Bab 2. Bella.

Petra menghentikan langkahnya tepat didepanku, saat aku berbicara. Menatapku dengan tajam dan dalam sedetik berubah sayu.

"Besok aku datang lagi. Banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu. Tolong jangan mengusirku lagi," ucapnya lirih. Membuat tubuhku menegang. Apa aku tidak salah dengar? Ah, peduli apa aku, hatiku sudah terlanjur mati oleh perbuatannya. Dia yang selalu mengabaikanku. Dia yang tidak pernah menganggapku sebagai istri. Baginya aku adalah orang lain yang kebetulan jadi istrinya. Itu yang pernah diucapkan dulu, yang mematahkan hatiku . Menghancurkannya hingga jadi serpihan.

Aku menatap punggung Petra, yang berjalan lesu dan menghilang di ujung gang. Kegelapan malam membuat pandanganku tidak fokus melihatnya berbelok ke arah mana.

Kututup kembali pintu rumah dan duduk diatas sofa. Menatap layar kaca yang menayangkan sebuah sinetron kesukaanku. Hanya mataku yang melihat layar kaca, sedang hati dan pikiranku melayang kemana- mana. Terus terang aku masih tidak percaya dengan kejadian tadi atas kemunculan Petra yang tiba- tiba di rumahku.

Padahal aku sudah pindah dari tempat lama. Dia dapat info darimana bisa tau keberadaanku saat ini. Jangan-jangan Petra tau kalau aku sudah punya anak. Apakah dia sengaja mencari keberadaanku? Apa yang membuatnya berubah pikiran setelah sekian lama tidak peduli padaku.

Ucapan salam dan ketukan di pintu, kembali membuatku kaget. Aku sempat terlonjak karena pikiranku fokus pada Petra. Aku buru-buru membuka pintu.

"Mama, tumben mengunci pintu?" tatap Bella keheranan.

"Tadi Mama di dapur sayang, ntar ada orang nyelonong masuk mama gak dengar," alihku. Bella hanya manggut dan melepas tas dari punggungnya. Kulihat wajahnya agak muram tidak seperti biasanya.

"Ada apa sayang. Ada pelajaran yang sulit ya?" ucapku.

"Gak Ma, Bella bisa kok jawabnya," ucapnya lesu.

"Trus, kenapa wajahnya muram begitu?" Kubingkai wajahnya dengan kedua telapak tanganku. Sorot mataku menelusuri wajahnya yang sangat mirip dengan, Petra.

"Gak pa-pa kok, Ma. Bella cuma lelah aja."

Aku tahu Bella hanya menghibur hatiku, agar tidak khawatir padanya. Percuma juga mengorek keterangan darinya secara paksa.

"Kita makan malam yuk, Mama udah masak ayam kesukaanmu." Alihku, mencoba mengurai suasana hatinya. Benar saja, wajah itu sekejap berubah ceria saat kusebut masakan kesukaannya.

Bella berlari mendahului langkahku menuju ruang makan, sekaligus dapur. Setelah berdoa lebih dulu Bella mencicipi ayam crispy dengan lahap.

"Masakan Mama the best!" Bella mengacungkan kedua jempol tangannya. Aku tersenyum melihat polahnya dan kami menikmati makan malam penuh hikmat.

"Ma, Papa Bella beneran dah meninggal ya? Kenapa kita gak pernah pergi ziarah, Ma?" celetuk Bella tiba-tiba membuatku kaget. Hampir saja nasi dimulutku tersembur saat mendengar pertanyaannya itu.

Selama ini Bella tidak pernah bertanya soal papanya. Dia selalu percaya kalau papanya telah meninggal. Baru kali ini dia menanyakan soal kuburan papanya.

"Tempatnya jauh nak, Mama tidak punya cukup uang kita pergi ke sana," ucapku setenang mungkin. Aku sadar Bella sudah mulai kritis, melihat lingkungannya. Dan hal-hal yang aku takutkan dulu akhirnya tiba juga.

Entah bagaimana aku harus menjelaskan situasi ini padanya. Apalagi dengan kemunculan Petra yang tiba-tiba. Sampai kapan aku bisa menyembunyikan keberadaan Petra dari Bella. Sebaliknya juga Bella kepada Petra. Apalagi Petra telah berjanji akan datang lagi besok. Ah, apa yang harus aku lakukan. Perasaan panik itu membuatku stres sepanjang malam.

