Bab 14 Ternyata ...

Pak Amir dan Bi Marni  mengantarkan Ninda ke panti untuk memberikan zakat fitrah sesuai dengan yang dititahkan Farida. Dia ingin berbagi sedikit kebahagiaan dengan mereka sebagai wujud rasa syukur setelah pulih dari sakitnya. Tidak hanya sembako, tetapi juga Farida memberikan makanan dan baju baru untuk anak-anak di sana.Di panti, mereka disambut dengan senang oleh anak-anak yang juga ikut membantu membawakan barang-barang.

Bunda  dan Ayah sedang tidak berada di rumah. Hanya Aisyah dan Bi Atun yang ada. Aisyah melihat keluar, dia berharap Rama juga berada di sana, ikut mengantar bersama Ninda. Tetapi, yang diharapkannya tidak tampak. Rama tidak ada. Hati Aisyah diliputi kegelisahan tiada menentu. Dia tahu Rama menghindar setelah Aisyah bercerita tentang dirinya yang akan dijodohkan.

Ninda yang melihat gelagat Aisyah seperti tahu jika gadis itu sedang mencari seseorang. Ya, seseorang itu adalah kakak tertuanya sendiri, Rama. Ninda juga tidak ingin terlalu lama di panti. Setelah selesai dia bermaksud pulang, karena tidak bisa meninggalkan mamanya. Aisyah menahannya.

“Tunggu, Nin. Bagaimana kabar Mama sekarang?”

Ninda tahu jika Aisyah hanya sekadar basa basi.

“Alhamdulillah, baik Kak,” jawabnya dengan respon biasa. Tidak seperti sebelum-sebelumnya.

“Alhamdulillah kalau begitu. Sampaikan salam untuk Mama, ya?”

“Pasti, Kak. Nanti aku sampaikan.” Ninda memgikuti langkah Pak Amir dan Bi Marni menuju mobil

 Sepeninggal mereka, hati Aisyah masih dirundung kegelisahan.

Ninda baru saja datang ketika Rama menyapanya.

“Dari mana kamu?”

“Panti.”

“Ngapain?”

“Nganterin zakat buat anak-anak di sana.”

“Oh.”

Akhir-akhir ini Ninda dan Rama sedang irit bicara. Bukan apa-apa, semenjak Rama dan Ninda tahu jika Aisyah akan segera dijodohkan, mereka kini mengurangi banyak becanda. Ninda lebih banyak membantu Bi Marni dan beberapa orang yang bekerja di katering Farida. Sementara Rama memiliki kesibukan baru, menulis. 

Dia mencoba menyalurkan hobinya yang telah lama dilupakan. Pekerjaan di kantor dan banyaknya permasalahan yang dihadapinya, membuat Rama sedikit melupakan hobinya itu. Iseng-iseng saja dia menulis, sebagai ungkapan kata hati.

“Ram … Rama …,” Farida memanggil putra tertuanya yang masih berkutat di depan layar laptop. 

“Iya, Ma,” jawab Rama dan segera bergegas mendatangi Farida. “Ada apa, Ma?”

“Jangan lupa, besok lebaran kita akan bersilaturahim dengan keluarga wanita yang akan Mama kenalkan sama kamu. Mama yakin kamu pasti akan suka. Dia orangnya cantik, lembut, dan juga berpendidikan.”

Rama sebenarnya jengah mendengar semua itu. Yang dia pikirkan hanyalah Aisyah, bukan wanita lain. 

“Iya, Ma,” timpalnya pelan. “Insya Allah.”

“Mama hanya ingin kamu itu bahagia. Lihat saja, teman-teman SMAmu dulu sudah pada punya anak, bahkan ada yang tiga. Kamu kapan?”

“Nanti, Ma. Jika memang Rama sudah dipertemukan dengan jodoh Rama, entah kapan.”

“Makanya itu, Mama pengen jodohin kamu sama anak teman Mama itu. Siapa tahu, kan?”

“Iya,” jawab  Rama lirih,  masih duduk di sisi ranjang Farida. Memberikan obat serta vitamin yang dibutuhkannya. Meski dalam hati berat, dia tidak berharap lebih.

Farida kembali beristirahat. Rama menemaninya hingga ibunya kembali terlelap. Ditatapnya wajah wanita yang telah melahirkannya itu dengan penuh keprihatinan. Dalam hati, dia berjanji pada dirinya sendiri akan membuat wanita yang sangat dicintainya itu bahagia di usia senjanya.

