Gia mengemasi barang-barang di kamarnya. Meskipun belum menemukan tempat tinggal, dia tetap harus meninggalkan rumah ini karena ibunya memaksa. Gia tahu sebenarnya bukan penyakit menular yang ibu tirinya itu khawatirkan. Sumi sadar jika sekarang Gia sudah tidak ada gunanya sehingga lebih baik dia mengusirnya daripada hanya menjadi beban.
Selesai mengemasi barang-barangnya Gia keluar dari kamar dan hendak pamit kepada Rivani, adik kesayangannya yang sudah pulang dari kuliah. Dari semua hal yang Gia alami, inilah yang paling berat, harus berpisah dari Rivani. Gia menyayangi Rivani melebihi apapun di dunia ini meskipun mereka beda ibu.
Ketika Gia akan mengetuk pintu kamar Vani, tidak sengaja dia mendengar adiknya itu sedang berbicara dengan seseorang. Gia berpikir mungkin Vani sedang menelpon temannya. Jadi dia akan menunggu sampai selesai menelepon baru setelah itu akan berpamitan kepada Vani.
"Emang benar dia dipecat?" suara Vani sedang mengobrol lewat telepon dengan seseorang.
" ... "
"Tadi ada tetangga juga yang datang meminta ibu buat ngusir dia. Sekarang sudah di usir sama ibu. Nggak tahu pergi kemana!"
" ... "
Kemudian terdengar Rivani tertawa. "Kak Erika pinter banget sampai punya ide seperti itu. Darimana juga kakak dapat bubuk racun itu? Kak Erika mengatakan pada orang-orang di kantor kalau dia terkena santet, dan aku di kampung mengatakan kepada orang-orang dia terkena HIV. Padahal kita cuma menaburkan sedikit bubuk racun itu di kosmetik yang dia pakai. Nggak ada yang menyangka jika ternyata itu ulah kita." Rivani kembali tertawa.
"Apa maksudmu Rivani?!" Gia mendorong pintu kamar Vani dengan kasar. Rivani gelagapan melihat kakaknya itu tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya. Dia pikir Gia sudah meninggalkan rumah ini.
"Katakan apa yang baru saja kamu bicarakan? Apa yang kamu dan Erika taburkan di kosmetikku?!" Suara Gia tercekat. Dia pikir di pecat dan diusir merupakan hal paling buruk yang harus dia hadapi hari ini ternyata masih ada yang lebih buruk lagi.
"Itu, kakak salah dengar! Aku nggak ngelakuin apa-apa!" Rivani lalu menyembunyikan handphonenya di balik tubuhnya agar tidak ketahuan oleh Gia.
"Aku yakin nggak salah dengar! Tega kamu Vani! Aku banting tulang agar bisa membiayai kuliah kamu tetapi lihat apa yang ku lakukan padaku?! Salah apa aku sama kamu sampai kamu membuat wajahku seperti ini?!" teriak Gia melampiaskan apa yang dirasakannya.
"Salah apa??? Salah kakak adalah selalu menarik perhatian orang-orang! Semua orang selalu memuji kakak! Semua laki-laki yang aku sukai selalu jatuh cinta sama kakak! Tidak ada satupun yang melirikku! Aku benci kakak!!!"
...* * *...
Gia mengangkat tas yang berisi barang-barangnya menyusuri jalanan. Semua orang langsung menjauh begitu Gia ikut menunggu di halte bus seperti Gia menyebar bau busuk yang sangat menyengat. Gia sadar diri lalu pergi menjauh meninggalkan halte. Lalu dia mencari taksi, tetapi tidak ada satupun taksi yang mau mengangkutnya setelah melihat wajahnya.
Gia menangis di pinggir jalan. Ini adalah hari yang sangat berat baginya. Semuanya terasa sangat menyakitkan. Mulai dari Emir, pemecatannya, santet dan yang terakhir konspirasi Erika dan Rivani. Hatinya serasa dicabik-cabik mengetahui jika sahabat dan adik yang sangat disayanginya telah bekerja sama untuk menghancurkan wajahnya.
Sumi menyuruhnya pergi saat itu juga setelah melihat dia beradu mulut dengan Vani tanpa mau tahu sebabnya. Bagi Sumi, apapun yang terjadi pastilah Gia yang salah.
Sudah hampir jam sebelas malam tetapi dia tidak tahu akan pergi kemana. Gia masih berdiri di pinggir jalan menatap kendaraan yang masih berlalu lalang. Ingin sekalian Gia menabrak dirinya di salah satu mobil yang sedang melintas berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Untuk apa juga dia hidup kalau semua orang jijik melihat wajahnya. Bahkan sopir taksi pun menolaknya.
Gia terus berjalan hingga akhirnya dia melihat sebuah penginapan. Mungkin malam ini dia akan menginap di sana kemudian besok pagi dia akan mencari tempat tinggal. Untungnya Sumi tidak mengetahui jika gajinya sudah ditransfer dan dia juga mendapatkan uang pesangon. Jadi Gia bisa sedikit lega karena ada uang untuk menyewa tempat tinggal.
