"Halo, Emir," sapa Gia begitu panggilan tersambung.
"Dengar Gia, jangan mengirim pesan atau menghubungiku lagi. Begitu juga kalau di perusahaan. Jangan menyapaku seandainya kita tidak sengaja bertemu. Aku tidak ingin melanjutkan hubungan kita. Aku harap kamu mengerti!"
Jleb!!! Kata-kata Emir seperti pisau yang menikam tepat di jantung Gia. Rasanya sakitnya melebihi rasa sakit karena koreng yang ada di wajahnya. "Apa karena wajahku?" tanya Gia dengan suara bergetar. Tidak ada hal lain yang muncul dalam benaknya selain ini.
"Syukurlah kalau kamu sadar. Jadi aku tidak perlu menjelaskannya."
"Tapi ini bisa disembuhkan. Wajahku bisa kembali seperti semula. Aku mohon jangan tinggalkan aku karena masalah ini. Beri aku waktu untuk menyembuhkannya." Air mata Gia mulai menetes. Selain Erika, hanya Emir harapannya. Keluarganya tidak ada yang peduli dengan kondisinya. Ibu tirinya hanya peduli dengan uang yang dia berikan. Sementara adik tiri yang sangat disayanginya juga terkesan acuh, tidak mau tahu padahal selama ini Gia lah yang memenuhi semua kebutuhannya.
"Jujur aku malu. Aku memacari perempuan yang cantik dan seksi, yang bisa aku pamerkan dan aku banggakan di depan teman-teman dan relasiku. Bukan perempuan yang buruk rupa dan membuat orang ingin muntah jika melihatnya!" balas Emir tanpa sedikitpun memikirkan perasaan Gia.
"Aku mohon Emir, jangan tinggalkan aku. Saat ini aku sangat membutuhkanmu. Aku sangat mencintaimu."
Tidak ada jawaban. Emir sudah memutuskan teleponnya sepihak.
...* * *...
"Silahkan Pak Emir, liftnya sudah terbuka," ucap Gia kepada Emir yang terus memandanginya. Gia sadar sejak dulu Emir mengagumi kecantikannya, pasti sekarang pun demikian.
Emir tergagap. Dia bergegas masuk ke dalam lift tetapi tidak tidak segera memencet tombol. "Kamu tidak ikut masuk?" tanyanya penuh harap. Setidaknya nanti dia bisa berbasa-basi dengan Gia di dalam lift.
"Tidak terima kasih. Saya ingat, hampir semua orang orang di perusahaan ini sangat tidak suka berada di dalam satu lift bersama saya."
"Oh ... " balas Emir tidak tahu harus berkata apa lalu dia memencet tombol di dalam lift.
"Pak Emir ... " panggil Gia tepat sebelum pintu lift tertutup, membuat Emir berusaha menahan pintu itu dengan tangannya. Dia pikir Gia akan naik lift bersamanya.
"Lain kali tidak perlu menyapa saya, nanti Pak Emir malu. Saya akan ingat terus kata-kata itu," lanjut Gia menohok. "Permisi, saya akan naik lewat tangga darurat saja," ucap Gia lalu memutar tubuhnya meninggalkan Emir yang terpaku di dalam lift tanpa bisa berkata-kata.
Satu persatu Gia menaiki anak tangga menunjukkan lantai tiga. Dadanya mulai kembang kempis, bukan karena kelelahan menaiki anak tangga itu. Tetapi karena teringat ketika Emir memutuskannya malam itu. Sesak sekali rasanya.
Memang dulu dia sangat mencintai Emir bahkan sampai memohon agar laki-laki itu tidak meninggalkannya. Bukankah kah itu sesuatu yang wajar mengingat dia sedang sangat terpuruk dan membutuhkan dukungan orang yang dicintainya. Jika Emir memang mencintainya tentu dia mau menerimanya bagaimanapun keadaannya. Gia terlalu naif mengira cinta yang seperti itu benar-benar ada.
Sementara itu di dalam lift, Emir terus terbayang-bayang wajah Gia. Sedikit sesal muncul di hatinya. Sebenarnya Emir masih menyayangi Gia. Karena pengaruh Erika lah Emir meninggalkannya. Tidak pantas seorang direktur berkencan dengan perempuan yang wajahnya rusak. Akan sangat memalukan jika Emir mengajaknya ke acara-acara pesta atau acara penting lainnya, bisa jadi pergunjingan nantinya, begitu kata Erika.