*

Gema takbir berkumandang menyentuh sisi-sisi hati setiap insan yang mendambakan dirinya kembali kepada Sang Pemilik Kehidupan. Jiwa-jiwa lemah dan kosong kembali terisi dengan cinta dan kerinduan. Kerinduan akan jiwa fitrah mereka yang terkadang ternodai. Seperti juga Rama. Beberapa waktu lalu, kilau mewah dunia menyilaukannya. Dia terlena dengan keindahan semu sesaat. Keindahan yang membawanya hampir terpuruk dalam jurang kehancuran hingga akhirnya dia menemukan setetes oase kesejukan.

Farida, Dio, dan Ninda, sudah duduk di ruang tamu menunggu Rama yang masih mempersiapkan diri. Mereka akan melaksanakan sholat  id bersama. 

Rama keluar dengan wajah segar, membuat Farida dan Ninda terpana.

“Ganteng banget sih kakakku ini,” goda Ninda sambil mendekatinya. Dia bergelayut di lengan kakak tertuanya hingga membuat Dio tertawa melihat tingkah adiknya.

“Sudah dari dulu, nona bawel,” kata Rama yang diikuti dengan cubitan di lengannya. “ Ngapain nyubit sih”

“Biarin! Ngeledek  terus sih!” 

“Cakepan mana sama aku, Nin?” Dio tidak mau ketinggalan.

“Cakepan Mas Dio, dong. Mas Dio kan baik hati, tidak sombong, dan suka bersih-bersih,” jawab Ninda diiringi tawa dari semua. 

“Lepasin tanganku!” kata Rama pada adik terkecilnya itu. 

Namun Ninda tidak melepaskan, justru kian kuat bermanja di lengan kakaknya.

“Ayo berangkat! Tuh lihat, orang-orang sudah banyak yang menuju masjid!” ajak Farida kepada anak-anaknya.

Sholat id berjalan dengan tertib dan penuh kekhusyukan. Farida merasakan kebahagiaan luar biasa tahun ini. Banyak sekali kebahagiaan yang didapatkannya, apalagi setelah beberapa tahun diaa berjuang seorang diri membesarkan anak-anaknya hingga mereka dewasa. 

Begitu pula dengan Rama. Tahun ini adalah tahun terbaik baginya. Mungkin tidak secara keseluruhan, melainkan hanya sebagian saja. Setidaknya itu membuat sisi hati Rama terisi dengan cahaya hidayah-Nya yang telah lama menghilang.

Seusai bersalaman dan bermaafan, mereka makan bersama. 

“Kita ke Pak Amir dan Bi Marni dulu, yuk! Mereka juga anggota keluarga kita,” ajak Farida kepada anak-anaknya setelah selesai makan.

Suasana haru kembali terasa di hati Farida. Dia bersyukur memiliki orang-orang yang sudah dianggapnya keluarga sendiri. Seperti keluarga Pak Amir dan Bi Marni. Merekalah yang selama ini mendampingi Farida dalam suka dan duka.

“Setelah ini kita ke panti tempat Ninda belajar, ya?” sambung Farida lagi ketika mereka meninggalkan rumah Bi Marni.

“Iya, Ma,” jawab Rama singkat. Dia mulai mengemudikan mobilnya menuju panti tempat Aisyah berada. Ninda melihat ada ketegangan  di wajah kakaknya, dia tahu alasan semua itu. Hanya saja Farida tidak merasakannya.

Sesampainya di panti, mereka di sambut ramah oleh Ayah dan Bunda. Bunda begitu senang ketika melihat Farida dan keluarganya datang. Rama baru tahu jika Bunda telah mengenal ibunya sejak lama. Dia canggung jika ketemu Aisyah.

“Alhamdulilah ya, kita akhirnya bisa bertemu. Mana anak-anakmu?” tanya Farida.

“Ada di belakang. Lagi nungguin kakaknya. Maklum, mereka bersekolah di kota yang berbeda, jadi jarang bertemu.”

“Iya, saling melepas kangen.”

Rama bercakap-cakap dengan Ayah. Mereka membicarakan banyak hal, dari urusan pekerjaan hingga hal-hal lainnya. Dia memindai ruangan itu, berharap seseorang muncul di sana.

Bunda berbisik kepada Farida, “Mbak, itu anaknya Mbak yang mau dijodohin sama Aisyah?”

Farida mengangguk.

“Ganteng ya?”

“Belum tentu juga Aisyah mau.”

“Iya, aku juga punya pemikiran yang sama. Tapi nggak ada ada salahnya kita kenalkan saat ini juga.”

“Tunggu bentar, Mbak. Aku panggil dia ke mari.”

Bunda masuk dan keluar bersama seorang gadis dengan muka tertunduk. “ Ini yang mau saya jodohkan sama Nak Rama.”

“Aisyah…!” Rama spontan berteriak tak percaya.

“Mas Rama!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!