Gia terkejut tiba-tiba ada yang memeluknya. Begitu sadar Rivani yang memeluknya, Gia segera melepaskan pelukan itu lalu mendorong tubuh Rivani menjauh darinya.
"Kakak ... Sudah lama kita tidak bertemu. Aku sangat merindukan kakak," ucap Rivani manja. Gia menatap Rivani dengan tatapan tidak percaya.
"Apa kamu tidak ingin menanyakan kabarku dulu Van? Setidaknya kamu bisa bertanya bagaimana wajahku bisa kembali seperti dulu?!" ucap Gia dingin.
Dari semua rasa sakit yang dia derita, Rivani lah yang paling dalam menyakitinya. Sejak kecil dia sudah mengalah dan mati-matian berkorban untuknya. Dia mencukupi semua keperluannya hingga mengorbankan kepentingannya sendiri. Dia rela menghabiskan gajinya bahkan mencari pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan kuliah Rivani. Tetapi lihat balasannya.
"Maafkan aku Kak ... " Rivani merentangkan tangannya maju ingin memeluk Gia lagi. Tetapi Gia kembali mendorong tubuh Rivani, kali ini lebih keras dari sebelumnya hingga adik tiri yang tidak tahu diri itu terjatuh. Kejadian ini tak ayal menarik perhatian orang di sekitar tempat itu yang hampir semuanya pegawai Be Beauty.
Gia menatap perempuan yang kini terduduk di lantai itu tajam dan penuh kebencian. Dulu dia rela mengorbankan apapun untuk Rivani. Tetapi sekarang, untuk mengakui perempuan itu sebagai adiknya saja Gia tidak sudi.
"Kak ... Apa kakak masih marah padaku? Sudah satu tahun kita tidak bertemu, apa kakak masih belum bisa melupakannya? Toh wajah kakak sudah sembuh juga," ucap Rivani dengan entengnya seolah yang dia lakukan dulu hanyalah kesalahan sepele yang bisa dengan mudah dilupakan, padahal Gia sampai hampir ingin mengakhiri hidup karenanya.
"Lupa katamu?! Semudah itu?! Aku tidak akan melupakannya seumur hidupku Van! Bahkan sampai mati pun aku akan mengingatnya!"
Gia yang terbawa emosi tidak peduli jika dirinya sedang menjadi pusat perhatian orang-orang yang akan masuk ke kantor. Yang dia inginkan hanyalah melampiaskan kemarahannya kepada seseorang yang sangat tidak tahu diri ini. Seorang parasit yang telah membuatnya banting tulang untuk sesuatu yang sia-sia.
Gia mungkin bisa menahan amarahnya kepada Erika dan Emir tetapi tidak kepada Rivani. Erika tidak berhutang apapun kepadanya, berbeda dengan Rivani berhutang banyak hal kepada Gia. Pengorbanannya yang tidak sedikit untuk Rivani membuatnya menggoreskan rasa sakit yang lebih dalam daripada yang lainnya.
Mendorong Rivani sampai terjatuh bukan apa-apa jika dibandingkan dengan perbuatan yang telah Vani lakukan kepadanya. Bahkan menampar atau memukulinya sampai sekarat pun rasanya tidak akan sepadan, karena luka yang ditimbulkan oleh ulah Erika dan Rivani bukan hanya luka fisik saja. Ada luka batin yang membuat Gia kehilangan rasa percaya dirinya dan hampir tidak berani bertemu orang. Sulit sekali bagi Gia untuk kembali bergaul dengan orang lain karena trauma akan perlakuan orang-orang kepadanya dulu.
Orang-orang yang melihat ini mulai berbisik-bisik membicarakan sikap Gia yang sangat kasar kepada adiknya tanpa mengetahui latar belakang dibaliknya.
"Kak ... " panggil Rivani lirih sambil memasang wajah polosnya. Rivani hafal betul cara ini sangat efektif untuk meredakan amarah Gia. Dia juga tahu jika Gia tidak bisa berlama-lama marah kepadanya karena dia adik kesayangannya.
"Jangan panggil aku kakak! Aku bukan kakakmu lagi!" ucap Gia kemudian melangkah pergi.
Rivani terpaku. Seumur-umur dia belum pernah melihat Gia semarah ini.
...* * *...
Gia masuk ke ruangan pemasaran. Semua mata langsung tertuju kepadanya. Sepertinya ini ada hubungannya dengan kejadian di depan pintu masuk tadi.