Selain itu Erika juga mengatakan jika Gia juga merayu laki-laki lain, Pak Yonas buktinya. Gia dikabarkan mendapatkan promosi kenaikan jabatan karena merayu Yonas, padahal sebelum jabatan itu sempat dipegangnya dia sudah dipecat. Hal itu membuat Emir yakin untuk memutuskan Gia dan tak lama kemudian mengencani Erika.
"Dari dulu memang kamu tidak ada duanya," gumam Emir sambil tersenyum-senyum membayangkan wajah Gia.
...* * *...
Rivani terlihat kesal. Semalam dia bertemu dengan Erika. Perempuan itu berjanji akan mentransfer sejumlah uang kepadanya seperti yang dulu dia janjikan. Tetapi sampai saat ini uang itu belum juga masuk ke rekeningnya. "Apa dia menipuku lagi?!" gumamnya kesal. Sudah berkali-kali dia mengecek saldo rekeningnya tetapi sampai sekarang belum bertambah juga.
Berkali-kali pula Rivani menghubungi nomor baru Erika, tetapi tidak sekalipun dijawab. "Huh!!! Sialan!!!" Rivani hampir membanting handphonenya saking kesalnya.
"ibu bilang juga apa?! Orang yang mengajak melakukan kejahatan itu pasti orang licik dan tidak bisa dipercaya! Dan kamu lebih percaya Erika dibandingkan Gia?" Sumi tiba-tiba muncul dan kembali menyalahkan Rivani.
"Berhentilah menyalahkan aku Bu!" Rivani sudah cukup kesal dengan Erika, masih harus menghadapi omelan ibunya.
"Kemarin aku bertemu kakak. Wajahnya sudah sembuh dan dia juga sudah kemba bekerja di perusahaan itu!" Karena ibunya menyebut nama Gia, Rivani jadi teringat kakaknya itu.
"Benarkah? Mana mungkin wajah yang sudah rusak parah itu sembuh?!"
"Benar Bu, aku tidak bohong!"
"Kalau begitu kamu bujuk dia agar mau kembali ke rumah ini lagi. Dia sudah bekerja kan? Itu artinya dia sudah menghasilkan uang. Aaahhh ... Akhirnya ibu bisa bernafas dengan lega," ujar Sumi bahagia. Dia berpikir jika Gia akan suka rela kembali ke rumah ini setelah dulu mereka mengusirnya.
"Mana mungkin dia mau kembali. Sepertinya dia masih marah kepadaku! Kemarin waktu aku menyapanya dia malah mendorongku sampai aku jatuh dan jadi tontonan orang!"
"Wajar saja kalau dia masih marah kepadamu. Perbuatanmu itu tidak bisa dimaafkan. Kalau ibu jadi dia juga ibu tidak hanya mendorongmu tetapi menghajarmu!"
"Kok ibu tega bicara seperti itu?!" ujar Rivani tidak terima. Inilah yang dia takutkan jika Gia kembali tinggal bersama mereka, ibunya akan lebih membela Gia. Padahal Sumi membela Gia bukan karena dia lebih sayang Gia daripada dirinya, tetapi karena Sumi menyayangi uang Gia.
"Dia punya banyak kenangan di rumah ini. Ibu yakin dia mau kembali kemari. Daripada dia mengeluarkan uang untuk membayar sewa rumah, lebih baik dia tinggal di sini dan uangnya bisa untuk ibu!" Tidak ada hal lain selain uang di otak Sumi. "Kamu bujuk saja dia. Gia itu paling tidak bisa menolak permintaanmu. Ibu yakin itu."
"Aku tidak yakin," jawab Rivani lirih. Dia melihat sendiri kemarahan di mata Gia yang belum pernah dia lihat seumur hidupnya. Begitu juga sikap Gia yang berubah menjadi dingin dan kasar, sangat jauh berbeda dengan sosok Gia yang dulu dikenalnya.
"Apa susahnya membujuk Gia? Kalau kamu tidak sanggup nanti biar ibu saja. Dia sangat patuh dan nurut sama ibu!" ucap Sumi percaya diri. Di dalam pikirannya Gia masih sama seperti dulu, anak penakut dan patuh yang sekali bentak saja bisa membuat wajahnya pucat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Shinta Dewiana
his...enggak tau malu..ibu m anak
2024-07-22
0
kriwil
amit amit jabang bayik jangan sampai punya sodara tiri atau ibu tiri menjijikan seperti sumi
2024-06-10
0
Rihan Jamaien
haah🤦🏻♀️🤦🏻♀️🤦🏻♀️🤦🏻♀️
2024-06-10
0