Bab 6. Pov Petra

Aku dinas luar kota selama satu bulan di kota P. Pimpinan perusahaan tempat aku bekerja berencana membuka kantor cabang yang baru. Sebagai manajer perusahaan akulah yang diutus untuk observasi di lapangan.

Hingga disuatu hari aku terkejut melihat Kayla mantan istriku di sebuah pusat perbelanjaan bersama seorang gadis kecil. Keduanya berjalan santai dan sesekali tertawa riang. Entah apa yang menjadi bahan tertawaan mereka. Tapi melihat tawa mereka seakan beribu jarum menusuk hatiku.

Aku tidak menyangka akan melihat mereka di kota ini. Dan butuh waktu beberapa saat untuk menyakinkan kalau dia adalah Kayla. Mantan istriku sepuluh tahun lalu. Jadi dia tinggal di kota ini. Pantasan aku tidak menemukannya dulu ternyata dia sudah jauh meninggalkan kota kelahirannya.

Siapakah gadis kecil yang bersamanya itu. Gadis cantik yang tidak kalah cantiknya dari Kayla?

Sesekali mereka berhenti di depan manekin yang dipajang di luar toko. Bergantian mereka menirukan gaya manekin itu. Setelah puas keduanya tergelak tanpa memperdulikan mata pengunjung yang lalu lalang dengan pandangan heran. Bahkan ada beberapa yang berhenti melihat tingkah konyol mereka dan ikut tertawa, lalu berlalu sambil geleng kepala.

Mereka bahkan tidak menyadari kalau aku telah mengikuti langkah mereka sepanjang siang itu. Dengan mengenakan kaca mata hitam, masker dan topi aku bebas melenggang tanpa dicurigai. Sampai aku menangguhkan pekerjaanku hanya demi mengikuti mereka.

Sungguh aku tidak menyangka pertemuan ini. Setelah sepuluh tahun berlalu, ini kali pertama aku bertemu Kayla. Aku turut bahagia jika kini dia telah menikah dan berbahagia dengan keluarga barunya. Sebab dia pantas untuk itu, mengingat betapa aku telah melukainya.

Tiga bulan setelah aku menikah dan menceraikannya aku datang mencarinya untuk menyerahkan surat cerai. Namun, aku tidak berhasil menyerahkan surat itu karena Kayla keburu pindah rumah.

Dia telah menjual semua aset peninggalan orang tuanya dan pindah entah kemana. Setiap orang yang aku tanya tidak ada yang tahu, tepatnya tidak ada yang mau memberitahu karena mereka marah dan benci atas apa yang telah aku lakukan pada Kayla.

Sedang pernikahan yang aku jalani tidak seindah yang aku harapkan. Mungkin itu adalah karma dari perlakuanku pada, Kayla. Rumah tanggaku hanya bertahan lima tahun. Ibuku juga mengalami struk sejak berpisah dari Wulan.

Wulan selingkuh dan pergi dengan membawa barang berharga ibuku dan itulah yang membuat beliau terserang stroke. Dan selama kurun waktu pernikahanku aku tidak dikaruniai seorang anak pun.

Meskipun segala usaha dan upaya telah kami lakukan. Tidak satupun yang membuahkan hasil. Aku sangat kecewa dan menyalahkan ibu karena telah menuruti permintaannya. Nasi telah menjadi bubur, menyesal pun tidak ada gunanya lagi.

Terpuruk! Sudah pasti. Saat itulah aku baru menyesali semua kebodohanku. Terbayang semua kebersamaanku bersama Kayla. Manis tutur dan lembut perlakuannya padaku. Dia yang selalu memanjakan aku. Penurut dan tidak banyak menuntut. Semua perlakuan manisnya sangat menyesakkan dada untuk di kenang. Terlebih di saat-saat aku terpuruk karena sempat kehilangan pekerjaan juga Ibu yang jatuh sakit.

Penyesalanku entah dengan cara apa kulampiaskan. Aku selalu berusaha mencari keberadaannya. Tidak sedikit uang yang telah aku gontorkan untuk mencari keberadaanya. Hingga aku menyerah dan fokus pada pekerjaan dan merawat ibu.

Perlahan aku bangkit, hingga karirku stabil lagi. Dan siapa sangka aku bisa bertemu lagi dengan Kayla. Hingga membangkitkan asa ku lagi, berharap padanya.

Ku ikuti diam-diam mereka dan mencari informasi tentang keberadaannya. Aku sangat terpukul saat mendapat informasi kalau gadis kecil itu adalah anakku. Anak yang kemudian lahir dan tidak pernah aku dampingi kehadirannya. Karena saat itu aku telah bersama perempuan lain.

