. Dia kembali membawa satu sak  beras beserta beberapa bahan makanan lainnya. 

“Bu, mohon maaf. Saya hanya bisa membantu ala kadarnya. Semoga ini bisa membantu,” kata Aisyah kepada wanita itu. 

“Terima kasih, Nak. Semoga Allah membalas kebaikanmu.” Dia menyalami Aisyah. 

“Sama-sama, Bu.” Aisyah  masih berdiri mematung memandang  wanita itu berlalu dari hadapannya. Dia menunggu Pak Madi, sopir panti yang terbiasa mengambil sembako di sana. Tak lama, Pak Madi datang. Dia dibantu Bi Atun dan Aisyah memasukkan barang-barang itu ke mobil. 

Aksinya mendapatkan perhatian seseorang dari dalam mobil. Dia sekilas dapat melihat wajah Aisyah yang cantik dengan balutan hijab pastelnya. Senada dengan warna gamis yang dikenakan. Ada gelenyar-gelenyar aneh yang kini dirasakannya, bahkan membuat hatinya berbunga-bunga. Dia ingin mengenal Aisyah lebih jauh. 

Siapa gadis itu? Andai saja aku bisa mengenalnya. Gumamnya dalam hati. Dalam pandangannya, Aisyah memiliki aura yang tak dimiliki oleh wanita lain, lebih tepatnya wanita yang sebelumnya pernah menjadi kekasihnya kemudian memutuskannya.

Dia tak lain adalah Rama. Setelah beberapa bulan putus dari Karina, Rama lebih fokus memikirkan karirnya. Nasib perusahaan tempatnya kerja pun kini sedang berada di ujung tanduk. Tetapi Rama berusaha semaksimal mungkin mempertahankan karirnya di sana.

Dia harus berusaha membuat perusahaan itu kembali eksis, sebab banyak tenaga kerja yang menggantungkan hidup mereka di sana. Rama bekerja keras untuk itu, tanggung jawabnya pun berat.

*

Di salah satu apartemen, Karina sedang bersama seorang pria, menikmati kebersamaan yang penuh keintiman.

“Sayang, kapan dong kamu nikahin aku. Aku kan sudah memenuhi perkataanmu. Sekarang aku nagih janjimu.” Rengek Karina dengan manja.

“Sabar, dong. Nikah juga perlu modal.” Dia beralasaan. Mengacuhkan Karina yang masih bermanja di sampingnya.

“Kenapa? Aku -,” Karina menjeda kata-katanya.

“Kamu kenapa?” tanya pria itu penasaran.

“Aku positif, Sayang. Aku hamil.”

“Apa? Kamu … kamu … hamil?”

“Ya. Aku hamil. Ini anakmu, anak kita.”

“Tidak! Itu tidak mungkin! Bagaimana bisa, bukankah kita selalu memakai pengaman?”

“Apanya yang tidak mungkin?  Terakhir kali kamu tidak memakainya. Kamu lagi mabuk, Sayang. Bukankah kita saling mencintai?”

“Iya, tapi-” Pria yang sedang bersama Karina terlihat frustasi. Mengapa aku jadi bodoh begini ! Mengapa dia sampai kebobolan. Dasar wanita licik!  Rutuknya dalam hati.  Sepertinya dia sengaja memanfaatkan kelemahanku.

“Tapi apa? Bukankah kamu sudah berjanji jika kamu akan bertanggung jawab padaku?” Karina terus merengek kepada pria itu. Pria itu bukan Robby, tetapi pria lain yang berhasil diperdaya oleh Karina dengan pesonanya. Karina memang lihai merayu. Beberapa pria bahkan terjebak dalam bujuk rayunya, hanya sekadar demi materi.

Karina meraih tangan pria itu, meletakkannya di perutnya yang masih terlihat rata. “Apakah kamu tega anak ini tidak memiliki ayah jika kelak lahir?” Didekapnya pria itu, berharap dia akan mendapatkan balasan serupa. Ternyata tidak, pria itu justru mendorongnya dengan kasar, hingga tubuh Karina jatuh terduduk. Karina terkejut. Dia segera berdiri.

“Kamu bohong! Kamu hanya memperdayaiku! Sekarang, keluarlah! Aku tidak mau melihat mukamu lagi. Pergi!” teriaknya dengan keras sambil mendorong tubuh Karina. Karina tidak menyangka, jika usahanya menjerat beberapa pria kini justru berimbas kepadanya. Bagaimanapun juga dia melakukan itu agar mudah mengharapkan gelimang harta dari pria-pria itu.

“Kamu tega sekali, Hen. Kamu Tega!” Karina menangis dengan air mata palsunya. Berharap bahwa Hendra, pria itu akan iba. Tetap saja tidak.

“Pergi, atau aku panggil pihak keamanan biar mengusirmu!” Nada kemarahannya sudah sampai puncak. Didorongnya tubuh Karina keluar dari apartemennya.

Karina menahan sakit, tidak hanya di tubuhnya, tetapi juga di hatinya. Tetapi dia takkan menyerah, akan melakukan berbagai macam cara agar bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.

*

Aisyah baru saja di panti bersamaan dengan Pak Madi dan Bi Atun. Beberapa anak panti yang melihat kedatangan mereka, menyambutnya dan membantu menurunkan barang-barang yang berda di mobil. Mereka melakukannya dengan bersuka cita.

“Setelah ini mau beli apa lagi, Mbak?” tanya Pak Madi kepada Aisyah, setelah selesai membereskan sembako-sembako itu.m

Aisyah berpikir sejenak. “Sebentar Pak Madi, saya tanya  Bunda  dulu ya?” kata Aisyah.

“Silakan, Mbak.”

Aisyah mengirimkan pesan kepada Bunda  yang masih berada di luar kota. Tak lama, ia menerima pesan balasan. Aisyah tersenyum.

“Ke toko plastik, Pak  Madi. Tapi saya nggak ikut.”

“Iya, Mbak. nggak apa-apa. Biar saya sama  Bi Atun aja yang ke sana.”

“Ya, Pak. Ini barusan ada pemberitahuan di grup ada rapat wali murid di sekolahnya Rangga. Saya harus ke sekolah nih. Mendadak.”

“Iya, Mbak. Silakan.”

Aisyah meninggalkan Pak Madi dan Bi Atun menuju ke sekolah salah satu adik asuhnya, Rangga, di sekolah menengah pertama yang tidak begitu jauh. Hanya sepuluh menit perjalanan dengan motor.

Naas, motor Aisyah mengalami ban bocor. Dia segera ke bengkel untuk menambalkan bannya. Gadis itu menyodorkan uang dua puluh ribu rupiah, tetapi ditolak oleh pemilik bengkel itu.

“Nggak usah, Mbak. Wong  cuman dikit, kok.”

Aisyah berterima kasih, dia segera menuju sekolah Rangga.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!