Tidak lama setelah pintu di tutup, pintu terbuka kembali setelah beberapa ketukan. "Anda memanggil Saya, Tuan Kepala Keluarga?" Dengan postur tubuh yang kikuk, Harish masuk dengan leher tertunduk.
"Lupakan formalitasnya, aku di sini sebagai kakekmu sekarang."
"Ah... baik, Kek."
Arnold menghela napas saat melihat tubuh menggigil cucu tertuanya, padahal dia sudah mengatakan bahwa dia adalah kakeknya, bahkan tersenyum untuknya. Namun, sepertinya itu tidak ada gunanya.
"Meskipun kamu tidak jadi menghadiri rapat kali ini, kamu pasti sudah tahu dan mempersiapkan pendapatmu sendiri, kan?"
Harish terbatuk kecil dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dengan senyum bodoh di wajahnya. Memaksa Arnold untuk membandingkannya dengan Arthur yang tegar dan teguh bahkan sampai menceramahinya. Apa keturunannya harus patah hati dan hampir mati dulu baru mentalitas mereka akan berubah? Arnold habis pikir.
"Aku bertanya sebagai kakekmu, bukan sebagai kepala keluarga Mahesa. Jawablah dengan jujur, bagaimana pendapatmu tentang masalah ini?"
Harish merasa terkejut oleh pertanyaan tersebut. Topik itu telah menjadi perbincangan panas dalam beberapa minggu terakhir, dengan berbagai pendapat dan perspektif yang berbeda.
Harish merasa ragu, tahu bahwa pendapatnya hanya berasal dari dokumen yang sudah disiapkan oleh ayahnya untuknya. Terlebih, dia tidak menghadiri rapat itu. Jadi, dia tidak dapat menyontek pendapat lain dan membandingkannya. Dia merasa buntu.
"Ka-karena pemerintah pusat mengerahkan pasukan militer. Para demonstran mungkin akan semakin tidak terkendali. Melihat bahwa selama tujuh tahun terakhir demo ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat terus terjadi, mungkin kali ini mereka bisa runtuh melalui jalur suara rakyat."
Harish berkata dengan hati-hati mencoba menghindari kesalahan sedikitpun yang ia bisa. Namun, dia gagal memahami maksud sang kakek yang sedang mengujinya.
Keraguan, pendapat yang mirip dengan ayahnya, berbelit-belit, gagap, tertekan, dan pendapat yang berdasarkan pada mungkin iya atau tidak. Senyum palsu yang Arnold pasang pun runtuh ketika mendengarnya.
"Jadi, menurutmu Pangeran Pertama akan jatuh?"
"Benar. Sepertinya Pangeran Kedua yang akan naik tahta dan Pangeran Ketiga akan menjadi komandan tertinggi di militer."
Arnold sangat ingin menyudahi pembicaraan ini dan menyesal sudah merencanakannya. "Tadi kata 'Mungkin', sekarang 'Sepertinya', apalagi yang akan muncul setelah ini?" Pikirannya penuh dengan perbandingan antara Arthur dengan Harish yang padahal usianya terpantau empat tahun lebih tua.
"Berarti sebagai kakekmu, aku akan mempercayai pendapatmu dan mendukung Pangeran Kedua, kan?"
"Apa?"
"Ya, kan?"
Mendapatkan intimidasi yang kuat dari wajah datar kakeknya, Harish tidak bisa membuka mulutnya lagi. Bahkan saat dia memaksa rahangnya untuk bergerak, tidak ada suara yang keluar dari sana. Diam seolah bisu. Dia tidak siap akan risikonya dan takut bahwa jawabannya akan menjatuhkannya. Dia menarik pandangannya ke arah jendela seolah-olah ada daya tarik tersendiri di sana.
Arnold menghela napas berat. Dia menanyakan pertanyaan yang sama kepada si bungsu, dan anak itu dengan berani mengguruinya. Namun, ketika pertanyaan yang sama ia lemparkan kepada si sulung, hasilnya malah seperti ini. Dia memalingkan wajahnya dan menyuruh cucu tertuanya itu pergi.
"Hah... kado tahun ini sangat aneh...."
***
Setelah menghadiri perjamuan makan, Bendahara Keluarga Mahesa, Ramiel, menemukan pintu kantornya terbuka dan tanpa penjagaan. Dia bergegas masuk dan amat terkejut ketika mendapati Tuan Muda Arthur ada di dalamnya. Bersandar pada meja dengan tenangnya.
Dengan lengan kurusnya yang pucat, Arthur mengangkat laporan keuangan dari rencana pembelian barang yang belum diselesaikan oleh Ramiel dan membacanya.
