2. Salah Apa?

Gia tidak langsung kembali ke ruangannya, dia kembali mengurung dirinya di dalam toilet. Dia perlu menenangkan diri sebelum kembali ke ruangannya.

"Untung kita tadi makannya nggak bareng si buruk rupa, bisa hilang selera makanku kalau melihat wajahnya!" Samar Gia mendengar percakapan di balik pintu toilet.

"Padahal dulu cantik banget. Kok bisa ya?" timpal yang lain. "Kamu nggak jijik apa setiap kali ngobrol langsung melihat wajahnya yang hancur itu?"

"Aku cuma kasihan sama dia, aslinya sih males juga. Jijik tau, mau muntah!" Gia yang berada di dalam toilet tidak percaya mendengar apa yang baru saja dia dengar. Itu jelas suara Erika, sahabatnya.

"Bukankah kamu yang pertama kali mengatakan kalau dia terkena santet atau guna-guna semacam itu?"

"Memangnya, alasan apa yang masuk akal untuk menjelaskan kerusakan di wajahnya itu selain santet?" jawab Erika acuh.

Gia sangat shock mendengar ini. Belum juga Gia sempat meratapi pemecatannya, dia dihadapkan dengan kenyataan tentang Erika sahabatnya yang selama ini ternyata hanya pura-pura baik di depannya. Dan yang membuat Gia lebih terkejut lagi, ternyata Erika lah yang menyebarkan gosip soal santet itu hingga membuat orang-orang menjauhinya.

Padahal Erika tahu betul kenapa wajah Gia bisa berubah seperti itu. Setiap kali ke dokter Erika selalu menawarkan diri untuk menemaninya dan dia juga mendengar sendiri penjelasan dari dokter. Semuanya karena ada bahan kimia yang membuat kulit wajah Gia iritasi. Tidak ada santet atau guna-guna semacam itu. Tetapi kenapa Erika berkata seperti itu?

Gia terus mengurung diri di dalam toilet sampai orang-orang itu pergi. Dia masih tidak habis pikir ternyata Erika seperti itu. Rasanya sulit dipercaya tetapi Gia mendengar sendiri dengan jelas jika itu suara Erika.

Setelah merasa cukup tenang Gia kembali ke ruangan pemasaran. Gia mengemasi barang-barang yang ada di meja kerjanya. Semua miliknya akan dia bawa pulang karena besok dia sudah tidak bekerja lagi di perusahaan ini. Orang-orang yang berada di ruangan itu saling melempar lirikan seolah mereka sedang menggunjing Gia dengan tatapan mata mereka.

Kabar mengenai diberhentikannya Gia dari perusahaan sudah menyebar luas di kalangan pegawai dan itu semakin membuat Gia menjadi topik utama pembicaraan.

Tiba-tiba salah seorang pegawai perempuan berjalan mendekatinya. "Gia, kalau memang kamu terkena guna-guna atau santet, aku ada kenalan orang pintar. Mungkin kamu mau menemuinya untuk menanyakan masalahmu. Aku akan memberimu alamatnya," ujar Diana, salah satu rekan kerja Gia.

"Dari mana kamu tahu kalau aku terkena santet?" tanya Gia untuk memastikan dugaannya tentang Erika.

"Erika yang mengatakannya. Dia bilang kamu terkena santet. Sudahlah, tidak perlu malu mengakuinya. Hal seperti ini sering terjadi." Ternyata yang tadi Gia dengar di toilet itu benar, Erika yang menyebarkan berita tentang santet itu. Gia menoleh ke arah meja Erika, tetapi sayangnya dia tidak ada di sana.

"Apa kamu merasa pernah membuat seseorang sakit hati? Mungkin orang itu yang melakukan ini kepadamu. Apa mungkin istrinya Pak Yonas yang melakukan ini padamu?! Kamu bisa datang ke rumahnya lalu meminta maaf, mungkin setelah itu istrinya akan memaafkan kamu lalu menarik santet yang telah dia kirim."

Gia benar-benar ingin menangis sekarang. Istrinya Pak Yonas, santet, apalagi yang orang-orang ini akan tuduhkan kepadanya?

"Ini bukan santet! Aku tidak di santet siapapun! Ini murni karena ada bahan kimia yang membuat kulitku iritasi!" teriak Gia frustasi. Dia tidak pernah merayu Pak Yonas atau siapapun di perusahaan ini.

Gia tidak kuat lagi. Semua orang di ruangan itu menatapnya dengan tatapan yang membuat Gia merasa risih sekaligus terhina. Dia segera keluar dari ruangan itu meskipun belum waktunya pulang. Gia tidak peduli apapun lagi. Toh dia juga sudah dipecat dari perusahaan ini.

Sesampainya di rumah, Gia melihat ada beberapa orang tetangganya bertamu. Dulu Gia adalah gadis yang sangat ramah dan periang, tetapi sekarang tidak lagi. Gia langsung menyelonong masuk ke dalam rumah tanpa menyapa mereka. Alasannya? Karena mereka pasti akan melemparkan tatapan jijik kepada Gia lalu mencibirnya dan untuk saat ini Gia sudah tidak kuat menghadapinya.

"Jadi begitu ya Bu Sumi, kami kemari mewakili warga yang lain, meminta agar Gia tidak tinggal di kampung ini lagi. Kami tidak mau tertular penyakitnya." Di perusahaan Gia di kabarkan terkena santet sementara di lingkungan rumah dia dikabarkan terkena penyakit menular. Gia juga tidak tahu bagaimana berita ini menyebar.

"Tapi itu bukan penyakit menular ibu-ibu. Itu hanya iritasi karena Gia salah memakai kosmetik," bela sang ibu.

"Tapi yang kami dengar itu adalah penyakit menular, itu seperti tanda-tanda orang yang terkena virus HIV. Dia sering pulang malam 'kan? Pasti dia sudah terjerumus di pergaulan bebas dan dunia malam. Karena itu dia bisa tertular penyakit itu!"

"Astaga ibu-ibu ini jangan menyebar fitnah! Gia pulang malam karena dia lembur di perusahaan, bukan seperti yang ibu-ibu tuduhkan!"

"Intinya kami tidak mau Gia tinggal dilingkungan ini lagi. Kami tidak mau anak-anak kami tertular penyakit itu karena bergaul dengan Gia! Dan kami juga tidak mau lingkungan ini tercoreng karena kelakuan salah satu warganya!"

"Sebaiknya Gia di suruh pergi atau nanti bapak-bapak yang akan mengusirnya keluar dari sini! Kami juga akan memboikot warung makan Bu Sumi kalau Gia tetap tinggal di sini!"

"Tapi ... "

Ibu-ibu itu segera pergi. Mereka tidak mau mendengarkan penjelasan Bu Sumi, ibu tiri Gia. Gia yang mendengar semuanya dari dalam kamarnya hanya bisa menangis. Separah itu orang-orang memberikan tentang dirinya padahal itu tidak benar.

Gia keluar dari kamarnya lalu menghampiri sang ibu.

"Gia? Apa kamu dengar tadi?" Gia mengangguk. "Jangan kamu dengarkan omongan mereka! Kalau mereka mau memboikot warung ibu yang sudah, nggak apa-apa. Ibu nggak usah jualan aja sekalian. Kita masih bisa mengandalkan gajimu. Benar 'kan?" Tersenyum santai.

"Aku sudah di pecat Bu," balas Gia sambil menunduk takut. Bagi Gia tidak ada yang lebih menakutkan selain kemarahan ibu tirinya itu.

"Apa?! Dipecat?! Kenapa? Apa karena wajahmu? Jangan-jangan yang mereka katakan itu memang benar. Kamu seperti ini karena terkena penyakit menular?!"

"Tidak Bu, itu tidak benar!"

"Lalu bagaimana sekarang? Apakah kamu sudah mendapatkan pekerjaan yang lain?"

"Tidak ada perusahaan yang mau menerimaku bekerja dengan kondisi wajahku sekarang. Aku harus menunggu sampai wajahku sembuh baru bisa mencari kerja lagi. Sementara itu, aku bisa bantu-bantu ibu di warung," ujar Gia menawarkan solusi agar ibunya itu tidak marah.

"Mana ada yang mau membeli dagangan ibu kalau mereka melihat wajahmu seperti itu! Ternyata tidak hanya wajahmu yang buruk, sekarang nasibmu pun ikut buruk! Benar kata ibu-ibu tadi, lebih baik kamu pergi dari rumah ini agar aku tidak tertular segala keburukanmu!"

"Ini rumah peninggalan ayah. Aku ingin tetap tinggal di sini bersama ibu dan Rivani. Aku tidak bisa jauh-jauh dari Rivani."

"Kamu mau adikmu itu tertular penyakitmu? Kamu mau masa depannya buruk seperti masa depanmu?!" Gia menggeleng lemah. Segala sesuatu tentang Rivani, selalu membuatnya mau mengalah.

"Tapi Gia harus tinggal dimana Bu?" ratap Gia dengan mata berkaca-kaca.

"Terserah! Itu bukan urusanku!"

Terpopuler

Comments

sihat dan kaya

sihat dan kaya

apa hak diorg ni main usir²... mcm Yahudi... marah betul aku .. apa punya manusia yang tidak berperikemanusiaan?? Grrrrrrrrr

2024-08-15

0

Shinta Dewiana

Shinta Dewiana

erika si muka kayaknya bekerja sama dgn ibu tiri gia kah..

2024-07-22

0

Rihan Jamaien

Rihan Jamaien

ibu tiri g tau diri itu peninggalan ayanya Gia😠

2024-06-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!