Bab 14.Gaji suamiku, di kelola mertua.

Rasanya hati ini tidak mampu membendung gelombang kebahagiaan kala aku melihat dua garis merah di benda pipih itu. Bayangan jadi seorang ibu, begitu kuat mendekapku.

"Gimana hasilnya, sayang." gedoran halus di pintu kamar mandi menyadarkan aku kalau suamiku tengah menunggu di balik pintu itu. Kubuka pintu dengan ekspresi datar, berjalan ke arah tempat tidur dan duduk di pinggirannya.

Tak kupedulikan eskpresi wajah Petra yang menunggu jawabanku. Tapi, saat melihat sikapku sepertinya dia sudah bisa menebak khabar apa yang hendak aku sampaikan.

Petra, bersimpuh didepanku memegangi kedua lututku. Hampir saja aku tertawa melihat wajah sedihnya. Aku menunduk menahan hati agar bisa mengerjainya.

"Sudah, sayang. Tidak apa-apa kita harus bersabar ya." Petra meraih jemariku. Kuberikan alat test kehamilan itu dan seketika wajahnya melongo menatapku hampir tidak percaya. Aku tersenyum dan akhirnya tawaku terlepas. Sudah bisa ditebak, tubuhku tiba-tiba sudah tenggelam dalam pelukannya. Berkali-kali wajahku diciuminya mencurahkan rasa bahagianya.

"Adek, nakal sekali, mengerjai Abang!" serunya riang campur kesal, "jadi kita akan punya baby?" usapnya pada perutku yang masih datar. Aku mengangguk bahagia. Kerongkonganku tersumbat tidak mampu mengucap sepatah kata untuk mewakilkan rasa bahagia itu.

Kubalas pelukan suamiku erat saat dia memelukku untuk yang kesekian kali.

"Sebentar lagi kita akan jadi orang tua. Adek jaga dia baik-baik ya. Mulai sekarang Abang akan jaga kamu juga. Makasih ya sayang. Ayo, kita beritahu Ibu kabar bahagia ini, Dek." Petra menggendongku keluar dari kamar, meski aku telah protes tapi dia tetap nekat. Aku malu saat kedua netra Ibu dan Rena menatap kami dengan heran.

Petra mendudukkan aku di sofa dekat Ibu. Lalu dia duduk diantara kami. Dipeluknya aku dan Ibu dengan kedua lengannya.

"Bu, sebentar lagi Ibu akan jadi seorang Nenek. Kayla positif hamil, Bu." Nampak wajah Ibu terkejut, tapi binar wajahnya biasa saja menanggapi khabar itu.

"Oh, baguslah." ucapnya datar. Tapi karena terlalu bahagia mungkin, Petra tidak menyadari ekspresi wajah Ibu. Sementara hatiku agak sedih melihat sikap Ibu.

"Mulai sekarang kalian harus berhemat. Memiliki anak itu tidak gampang. Butuh biaya banyak dan persiapan matang."

"Iya, Bu. Petra akan bekerja lebih keras mulai hari ini. Semoga Tuhan memberi rejeki berlimpah menyambut cucu Ibu." Ibu mertuaku membuang wajah ke arah lain. Lagi, suamiku tidak peka sikap ibu saking bahagianya dia atas kehamilanku.

"Bu, Kay setuju kalau Ibu yang akan mengelola keuangan. Biar Kay, fokus saja menjaga calon cucu Ibu," ucapku. Seketika wajah Ibu berubah ceria. Senyumnya melebar binar matanya bersinar lebih terang.

"Bagus, sebaiknya kamu memang tidak boleh banyak pikiran. Seorang calon ibu jangan direcoki urusan yang ribet, ntar berpengaruh pada janin." Aku sangat kaget melihat ekspresi wajah Ibu yang berubah total. Bahagia sekali beliau karena diserahi mengelola keuangan keluarga kami.s j f

Biarlah aku mengalah, karena aku toh tidak akan kekurangan uang. Biar saja ibu rasakan bagaimana rumitnya mengatur belanja sehari-hari. Ibu tidak tau kalau aku sering menalangi kebocoran dana dari gaji suamiku. Aku ingin lihat juga bagaimana cara ibu membagi kebutuhan kami berempat dengan sisa gaji suamiku setelah di potong cicilan tabungan untuk rumah masa depan kami.

Selama ini mungkin Ibu mengira aku pelit pada beliau dengan jatah uang jajan satu juta masing untuk Ibu dan Rena. Diluar kebutuhan lainnya. Aku tidak pernah mempermasalahkan itu. Gaji Bang Petra hanya sepuluh juta per bulan, dipotong dua juta untuk tabungan, dua juta untuk Ibu dan Rena. Total sisa enam juta untuk keperluan semuanya. Listrik, air dan keperluan dapur serta keperluan mendadak lainnya yang tidak terduga.

"Dek, kamu yakin dengan keputusan kamu, Ibu yang pegang uang?" tatap suamiku ragu. Aku mengangguk tegas.