"Seratus kilogram lada hitam, dua ratus kilogram gula, dua ratus lima puluh kilogram garam, sepuluh kereta kuda, lima ribu gulungan linen, dan seribu gulungan sutra. Ada enam puluh tujuh jenis barang dan total seluruhnya menjadi tiga puluh lima ribu enam ratus delapan puluh barang. Semuanya menjadi lima ribu delapan ratus tiga puluh koin emas."
Bendahara Ramiel tercengang, dia sebelumnya juga sudah menghitung jumlah barang dan menyimpan catatan di lengan bajunya. Jumlahnya sangat tepat, dan si bungsu ini menghitungnya dalam hitungan detik. Tidak hanya itu, Arthur juga sampai menghitung jumlah anggaran keseluruhan, dan itu sangat luar biasa. Cukup untuk membuat rasa penasaran Ramiel membumbung tinggi.
"Bagaimana caranya Anda menghitung dengan cepat dan akurat? Guru Saya yang dipanggil Master Hitung saja tidak sehebat Anda?"
Arthur dengan senyum di wajahnya menaruh dokumen itu kembali ke tempatnya. Dari ingatan pemilik tubuh sebelumnya, orang-orang di dunia ini berhitung dengan menggunakan swipoa dan ada juga yang menerapkan metode latis. Itu reaksi yang wajar ketika melihat orang yang menggunakan matematika modern.
"Pertama-tama, tolong izinkan aku meminta maaf karena sudah masuk tanpa izin ke dalam kantormu." Arthur dengan tulus menundukkan kepalanya.
"Ti-tidak masalah, selama Anda bersedia mengajarkan kepada Saya metode hitung yang Anda gunakan...." Hati Ramiel seolah membuta. Apa yang ada di dalam pikirannya sekarang hanyalah tentang hitung menghitung, dan karena mengetahui hal ini juga lah Arthur dengan berani menerobos ke kantornya.
Berkat jalur dagang yang ditutup sementara dan terhubungnya jalur dagang dengan Kekaisaran Suci, secara alami rumah dagang Mahesa menjadi semakin sibuk, dan seiring dengan itu, pekerjaannya juga semakin berat. Terlebih, permintaannya untuk merekrut asisten ditolak oleh Kepala Keluarga karena beliau tidak percaya dengan orang lain.
Mempelajari metode hitung yang lebih cepat akan meringankan bebannya.
Namun, Arthur tidak bisa mengajarkan matematika modern padanya. Arthur sadar dengan bakatnya sendiri, dia hebat dalam mempelajari, tetapi buruk dalam mengajar. Sebagaimana ada yang bisa memasak dan ada juga yang hanya bisa makan, seperti inilah nilai 'Bakat' yang dimiliki oleh orang biasa. Lucunya, dunia ini akan terlihat adil jika mengecualikan beberapa genius dan mereka yang terlahir sebagai Pahlawan.
"Terimakasih, tetapi aku tidak tahu bagaimana harus mengajarimu tentang ilmu Matematika, dan aku tidak punya cukup keyakinan bahwa kau akan mengerti apa yang aku katakan." Arthur menatap Bendahara Ramiel dengan mata yang turun dan ekspresi tubuh meremehkan. Dia dengan sengaja memancing kesombongan Pria itu.
"Apa?" Bendahara Ramiel terkekeh saat dia membusungkan dadanya. "Bukankah Saya sudah sering mengatakan hal ini pada Anda tentang rahasia Saya atau Anda melupakannya? Tuan Muda, Saya adalah sarjana yang pernah menolak menjadi Bendahara Kerajaan, dan setiap tahunnya, ada saja tawaran dari Pemerintah Pusat untuk bekerja dengan mereka. Anda mengetahui hal itu dengan baik Tuan Muda, bagaimana bisa Anda meremehkan Saya seperti ini? Hahaha, sekarang bisakah Anda katakan bagaimana caranya Anda menghitung banyak barang sekaligus?"
Arthur menghembuskan napas dan dengan tenang mencoba menjelaskannya, "Jumlah barangnya memang banyak dan beragam, tetapi selama tahu cara memfaktorkan polinomial, menghitungnya menjadi perkara yang mudah."
"Poli.... Apa?"
Arthur menepuk dahi dan memelototi Ramiel yang memalingkan wajah darinya. "Matematika terlalu rumit dan aku tidak memiliki keterampilan yang baik untuk mengajari seseorang, menyerah saja." Dengan itu Ramiel hanya bisa menggigit bibirnya saat sinar yang ia pikir adalah harapan nyatanya keputusasaan.
Arthur kemudian berpura-pura memasukkan tangannya ke saku, mengeluarkan Kalkulator Cerdas dari penyimpanan, dan meletakkannya ke atas meja. "Tidak perlu bersedih, bisakah kau melihat ini?"
"Ini? Tuan Muda, apa ini sebuah artefak!?"
"Bukan, ini hanya alat magis yang bisa membantu masalah perhitungan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments