"Sebenarnya apa masalahmu Erika? Kamu selalu mencari-cari kesalahanku, menjelek-jelekkan aku, menghasut semua orang agar membenciku dan kamu juga menuduhku macam-macam! Se-insecure itukah kamu akan kehadiranku?!"
Gia menatap Erika dengan ekspresi kesal yang tidak bisa dia sembunyikan. Apa setelah ini kamu akan menghancurkan wajahku lagi?!! Pertanyaan ini hanya bisa Gia ucapkan dalam hatinya. Dia tidak mungkin mengungkapkan ini sekarang, sebelum dia punya buktinya. Salah-salah teman-teman munafik nya ini hanya menganggap dia menyebar fitnah karena sirik dengan Erika. Gia tahu pasti seperti apa watak mereka.
Erika terdiam untuk beberapa saat. Semua yang dikatakan Gia benar. "Aku hanya bertanya Gia, kenapa kamu sensitif begitu?" ucapnya kemudian.
Gia berdiri lalu pergi. Dia ingin ke toilet untuk menenangkan diri. Kalau dia tetap berada di ruangan itu dia tidak yakin bisa menahan diri lalu kelepasan bicara.
...* * *...
Akhirnya jam kerja selesai. Gia membereskan mejanya lalu secepatnya pergi meninggalkan ruang pemasaran yang seharian tadi auranya terasa sangat panas.
Hari ini benar-benar menguras tenaga dan emosi Gia. Pagi hari dimulai dengan Emir yang menyuruhnya untuk merayu Arnold. Berikutnya Erika yang menuduhnya ingin merayu Emir, seolah Gia begitu murahan sehingga semua laki-laki ingin dia rayu. Lalu Erika yang tersinggung dengan jawaban Gia membuatnya seharian penuh mencari-cari kesalahan Gia agar bisa memarahi dan mempermalukannya. Semua itu benar-benar membuat Gia lelah, secara psikis.
Apakah keinginannya untuk membersihkan nama baiknya harus dia lupakan karena yang terjadi justru namanya semakin buruk dari hari ke hari? Haruskah dia menyerah saja dan mengikhlaskan semua yang telah terjadi kepadanya? Oh, tidak bisa.
Gia terus melangkah menuju rumah kontrakannya yang terletak tidak jauh dari perusahaan. Dia tidak sabar untuk segera sampai di rumah dan merilekskan pikirannya. Gia merasa ada yang aneh. Lalu sesekali dia berhenti dan menoleh ke belakang karena merasa ada yang mengikutinya.
"Mungkin hanya perasaanku saja," batin Gia melanjutkan langkahnya. Tidak sampai sepuluh menit Gia sudah sampai di rumah kontrakannya. Setelah keluar dari rumah keluarga Vinson, Gia memilih tinggal di tempat ini. Sebuah rumah sederhana tetapi terasa sangat nyaman karena sekarang Gia hanya perlu memikirkan dirinya sendiri. Tidak perlu lagi bangun subuh untuk membantu ibu tirinya memasak untuk jualan, tidak juga memikirkan uang kuliah Rivani dan uang sakunya dan segala kebutuhan adiknya hingga harus mengorbankan kebutuhannya sendiri. Gia merasakan nyamannya hidup tanpa beban.
"Kenapa dulu aku repot-repot berkorban untuk mereka jika hidupku menderita karenanya?!" gumam Gia merebahkan tubuhnya di sofa. Barulah sekarang dia menyadari kalau ternyata selama ini dirinya hanya dimanfaatkan oleh adik dan ibu tirinya itu. Selama ini Gia terlalu naif, berpikir jika kedua orang itu benar-benar tulus menyayanginya layaknya keluarga. "Aku sebodoh itu!" gumamnya lagi dengan mata hampir terpejam.
Gia ingin istirahat sebentar sebelum nanti memasak makan malam untuk dirinya sendiri kemudian mandi.
Baru sejenak Gia menikmati ketenangan dalam hidupnya, dia mendengar pintu rumahnya di ketuk. Gia merasa heran karena selama tinggal di rumah ini dia tidak pernah menerima tamu, selain Pak Yonas yang pernah beberapa kali mengunjunginya.
Rasa penasaran membuat Gia bangun lalu membuka pintu. Betapa menyesal Gia setelah melihat siapa yang berdiri di hadapannya.
"Kakaakk!!! " Rivani langsung menghambur memeluk Gia begitu pintu terbuka. Belum cukup sampai di situ, Gia juga melihat Sumi juga berdiri di sana dengan senyum dibuat-buat di wajahnya.
