Bab 8

Akhir-akhir ini aku curiga dan heran melihat sikap Bella. Dia lebih ceria setiap kali pulang sekolah. Sekalipun aku terlambat menjemputnya karena kesibukanku bekerja, dia tidak protes.

Biasanya kalau aku datang terlambat menjemput dia akan memasang wajah cemberut. Bisa berjam-jam lamanya dia ngambek. Kecuali aku belikan sesuatu makanan kesukaaannya.

Namun, beberapa hari ini sekalipun aku terlambat datang wajahnya tetap ceria. Senyumnya malah terlalu sumringah. Awalnya kukira dia bahagia karena dapat nilai bagus dalam pelajaran.

Setiap kali aku tanya Bella cuma senyum-senyum saja dan membuatku makin penasaran. Karena curiga akan tingkahnya, aku berencana menyelidikinya. Mungkin dengan bertanya pada teman atau gurunya.

Sebenarnya dibalik cerianya Bella, aku sebagai ibunya tentu sangat senang.Bella sangat pendiam dan lebih senang bermain sendiri di kamarnya daripada berbaur dengan anak tetangga yang seusia dengannya. Kecuali ada teman yang datang ke rumah dia akan bermain bersama mereka di teras atau di kamarnya.

Dia pemilih dalam berteman, makanya temannya hanya satu sampai tiga orang yang kerap berkumpul dengannya. Melihat perubahannya yang begitu mendadak hatiku selalu bertanya- tanya. Apakah Bella dapat teman baru lagi?

Usai belanja keperluan menjahit, kulihat jam di ponsel sudah di angka sebelas lewat tiga puluh. Sudah mendekati waktu pulang sekolahnya Bella, tiga puluh menit lagi. Lebih baik aku langsung ke sekolahnya saja, daripada bolak-balik dari rumah ke sekolah. Tidak apa-apa datang lebih awal. Biar sekalian saja nanti sharing sama guru kelasnya.

Maka kuarahkan laju motorku ke sekolah Bella.

Saat berhenti di lampu merah ada banyak anak sekolah menyeberangi jalan arah pulang sekolah. Mereka mengenakan seragam yang sama dengan Bella. Apakah anak-anak sengaja dipulangkan lebih awal? Atau hanya kelas tertentu?

Begitu lampu hijau menyala aku tancap gas biar lebih cepat sampai kesekolah Bella. Takut dia telah menungguku. Begitu sampai di gerbang, segera aku parkirkan motorku di sisi gerbang. Biar lebih mudah nanti saat mau pulang.

"Eh, ibu Bella 'kan? Kita sudah lama gak ketemu, jadi pangling, Bu." sapa seorang ibu padaku saat berpapasan di gerbang yang kebetulan sedang menjemput anaknya.

"Eh, Bu Nani. Selamat siang, Bu." balasku menimpali sapaannya.

"Mau jemput Bella, Bu? Bella ada didalam sama Om-nya." Keningku mengernyit mendengar ucapan Bu Nani. Om? Om-nya siapa ya? Tanya hatiku.

"Maksud Bu Nani apa?" tanyaku juga karena penasaran.

"Emang Bu Kayla gak tau, kalau akhir-akhir ini Bella selalu ketemu Om-nya." Bu Nani balik heran karena reaksiku.

"Aku terdiam tidak tau mau jawab apa, gegas aku mendorong pintu gerbang. Benar saja di pondok sekolah aku melihat Bella sedang duduk bersama seseorang. Mereka tertawa entah menertawakan apa. Langkahku tertegun, siapa lelaki dewasa yang tengah bercengkrama dengan putriku itu.

Setengah berlari aku mendekati mereka, keduanya tidak menyadari kedatanganku karena membelakangiku. Rasa penasaranku makin melonjak.

"Bella ...." panggilku pelan tapi sudah cukup membuat keduanya terkejut. Keduanya sama-sama terlonjak dari kursi yang mereka duduki.

"Mama?" beliak Bella dengan wajah pucat. Seolah tidak percaya melihatku yang telah berdiri di hadapannya. Begitu juga lelaki itu. Aku tidak dapat dengan jelas menangkap wajahnya karena topi dan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya. Tapi aku melihat jelas kegugupan dari gerak tubuhnya.

"Siapa yang bersamamu, Nak?" ucapku datar agar Bella bersikap santai.

"Di-dia Om Piet, Ma" ucapnya terbata. Aku sangat terkejut mendengarnya karena selama ini Bella tidak pernah cerita tentang Om Piet lagi. Dari bahasa tubuh mereka yang nampak akrab, ini bukan pertemuan kali kedua sejak kemarin itu ketika aku terlambat menjemputnya.

