Bab 15. Keguguran.

"Dek, kamu kok cuma masak ini?" Petra menatap heran makanan yang terhidang di atas meja. Kulirik Ibu mertua dan Rena yang tertunduk diam.

"Aku memasak sesuai bahan yang ada, Bang." Aku hanya memasak sayur bening dengan sambal tempe dan tahu, hanya itu yang bisa kubeli di warung karena telat belanja.

"Iya, Abang tau, tapi masak menu ginian 'kan kurang bergizi. Terutama untuk kamu, Dek."

"Ya, sudah. Makan aja apa yang ada, kita harus berhemat! Cerewet kali kamu, Petra." sentak Ibu menatapku tajam.

"Iya, Bu. Selama ini juga Kay, berhemat kok. Tapi menu makan kita gak gigi-gini kali. Petra gak selera," Petra langsung berdiri dari kursi. Dan masuk ke kamar. Buru-buru aku hendak menyusul, tapi langkahku terhenti mendengar ucapan Ibu.

"Ini salah kamu, kamu sengaja ya, masak ginian."

"Bu, selama ini tidak ada masalah dengan menu yang saya hidangkan. Baru sehari Ibu pegang uang belanja, semuanya berantakan. Kenapa malah saya yang ibu salahkan?"

"Kamu, Kay! Jangan kurang ajar sama Ibu aku ya. Kamu itu cuma menantu di rumah ini. Gak punya hak ngomong seperti itu sama Ibu."

Aku diam saja, malas rasanya membalas ucapan Rena. Percuma saja membela diri. Aku segera masuk ke kamar menjumpai Petra yang ngambek makan. Aku merasa bersalah juga, karena nekat masak menu yang tidak disukai suamiku. Maksudku melakukan itu agar mertuaku berubah.

Ibu mertuaku ternyata hanya ingin menguasai uang anaknya untuk kepentingan dirinya sendiri. Sayangnya suamiku tidak bisa bertindak tegas pada ibunya.

"Sebenarnya apa sih maunya, Ibu," ucap Petra begitu melihat kedatanganku. Aku diam saja menunggunya melepas uneg-uneg dalam hatinya.

"Sudahlah, Bang. Kita makan di luar saja," bujukku.

"Bukan soal makanan itu yang Abang masalahkan, Dek. Tapi soal sikap Ibu yang tidak aku mengerti. Ibu meminta untuk mengelola uang kita. Tapi ibu malah tidak mau mengurus kebutuhan kita. Trus uang itu mau buat apa?"

Ingin rasanya aku cerita soal siang tadi. Apa yang Ibu lakukan dengan Rena. Tapi, aku tidak ingin menambah beban pikiran suamiku.

"Tadi siapa yang belanja?"

"Aku, Bang. Tapi udah telat, harusnya 'kan pagi, biar lengkap. Sudahlah, Bang. Jangan ngambek gegara lauk itu."

"Iya, Dek. Maafkan Abang. Kamu sudah capek memasak tapi Abang malah tidak mau makan."

"Gimana kalau adek masak mie instan, sepertinya masih ada di kulkas." usulku. Tapi suamiku menolak.

"Sudah, Abang mau istirahat saja. Soalnya capek seharian kerja." ucapnya seraya merebahkan tubuhnya di sisiku. Aku menatap wajahnya, wajah yang selalu meneduhkan hatiku. Kubaringkan tubuhku disampingnya. Lengan kokohnya sebagai bantalku. Kulingkarkan lenganku memeluk tubuhnya yang hangat. Hingga akhirnya aku tertidur dalam pelukannya.

Pagi harinya saat aku bangun, aku tidak melihat suamiku. Tidak biasanya dia cepat bangun kalau di akhir pekan. Sudah kebiasaannya bangun malas-malasan. Apakah dia sedang lari pagi?

Aku bangkit dari ranjang menuju kamar mandi. Setelah cuci muka lalu sisiran merapikan rambut panjangku. Pintu kamar ibu mertua juga Rena masih tertutup rapat. Kemana yah suamiku pagi- pagi begini?

 Aku bergegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Saat kulihat masih banyak nasi di magic com, aku berencana masak nasi goreng saja. Kebetulan bahan-bahannya masih ada di kulkas. Hanya seledri yang tidak ada.

Hanya belasan menit, nasi goreng buatanku sudah terhidang diatas meja. Saat aku menata piring diatas meja makan, kudengar suara langkah kaki menuju dapur. Seperti dugaanku, Petra ternyata lari pagi. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Kaos yang dia pakai sampai basah.

"Hem, Adek sudah selesai masak sarapan, ya?" Hidungnya kembang kempis mencium aroma nasi goreng buatanku.

"Iya Bang, gih sana mandi biar kita sarapan." usirku halus.

"Ntar lagi, Dek. Masih keringatan ini. Ibu dan Rena belum bangun, ya?"

"Iya, Bang. Pintu kamar ibu masih tertutup."