Padahal kehadirannya lah yang aku nanti selama ini. Tetapi apa yang telah aku lakukan sebagai ayahnya. Aku telah mengabaikan hidup mereka. Layakkah aku disebut ayahnya atas semua perbuatan yang aku lakukan. Jangankan untuk mendapat pengakuan, mendapat maaf saja rasanya itu terlalu serakah.

Tidak mengejutkan ketika aku nekad mendatangi rumah Kayla, gelombang badai lah yang menyambutku. Sorot mata yang penuh luka itu, sungguh aku tidak mampu menyaksikannya.

Aku seperti melihat reruntuhan harapan yang coba aku bangun kembali.

Kayla yang dulu lembut dan rapuh kini telah berubah jadi sosok wanita sekaligus ibu yang kuat. Bukankah wanita yang terluka akan menjadi ras terkuat di bumi ini. Itulah yang aku lihat kini dalam diri Kayla. Begitu lembut sekaligus tangguh. Nampak lemah tapi tidak terkalahkan.

Kokoh seperti batu karang meski telah berkali- kali dihempas ombak.

Tapi aku tidak kehilangan akal. Aku terus melihat mereka dari kejauhan. Terutama Bella, saat disekolah sebelum dijemput oleh Kayla. Aku mengamatinya diam-diam. Aku yakin dia adalah darah dagingku. Karena wajahnya yang begitu mirip denganku sewaktu kecil. Bentuk wajah, mulut dan rahangnya persis seperti aku. Hanya hidung dan matanya yang bulat besar itu titisan dari Kayla. Bola mata yang bening, bola mata yang sangat aku kagumi dulu.

Siang itu Kayla terlambat menjemput, Bella. Tidak seperti biasanya. Bella sudah resah menunggu ibunya, jelas terlihat dari sikapnya yang sebentar duduk sebentar berdiri dan selalu mengamati pengendara motor yang melintas di depan sekolahnya.

Aku melihat itu sebagai peluang untuk mendekati , Bella. Kusapa dia dan bola matanya yang indah itu mengerjap penuh curiga. Dipandangnya sosok tubuhku yang berdiri menjulang dihadapannya saat aku menyapanya.

Bella tidak langsung menjawab saat aku menyapanya, sebaliknya dia menatap lagi ke jalan raya kalau-kalau ibunya datang.

"Menunggu siapa? " tanyaku ramah mencoba mengikis kecurigaannya. Dia masih diam dan acuh. Alih-alih menjawabku dia malah menjauh. Menyilangkan kedua lengannya di dadanya. Sorot matanya siaga. Aku tersenyum melihat caranya bertahan dari orang asing.

"Om siapa?" ucapnya tajam. Mengingatkan aku cara Kayla berbicara kemarin. Gadis kecil yang tangguh, bisa-bisanya dia tetap tenang meski sudah merasa terancam.

"Kenalkan, saya Piet. Panggil saja Om piet." Aku mengulurkan tanganku untuk bersalaman. Sekedar untuk merasakan denyut nadinya dan hangat sentuhannya.

"Aku Bella! Mama bilang aku tidak boleh berbicara dengan orang asing!" sentaknya menolak uluran tanganku.

Aku seolah tertampar. Butuh beberapa saat untuk mampu bicara. Aku menahan napas agar mampu berbicara netral

Orang asing? Mengapa kata itu seperti bilah balok menohok tepat ke jantungku.

"Bella tau nomor ponsel mamanya? Biar mama dihubungi lewat ponsel Om Piet, gimana?" aku mengusulkan ide dan berharap Bella mau. Bella berpikir sejenak, bola matanya berputar-putar membuatku gemas melihat tingkahnya. Aku berusaha santai. Dan akhirnya Bella setuju dan memberi nomor Kayla.

Aku langsung memencet tombol panggil di aplikasi berlambang telepon warna hijau itu. Lalu menyerahkannya pada Bella.

"Sudah Om, Mama akan segera datang menjemputku. Makasih ya, Om Piet." sikap Bella mulai melunak. Dia berterima kasih san tersenyum manis. Senyum yang persis seperti ibunya.

Kebetulan ada penjual mainan anak-anak di kaki lima tidak jauh dari Bella duduk. Aku menghampiri penjual kaki lima itu dan memilih boneka panda yang lucu. Dan kuhadiahkan pada Bella. Bella menolak, tapi aku aku terus membujuknya. Sebagai hadiah perkenalan kami, kataku padanya. Akhirnya Bella menerima boneka itu. ***

Terpopuler

Comments

Cinta Dalam hati

Cinta Dalam hati

Huh, karma berlaku kan! Coba aja kamu bahagia, apa mungkin kau masih akan mengenang Kayla? 😏

2024-03-08

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!