Bagaimana bisa Bella merahasiakan ini padaku. Apakah lelaki itu yang menyuruh Bella bungkam? Dan apa maksudnya menjumpai putriku?

"Bella, tunggu Mama, di gerbang. Mama mau bicara sama Om Piet." Aku berusaha menenangkan hatiku jangan sampai Bella mendengar percakapan kami.

"Baik, Ma." masih dengan wajah takut, Bella berlalu dari hadapanku.

"Anda siapa? Ada urusan apa Anda menemani putri saya," ucapku tegang.Bodoh rasanya diri ini saat ada seseorang yang tidak kukenali berakrab- ria dengan putriku tanpa sepengetahuanku

Dia membuka topi dan kaca mata hitamnya dengan perlahan.Menatapku dengan wajah sendu. Hampir saja aku ambruk, kalau tidak berpegangan dengan sandaran kursi.

Petra!

Ternyata Petra orang yang mengaku sebagai Om Piet itu pada Bella. Aku benar-benar merasa kecolongan. Kupikir ketidak datangan nya lagi kerumah karena memang sadar diri tidak ingin mengganggu kehidupanku lagi.

Tidak taunya dia mendekati Bella diam-diam di belakangku. Entah mantra apa yang telah ia pakai sampai Bella bisa patuh padanya. Juga bisa senyaman itu. Apakah Petra telah mengatakan siapa dirinya yang sebenarnya.

"Apa maksudmu dengan semua ini? Bukankah aku telah memperingatkan kamu untuk tidak mengganggu hidupku!" ucapku penuh penekanan. Mataku nyalang menerkam kearahnya.

"Maafkan aku, Kay."

"Maaf? Kamu pikir semua ini akan selesai hanya dengan kata maaf? Aku tidak bisa memaafkan kamu, Petra!" dengusku dengan napas tersenggal.

"Kay, Bella butuh seorang Ay ...."

"Bella tidak butuh, Petra. Kami tidak butuh hadirmu. Sepuluh tahun kami tanpamu, kami baik- baik saja." kupotong ucapan Petra. Emosiku sudah tidak bisa kukontrol lagi. Ingin rasanya aku meledak, tapi aku sadar kalau Bella tengah mengawasi kami dari kejauhan.

"Kay, katakanlah apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahanku dulu. Tolong, beri aku kesempatan lagi." Petra memohon mencoba menyentuh lenganku yang kutepis dengan kasar.

"Ada apa dengan pernikahanmu hingga kamu rela mengemis untuk kembali? Aha! Aku bisa tebak, pastinya dia telah meinggalkan kamu kan? Jika hidupmu bahagia, apa iya kamu mau kembali padaku?" ucapku tersenyum kecut.

"Kay, aku menyesal."

"Telan sendiri sesal mu itu. Jangan seret kami. Menjauhlah dari Bella, aku tidak akan segan- segan melaporkanmu jika masih nekat menemuinya." Ancamku dan bergegas pergi meninggalkan Petra.

Persetan dengan apa yang dia rasakan akibat perkataanku. Itu belum sebanding dengan sakit yang aku alami selama sepuluh tahun ini. Berjuang, bertahan hidup akibat perbuatannya.

Aku mengusap air disudut mataku yang mencoba luruh. Aku tidak menyangka setelah sepuluh tahun Petra datang lagi dalam kehidupanku. Padahal aku telah berdamai dengan lukaku. Melupakan semua kesakitan itu dan hanya fokus kepada Bella.

Semudah itu dia datang mengungkapkan sesalnya. Seolah apa yang telah terjadi itu hanya sebuah mimpi. Dan semudah membalik telapak tangan melupakan masa lalu itu.

Tidak! Aku tidak akan pernah kembali ke masa lalu itu. Aku ingin meniti masa depan yang lebih baik bersama Bella.

"Mama." tiba-tiba Bella menubrukku. Memeluk kedua pahaku, "mama marah sama Om Piet ya? Om Piet baik sama Bella, Ma. Maafkan Bella tidak pernah cerita sama, Mama. Maafkan Om Piet, Ma." rajuk Bella membuat seluruh tulang- tulangku seolah dilucuti satu persatu. ***

Terpopuler

Comments

Erni Kusumawati

Erni Kusumawati

najis lebih baik kau cerita ke bella kau ttg kelakuan bapaknya yg gila.. gemes aku rasanya

2024-04-27

1

lindsey

lindsey

keterlaluan memang laki2 ga tau diri ga tau malu. udah ninggalin seenaknya ga ngebiayain mau minta diakui sebagai ayah. go to hell sana petra kamu dan mamamu.

2024-03-11

1

Cidaha (Ig @Dwie.author)

Cidaha (Ig @Dwie.author)

Kamu benar sekali, Kay.

2024-03-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!