"Abang mandi dulu, ya. Dah, lapar nih." Petra menepuk perutnya yang datar.

Aku menuang air panas ke dalam gelas, menyeduh teh manis. Mataku tak henti menatap ke arah pintu kamar Ibu dan Rena. Sudah siang begini belum juga bangun. Sambil menunggu Ibu dan Rena bangun, aku pun pergi mandi.

Namun, hingga aku selesai mandi, bahkan aku dan Petra sudah duduk manis di meja makan. Belum juga ada tanda-tanda Ibu dan Rena akan bangun.

"Bang, gimana nih. Keburu dingin nasi gorengnya jadi gak enak. Abang bangunkan saja Ibu atau kita sarapan duluan."

"Udah, kita duluan saja sarapan. Biar Ibu dan Rena nyusul saja." Akhirnya aku dan suamiku sarapan berdua saja. .Baru juga suapan ketiga, Ibu dan Rena sudah muncul di meja makan tanpa cuci muka lebih dulu, mereka ikut sarapan.

Aku dan Petra saling pandang melihat kelakuan ibu dan Rena.

Kelakuan Ibu dan Rena semakin hari semakin keterlaluan. Hampir setiap hari kami bersitegang. Terlebih karena Petra tidak lagi menyerahkan gajinya untuk ibu pegang, karena uang itu malah ibu gunakan untuk berfoya-foya.

Aku semakin tidak betah tinggal serumah. Aku seolah menginjak bara api saja, setiap hari terbakar emosi. Masih juga kucoba bersabar dan bertahan mengahadapi ibu dan Rena, sebab Petra selalu membelaku. Tapi sampai kapan aku bisa bertahan dan sabar?

Kesabaranku itu akhirnya habis. Kesabaran yang sia-sia. Terlambat untuk mengambil sikap. Sekalipun suamiku sudah tau seperti apa sikap Ibu dan adiknya. Tapi dia tidak pernah sanggup bertindak tegas. Dia memang marah, tapi tidak pernah menindak atau setidaknya mengancam Ibu dan Rena.

Hingga akhirnya kecelakaan itu terjadi. Aku terpeleset di kamar mandi. Sengaja atau tidak, Rena terlalu ceroboh, tidak menyiram kamar mandi usai mencuci pakaiannya.

Akibatnya sangat fatal, aku keguguran. Hatiku hancur berkeping-keping. Dukaku semakin dalam, sebulan kemudian ayahku juga pergi untuk selamanya. Hatiku patah, duka itu terlalu berat untuk kutanggung.

Aku tidak mau lagi pulang ke rumah mertuaku. Terserah ibu marah atau malah senang aku tidak peduli. Bahkan ketika Petra tidak mau menyusulku karena pekerjaanya aku juga tidak ambil pusing.

Tiga bulan kemudian, suamiku baru menyusul. Setelah segala urusan kerjanya selesai. Aku benar-benar trauma untuk kembali ke rumah itu.

Entah apa yang terjadi selama aku dan Petra berpisah. Sikapnya perlahan berubah. Dia tidak sehangat dulu lagi. Dia mungkin kecewa padaku karena keguguran, karena dia memang sangat mendambakan kelahiran anak kami. Sekalipun suamiku tidak pernah mengungkapkan perasaannya, tapi jauh dalam lubuk hatinya dia sangat kecewa.

Terlebih lagi setelah keguguran itu aku tidak kunjung hamil hingga usia pernikahan kami tiga tahun.

Kami lebih sering bertengkar, saling diam berhari- hari lamanya. Hingga di suatu hari dia menghilang. Meninggalkan sepucuk surat agar aku tidak mengarapkannya kembali.

Lukaku semakin lengkap saja. Tiga bulan aku mencarinya. Hingga aku nekad memastikan apakah benar dia kembali kekampungnya. Dan kenyataan pahit itu harus aku telan. Petra diam- diam menikah lagi.

"Mama, mama kenapa menangis, lagi." sentuhan lembut di lenganku menyadarkan aku dari lamunan panjang. Teringat kembali pada masa lalu yang menyakitkan itu.

Kini ingatan masa lalu itu kembali lagi. Mungkinkah hati ini terbuka kembali? ***

Terpopuler

Comments

Yutaka Kansaki

Yutaka Kansaki

sabar ea mbk key...
sekarang mereka dpt karma...
Petra TDK bahagia trus ibunya kena stroke...

next mom...
aq tunggu up selanjutnya 👍👏🌹💐
semangat

2024-03-17

1

lindsey

lindsey

sabar kay. yang pastinya kamu jangan tutup hatimu jika ada seseorang nanti yg betul2 mencintaimu dan juga kel nya baik dan sayang sama kamu , kamu harus terima karena kamu pun layak untuk berbahagia. atau klo kamu inginnya tetep sendiri maka tunjukanlah klo kamu mampu bangkit dan berdiri tegak.

2024-03-17

1

lindsey

lindsey

ceritain aja kay semuanya ga usah ditutup2i

2024-03-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!