Gia berdiri di trotoar. Dia menunggu jalanan kosong agar bisa menyeberang menuju penginapan yang terletak di seberang jalan. Tiba-tiba ada mobil dengan kecepatan tinggi, mengalami oleng tepat di depan Gia.
"BRAAKKK ... !!!" Mobil itu menabrak Gia.
...* * *...
Gia tersadar. Dia terbaring di rumah sakit dan merasakan sakit yang luar biasa di kakinya dan juga wajahnya. Rupanya kaki kirinya patah dan seluruh wajahnya juga diperban.
"Wajahku? Kenapa dengan wajahku?!" Gia memegangi wajahnya panik, lupa dengan rasa sakit yang dia rasakan sebelumnya.
Gia sendiri tidak ingat bagaimana posisinya sehingga wajahnya juga mengalami luka yang cukup parah sampai harus diperban seperti ini. Gia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Dia sempat berniat untuk menabrakkan diri pada sebuah mobil tetapi Gia mengurungkannya. Yang terakhir Gia ingat adalah dia sedang berdiri di trotoar lalu tiba-tiba sebuah mobil menabraknya.
"Hai, kamu sudah siuman." Seorang wanita seusia ibu tirinya masuk lalu mendekat ke brankar dimana Gia terbaring. Gia terus memandangi perempuan itu karena penampilannya tidak seperti dokter apalagi perawat rumah sakit.
"Siapa namamu?" tanya perempuan itu lagi.
"Namaku Gia."
"Aku Dira. Aku disini untuk bertanggung jawab atas kecelakaan yang terjadi padamu. Aku akui putraku memang salah. Dia mengemudi dalam keadaan mabuk dan membuatmu jadi seperti ini. Tetapi aku akan bertanggung jawab sepenuhnya sampai kamu sembuh."
"Kenapa wajahku?" tanya Gia masih memegangi perban di wajahnya.
"Wajahmu terkena serpihan kaca mobil jadi harus dilakukan pembedahan untuk mengeluarkan serpihan-serpihan kaca itu. Lebih jelasnya nanti kamu bisa menanyakannya langsung kepada dokter."
"Maksudnya bagaimana?" Gia semakin khawatir. Kondisi wajahnya sudah cukup buruk. Gia tidak bisa membayangkan wajahnya akan semakin buruk karena kecelakaan ini.
"Dokter melakukan operasi plastik pada wajahmu. Tindakan itu dilakukan untuk mengangkat kulitmu yang rusak, semacam pencangkokan kulit. Tetapi tenang saja, operasi itu tidak merubah bentuk wajahmu. Itu hanya membuang kulit yang sudah rusak dan menggantinya dengan kulit baru yang sehat."
"Operasi plastik?!" Gia memastikan.
Perempuan itu mengangguk. "Tim dokter terpaksa melakukannya. Mereka mengatakan jika kulit wajahmu sudah bermasalah sebelumnya, jadi tindakan itu segera diambil agar tidak terjadi infeksi dan membuatnya lebih parah."
"Wajahku dioperasi plastik?" sekali lagi Gia memastikan dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak! Tidak! Jangan menangis! Air matamu akan membuat perbanmu basah dan itu tidak bagus. Kalau kamu tidak terima dan berniat untuk menuntut kami tidak apa-apa. Itu hakmu. Tetapi kami tetap akan bertanggung jawab memastikan kesembuhanmu. Sekali lagi aku mewakili anakku memohon maaf kepadamu," ucap perempuan itu sungguh-sungguh.
Gia terdiam tidak bisa berkata-kata. Begitu banyak kejadian dalam sehari ini yang mengacak-acak hati dan pikirannya. Haruskah dia bahagia atau sedih sekarang?
"Sekali lagi aku minta maaf atas nama putraku. Dia tidak bisa datang untuk mempertanggungjawabkannya karena ada urusan yang harus dia selesaikan. Tetapi kalau urusannya sudah selesai, aku pastikan dia akan datang dan meminta maaf kepadamu secara langsung."
"Aku tidak akan menuntut putra anda Nyonya. Terimakasih atas apapun yang kalian lakukan kepadaku termasuk operasi plastik ini. Aku sangat berterimakasih."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
🌺Zaura🌺
Alhamdulillah... akhirnya Gia bisa operasi plastik gratis...😅. Ada untungnya juga kecelakaan itu ternyata...
2024-06-24
0
Rihan Jamaien
orang baik pasti mendapatkan pertolongan sewaktu dia mendapatkan kesusahan☺️
2024-06-10
0
Morna Simanungkalit
Sabar ya Gia nanti kamu juga akan sembuh dan cantik.,dan tetap hargai ibu itu karena dia bertanggung jawab padamu.
2024-06-09
0