"Iya, Bang. Biarlah ibu yang mengatur kebutuhan kita biar adek fokus pada calon anak kita saja," ucapku tersenyum bahagia.

"Baiklah kalau begitu. Jadi bulan depan, Abang beri gaji abang seutuhnya untuk dikelola Ibu."

"Iya bang. Setelah dipotong dari cicilan tabungan kita, Bang," ucapku mengingatkan.

"Ah iya, bener dek. Juga untuk jajan adek." timpal suamiku. Aku mengangguk setuju.

"Abang lupa ya, dengan calon anak kita, bang?" ucapku manja.

"Ah, iya." Petra menepuk jidatnya, " maafkan Abang dek."

"Gak papa, Bang. Makanya adek ingatkan."

***

"Gaji kamu cuma segini, Petra?" beliak Ibu kaget saat suamiku menyerahkan sisa gajinya setelah dipotong cicilan tabungan .

"Iya, Bu. Gaji Petra hanya dua belas juta, sepuluh juta yang Petra serahkan pada Kayla. Dua juta untuk pegangan, Petra."

"Terus kenapa sisa delapan juta lagi."

"Dua juta sudah dipotong untuk tabungan, Bu." Kelopak mata Ibu mertuaku lantas membeliak mendengar ucapan putranya.

"Gimana, Bu. Kalau ibu berubah pikiran gak papa, biar Kayla aja yang pegang." sejenak Ibu ragu tapi mungkin karena malu Ibu tidak mungkin menarik ucapannya. Dalam hati aku tersenyum penuh kemenangan melihat ibu merasa serba salah.

"Ya, sudah. Ini akan Ibu cukup-cukupkan untuk biaya hidup kita sebulan ini."

"Pasti bisa, Bu. Kayla aja bisa beberapa bulan ini." Dukung Petra memberi semangat. Wajah Ibu berubah masam walau sudah berusaha bersikap sewajar mungkin. Aku tidak sabar ingin melihat sejauh mana ibu akan bertahan nantinya.

"Kay, ini untuk uang jajan kamu. Ibu hanya bisa kasih segitu. Sekarang apa-apa mahal, jadi kita harus berhemat." Ibu memberikan uang lima lembar warna merah.

"Kok segini, Bu. Mana cukup untuk jajan ku sebulan ini." protesku pura-pura tidak diberipun sebenarnya tidak apa-apa.

"Itu saja dicukupkan. Jangan royal kamu." Dalam hati aku ngedumel, ibu saja dikasih sejuta masih protes, lha aku dikasih lima ratus ribu harus terima dengan embel-embel di suruh berhemat pula.

Belum lagi untuk hidangan di meja nanti, lauk seperti apa yang akan terhidang. Karena selama ini dan Rena selalu protes setiap menu yang aku hidangkan. Padahal semuanya sudah standar.

"Ibu dan Rena mau belanja, jadi kamu beres-bereslah di rumah."

"Jangan lupa kak, kamarku belum aku bereskan."

"Kamu bukan anak kecil lagi, Rena. Kamarmu itu adalah ruang privacymu, tanggung jawabmu sendiri."

"Apa salahnya sih. Kami 'kan mau belanja, kamu cuma dirumah saja." bantah Ibu.

"Tapi, Bu."

"Sudah, lakukan saja!" Rena meleletkan lidahnya dibelakang ibu. Aku hanya bisa mengelus dada.

Oke, sekali ini aku bersihkan. Untuk seterusnya jangan harap aku membatin.

Saat mereka pulang setelah hampir seharian aku sungguh kaget, karena mereka pergi belanja tenyata bukan belanja kebutuhan sehari-hari melainkan belanja pakaian.

Kedua tangan Rena dan Ibu penuh dengan peper bag, entah apa saja isinya.

"Bu, katanya Ibu dan Rena belanja. Mana belanjaan kebutuhan dapurnya, Bu." kataku heran melihat belanjaan Ibu yang teronggok di atas meja.

"Kami hanya shoping, Kay. Males ah ketempat bau dan becek itu." sahut Rena. Membawa beberapa paper bag miliknya ke kamar.

"Ibu juga sudah capek, ini kamu belanja saja di warung Bu Minah. Ibu mau istirahat." Aku menerima uang seratusan dari Ibu.

My God, inikah tujuan Ibu yang sebenarnya untuk menguasai gaji suamiku? ***

Terpopuler

Comments

Erni Kusumawati

Erni Kusumawati

beginilah kalo orang tua jauh dr ilmu Agama dan ilmu2 lainnya.. dan msh relate sih di jaman skr.,

2024-04-27

1

lindsey

lindsey

sungguh kel. toxic. 😡😡

2024-03-17

1

Cidaha (Ig @Dwie.author)

Cidaha (Ig @Dwie.author)

Wajar aja dia terkena stroke soalnya dia bnr2 dzalim sama menantu sendiri. Penasaran knp dulu Kayla sampai keguguran.

2024-03-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!