"Iya, Ma. Gak apa-apa kok. Tunggu sampai Mama dapat uang banyak ya. Tapi Ma, apa Bella juga tidak punya kakek dan nenek? Seperti Maria?" ucapnya. Kali ini aku tersedak mendengar pertanyaan itu. Buru-buru aku meminum air putih dalam gelas hingga tandas.

"Mama baik-baik saja?" Bella mengusap punggungku lembut. Wajah polosnya yang memandangku prihatin hampir saja menggulirkan air mataku.

"Mama baik-baik saja sayang." Aku menekan perasaanku agar bisa menguasai emosi.

"Mama keselek ya, Ma?" aku mengangguk sekenanya dan membuang wajah ke arah lain. Tidak ingin Bella melihat wajahku yang menahan rasa bersalah.

"Bentar ya sayang, Mama ke kamar mandi dulu." Aku bergegas masuk ke kamar mandi, membasahi wajahku dengan segayung air. Kutekan dadaku menahan sakit yang selama ini aku pendam. Aku yang selalu mencoba kuat dihadapannya. Sepertinya tidak mampu lagi bertahan. Hanya karena pertanyaan polosnya.

Aku segera keluar dari kamar mandi, agar Bella tidak mencurigaiku. Kuusap wajahku dengan tissu di atas meja.

Mama menangis ya?" lagi-lagi Bella bertanya dan menatapku dengan sorot bingung.

"Gak, nak. Tadi itu mata Mama kemasukan air saat cuci muka. Yuk, kita habiskan dulu makan malamnya." ucapku. Tapi jujur aku sudah tidak selera lagi menikmatinya dan kupaksakan agar Bella tidak curiga.

Setelah membereskan meja makan kami kembali ke ruang tengah. Bella menyusun buku sesuai roster pelajaran untuk besok. Sedang aku kembali melihat layar kaca yang masih menayangkan sinetron kesukaanku.

"Mama, minta tanda tangannya disini," Bella menyerahkan buku tugasnya untuk kutandatangani. Aku membubuhkan tanda tangan di buku PR nya. Saat akan mengembalikan buku itu, secaruk kertas terjatuh dari buku itu. Bella tidak menyadarinya. Kupungut kertas itu ternyata gambar entah hasil tangan Bella.

Coretan lukisan itu adalah tiga sosok yang saling bergandengan tangan. Sepasang suami istri dan anaknya.

"Eh, gambar Bella jatuh ya, Ma." Bella meminta kertas miliknya itu. Dia tersenyum malu karena aku telah melihat kertas itu.

"Siapa yang gambar ini, bagus kok," ucapku menatap Bella.

"Bella, Ma. Bu Guru menyuruh kami menggambar semalam."

"Oh, bagus sekali gambar kamu, Nak." kuserahkan kembali kertas itu.

"Makasih ya, Ma. Tapi sayang Bella sudah tidak punya papa lagi. Tapi Bella tetap menggambarnya, Ma. Seandainya papa masih hidup, papa pasti sayang sama Bella 'kan, Ma? Seperti Maria, papanya sangat sayang padanya. Setiap papanya pulang dari luar kota, ada aja hadiah yang diterimanya. Seperti tadi, dia dapat boneka dan baju baru, Ma. Dari papa dan neneknya."

Bagai disayat sembilu rasanya hati ini lalu disirami dengan garam. Perih! Hati ibu mana yang akan kuat mendengar kerinduan anaknya yang sangat mendambakan kasih sayang dari ayah dan neneknya.

Bella merindukan kasih sayang yang utuh dari ayah dan ibunya. Bagaimana aku harus menjelaskan padanya tentang ayah dan neneknya yang telah mengabaikan kami.

Haruskah aku menjejalkan cerita sedih itu padanya. Haruskan aku mengotori jiwa putihnya dengan kisah ibunya yang teraniaya. Ah, tidak! Bella tidak boleh tau kisah itu, setidaknya belum saatnya dia mengetahui itu.

Aku tidak ingin hati polosnya dijejali dengan pahitnya kehidupan ibunya di masa lalu. Jika nantinya dia mengetahuinya juga, harus kupastikan dia telah siap dengan semua itu. ***

Terpopuler

Comments

lindsey

lindsey

klo saya akan saya ceritain dari a - z semua kelakuan dan ucapan yang menyakiti dari papanya anak2. ga perlu ditutupi .

2024-03-11

2

Cidaha (Ig @Dwie.author)

Cidaha (Ig @Dwie.author)

Dilema. 😢😢😢

2024-03-06

1

Irma

Irma

semangat thor

2024-03-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!