Gia segera melepaskan tangan Rivani dari tubuhnya lalu mendorongnya agar menjauh. Gia bersikap sangat dingin tanpa sedikitpun ada keinginan untuk membalas pelukan Rivani. Padahal dulu pelukan ini selalu berhasil membuat hati Gia luluh.
"Eh .. Aku hanya sangat merindukan kakak," ucap Vani melepas pelukannya dengan kikuk.
"Apa kabar Gia? Ibu senang melihatmu sudah sembuh," sapa Sumi masih dengan senyum yang menurut Gia sangat palsu hingga membuat Gia ingin sekali mengguyurkan satu ember penuh air comberan ke wajahnya.
"Sebaiknya kalian berdua pergi dari sini. Aku tidak ingin melihat kalian lagi!" ucap Gia sambil meraih gagang pintu dan hendak menutup pintu rumahnya lagi. Seandainya dia tahu jika dua parasit ini yang datang pasti dia tidak akan sudi membukakan pintu.
"Tunggu Gia, ibu ingin bicara denganmu sebentar. Kami berdua kesini untuk meminta maaf," ujar Sumi dengan salah satu tangan menahan pintu agar tidak ditutup oleh Gia.
"Tidak perlu, aku tidak akan memaafkan! Silahkan pergi!" balas Gia masih dengan sikap dinginnya. Seharian tadi tenaganya sudah terkuras habis untuk menghadapi Erika dan Emir dan sekarang tidak ada sisa untuk menghadapi dua orang ini. Bahkan sekedar basa basi pun tidak.
Tanpa berkata apa-apa lagi Gia langsung mendorong pintu, mengabaikan tangan Sumi yang berusaha menahannya hingga tangannya hampir terjepit.
"Kakak, tolong buka pintunya. Kami hanya ingin bicara sebentar," rengek Rivani. Gia yang masih berdiri di balik pintu hanya mengabaikannya. Ingatan tentang bagaimana adik yang dia sangat sayangi itu sampai bisa menghancurkan wajahnya membuatnya merasakan kecewa yang teramat besar.
"Apa kakak tidak bisa memaafkan aku?" teriak Rivani lagi. Gia merasa tidak habis pikir dengan kedua orang ini. Mereka sudah berbuat jahat kepadanya lalu datang lagi untuk meminta maaf dengan mudahnya. Kalau mereka tahu suatu saat akan membutuhkannya lalu kenapa mereka sekejam itu kepadanya?
Lama tidak ada jawaban sehingga akhirnya Rivani dan Sumi meninggalkan tempat itu.
"Kenapa dia jadi sombong begitu? Dulu mana berani dia bersikap seperti itu kepada ibu?!" ujar Sumi setelah berjalan cukup jauh dari rumah Gia. Dari raut wajahnya kelihatan sekali kalau dia sangat kesal. Rencananya, mereka datang untuk membujuk Gia agar mau kembali tinggal bersama mereka. Tetapi belum sempat mereka mengutarakan keinginan mereka, Gia sudah lebih dulu mengusir mereka.
"Dan dia berani ngusir ibu?!" Sumi merasa terhina oleh sikap Gia. Padahal dulu Sumi juga mengusir Gia, malah dalam kondisi yang lebih buruk.
"Aku sudah bilang kalau dia berubah, tidak seperti dulu. Tapi Ibu tidak percaya!"
Setelah Erika memberitahunya soal Gia, Rivani lalu berusaha mencari informasi tentang kakak tirinya itu. Rivani bahkan rela mangkal di depan Be Beauty menunggu Gia pulang lalu mengikutinya untuk mengetahui dimana kakaknya itu tinggal.
"Kalau nggak butuh-butuh amat juga sebenernya ibu nggak sudi menemuinya lagi!" gerutu Sumi. Mereka melakukan ini karena mengetahui Gia sudah kembali bekerja dan artinya sudah menghasilkan uang. Mereka bisa memanfaatkan Gia untuk membiayai hidup mereka lagi, seperti dulu. "Ini semua karena salahmu, Van!" Sumi kembali menyalahkan Rivani. Kali ini Rivani diam, mungkin memang dia sadar sudah melakukan kesalahan.
Sebuah ide muncul di kepala Sumi. "Bagaimana kalau kita datang ke kantornya saja? Tidak mungkin kan dia mengusir kita di depan teman-teman kerjanya?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Shinta Dewiana
dasar sampah...
2024-07-22
1
Rihan Jamaien
dasar parasit
2024-06-11
0
Morna Simanungkalit
aduuuuuh ibu dan anak yang tak punya malu .Gia jangan mau dibujuk oleh orang yang mengusirmu sekarang balaskan usir setiap mereka datang jangan kasi waktumu untuk bicara.
2024-06-10
0