"Gia, sikapmu tadi tidak keterlaluan? Entah ada masalah apa diantara kalian tetapi aku tadi sempat mendengar jika dia meminta maaf. Bukankah sebaiknya kamu maafkan? Kalian saudara kan?!" sambut Diana. Setelah tadi dihadapkan dengan Rivani sekarang Gia harus menghadapi Diana. Jika saja Rivani tahu arti saudara, tentu dia tidak akan melakukan hal menyakitkan itu kepadanya.
"Memang adikmu tidak secantik dirimu tetapi apa harus mendorongnya seperti itu? Apalagi sampai tidak mau mengakuinya sebagai adik?!" imbuh yang lain. "Jangan mentang-mentang sekarang kamu sudah cantik Gia. Bisa saja ada yang kecewa dengan sikapmu lalu mengirimkan santet lagi kepadamu!" Telinga Gia mulai panas mendengar orang-orang ini berbicara. Tetapi menjelaskan kepada mereka juga tidak ada gunanya. Bagaimana orang-orang ini akan percaya Rivani dan Erika bekerja sama untuk menghancurkan wajahnya jika dia tidak punya buktinya?
Sementara itu di belakang laptopnya Erika mengulum senyumnya mendengar orang-orang terus memojokkan Gia. Tidak ada keinginan untuk membelanya padahal dia tahu pasti Gia tidak bersalah.
Malas mendengar orang-orang yang semakin bicara ngawur tentang dirinya, Gia pergi ke bagian keuangan. Dia harus memberikan laporan keuangan atas program promosi yang sedang dia kerjakan.
Gia sedang menunggu lift ketika seorang laki-laki datang dan berdiri di depan lift yang sama dengannya. Gia acuh saja. Tidak ada keinginan sedikitpun untuk melihat siapa laki-laki yang kini berdiri di sampingnya.
"Hai Gia," sapa laki-laki itu. Tanpa melihat wajahnya pun sebenarnya Gia tahu siapa dia. Gia sangat hafal suaranya. Emir. Mereka memang pernah beberapa kali berpapasan, tetapi untuk berhadapan secara langsung, face to face berdua, baru sekali ini.
Gia menoleh, memperlihatkan wajah mulus tanpa koreng yang dulu sempat menjadi sumber penderitaannya. "Selamat siang Pak Emir," balas Gia formal lalu kembali menghadap ke arah lift.
Emir sedikit tertegun melihat sikap Gia kepadanya. Tadinya dia berpikir jika mungkin saja masih ada sedikit rasa cinta yang tersisa di hati Gia untuknya, mengingat waktu itu Gia tidak mau mengakhiri hubungan mereka.
*Flashback*
Gia merasa sangat gelisah. Berkali-kali dia melihat ke layar handphonenya. Beberapa waktu yang lalu dia mengirim pesan kepada kekasihnya tetapi sampai sekarang belum ada balasan, bahkan belum juga dibaca.
Akhir-akhir ini Emir sangat sulit dia hubungi, sementara di kantor dia juga jarang bisa ditemui. Biasanya laki-laki itu selalu menyempatkan waktunya untuk makan siang bersama di kantin perusahaan. Tetapi akhir-akhir ini pun Emir sering melewatkannya, bahkan laki-laki itu seperti sengaja mengambil jam makan siang yang berbeda dengan Gia.
Pernah satu kali mereka makan di jam yang sama dan Emir mengacuhkannya, mencari meja yang berbeda dan sama sekali tidak menyapanya.
Gia berdiri lalu menghadap ke cermin. "Apa karena ini?" ucapnya memandangi wajahnya yang hampir seluruhnya tertutup koreng. Gia sadar diri. Memang wajahnya sekarang sangat menjijikkan, tetapi Emir kekasihnya. Seharusnya dia mau menerima keadaan Gia bahkan memberinya dukungan karena saat ini Gia sangat membutuhkannya. Tetapi Emir sepertinya menghindar.
Tiba-tiba handphone Gia berdering. Gia segera meraihnya dan melihat siapa yang menelepon. "Emir?!" serunya bahagia.
"Halo, Emir," sapa Gia begitu panggilan tersambung.
"Dengar Gia, jangan mengirim pesan atau menghubungiku lagi. Begitu juga kalau di perusahaan. Jangan menyapaku seandainya kita tidak sengaja bertemu. Aku tidak ingin melanjutkan hubungan kita. Aku harap kamu mengerti!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
kriwil
balas dendam itu di lawan bukan menghindar
2024-06-10
0
Rihan Jamaien
sekarang udah cantik lagi udah g usah d anggep tuh si Emir yari sang setia Gia👌👌
2024-06-10
0
Morna Simanungkalit
laki - laki macam ini tak perlu diopeni ya Gia banyak nanti laki - laki yang menyayangimu.
2024-06-09
1