Hai, jumpa kembali di cerita baru, Mak.
Yuk! Ikuti kisah Kayla
Happy reading!
Aku memutar anak kunci saat terdengar ada ketukan di pintu. Sejenak aku ragu untuk membuka pintu, siapa yang datang bertamu menjelang malam begini? Aku tidak ada janjian dengan seseorang. Karena penasaran akhirnya kubuka pintu untuk tamu itu.
Klik!
Sesosok tubuh berdiri dibalik pintu. Dengan seulas senyum merekah memperlihatkan deretan giginya yang putih, rapi.
Aku menatap seraut wajah dengan terpana! Kaget plus tak percaya! Ku kedipkan mataku berkali-kali meyakinkan diriku kalau aku telah salah penglihatan.
Namun, wajah itu tidak menghilang! Senyum itu malah makin lebar. Kucubit tanganku diam-diam kali aja aku memang tengah bermimpi. Terasa sakit. Aku tidak sedang bermimpi!
Lalu.
Hatiku, tiba-tiba seolah disiram dengan air asam. Perih! Hati yang luka oleh sikap lelaki di hadapanku ini beberapa tahun yang lalu. Ingatanku terhempas ke masa lalu. Menyingkap luka yang parutannya belum sembuh juga meski bertahun-tahun telah terlampaui.
“Mau apa kamu kemari?” ucapku lirih nyaris tak terdengar karena syok. Persendianku seolah dilolosi melihat wajah yang sepertinya tidak merasa bersalah itu, berdiri dengan angkuh. Atau tepatnya penuh percaya diri.
Setelah sepuluh tahun, buat apa dia datang kemari. Ingin melihat sehancur apa hidupku setelah kepergiannya? Huh! Tidak akan! Kamu tidak akan bisa melihat itu di wajahku, Petra! Dengus batinku penuh gejolak amarah. Darahku perlahan naik ke ubun-ubun, tapi pikiranku masih cukup waras untuk tidak terpicu emosi.
“Apa kabar Kayla? Boleh aku masuk?” Petra maju selangkah karena aku tidak mempersilahkannya masuk. Tubuhku berdiri tegang di bingkai pintu. Aku menahan nafas! Deru nafasku tersenggal menahan amarah.
Namun, aku berusaha mengontrol emosiku, jangan sampai meluap. Bila hal itu terjadi, akan menarik perhatian para tetanggaku.
“Katakan saja apa maumu.” Aku tak bergeming. Petra malah melangkah lagi, jika aku bertahan kulit kami akan bersentuhan. Spontan aku mundur satu langkah, tatap mataku menyorot tajam karena tak suka tindakan nekatnya.
Karena ada celah, Petra melangkah masuk dan duduk di sofa tanpa dipersilahkan. Sikap tidak sopannya itu membuatku muak. Karena memaksa masuk tanpa izinku.
Aku tetap berdiri di pintu. Berharap dia sadar kalau aku tidak suka menerima kedatangannya. Seperti sikapnya dulu yang terkadang tebal muka, kali ini masih juga dia perlihatkan di hadapanku. Tidak berubah sama sekali.
“Aku mau bicara padamu, Kayla. Duduklah, kita bicara baik-baik.” Ungkapnya santai tanpa beban. Menepuk sofa dan menyuruhku duduk di dekatnya.
Hatiku makin geram melihat sikap Petra yang menurutku tidak tahu diri. Sudahlah memaksa masuk rumahku, malah menyuruhku duduk di sisinya seolah kami adalah dua sahabat akrab. Padahal dia adalah mantan suamiku yang pergi meninggalkan aku dan anakku sepuluh tahun yang lalu. Ah, dia tidak pernah tahu keberadaan Bella. Dia juga tidak pernah melayangkan surat cerai.
Rasa percaya dirinya itu sungguh aku benci! Dan aku menganggapnya muka bebal.
Entah apa maksud kedatangannya. Mengingat kami yang telah berpisah sekian lama. Meski tidak ada secarik kertas pun yang menandai kalau kami telah berpisah. Tapi kepergiannya sepuluh tahun lalu sudah cukup menyatakan kalau kami bukan lagi sepasang suami istri. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Selama itu dia pergi meninggalkan aku, dan masih berani muncul hari ini dihadapanku. Sungguh tidak tahu malu.
Dia lelaki paling pengecut sedunia, dengan menggantung statusku. Disebut istri bukan, mantan istri juga bukan. Selama ini s tatusku itu tidak pernah aku pusingkan. Karena menurutku kepergiannya telah melegakan hidupku dari siksaan seorang suami. Aku merasa telah bercerai atau diceraikan.
Namun, siapa sangka dia datang kembali menjumpaiku, meskipun aku belum tau apa tujuannya datang ke rumah ini.
Dia pergi hanya meninggalkan secarik kertas di atas nakas kala itu. Dia pamit mau pulang ke rumah orang tuanya. Aku tidak perlu mencarinya atau menunggunya. Hingga aku mendengar khabar kalau dia telah menikah kembali. Setelah tiga bulan dia pergi.
“Tidak ada hal yang perlu kita bicarakan lagi. Bukankah sudah jelas kalau diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi.” Aku menohoknya dengan sindiran tajam.
“Tapi aku tidak pernah menceraikan kamu, Kayla.” Aku menatapnya nyalang atas ucapannya yang menggelikan itu.
“Lantas kemana saja kamu sepuluh tahun terakhir ini? Kamu sungguh naif!” Dengusku berang.
“Maafkan aku, tapi jujur aku tidak bisa melupakan kamu.” Hampir saja aku tergelak sepuasnya mendengar ucapan gila itu. Dia merindukan aku katanya, tapi dia datang setelah sepuluh tahun. Dasar bajingan! Spontan tanganku mengepal dan ingin menghajarnya.
“Oh, apakah sepuluh tahun ini kurang cukup bukti untuk menandaskan kalau kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Apakah kamu sebodoh itu sampai tidak bisa menarik benang merah diantara kita!” Hardikku dengan nafas tersenggal.
Petra menundukkan wajahnya, sepertinya kata-kataku berhasil melumpuhkan hatinya atau dia hanya sengaja diam agar amarahku tidak semakin meledak.
“Bicaralah, aku beri waktu lima menit.” Aku memberi ultimatum. Mengawasi gerak geriknya dengan siaga. Aku berharap Bella tidak pulang segera dari rumah temannya. Dia sedang ada tugas belajar dengan teman sekolahnya di rumah tetangga. Jarak lima rumah dari tempatku.
“Tapi ….” Petra tidak melanjutkan ucapannya.
“Atau tidak akan sama sekali. Pergilah!” Ucapku tegas. Aku tidak akan bisa distirnya lagi. Aku bukan lagi Kayla sepuluh tahun lalu, yang lemah dan penurut bahkan bodoh!
Aku sempat melihat sorot tak percaya di mata, Petra. Entah apa maknanya, atau bisa saja dia kaget melihat reaksiku.
“Apa khabarmu Kay?” ucapnya basa-basi.
“Seperti yang terlihat,” sahutku dingin.
“Tidak bisakah kita bicara baik-baik?” ucapnya karena aku masih berdiri di pintu.
“Lima menit mu sudah habis,” kataku mengingatkan. Entah hitunganku salah atau tidak. Aku asal menebak saja. Cara halusku mengingatkannya.
“Masih tiga menit,” sahutnya konyol. Ingin rasanya aku melempar anak kunci di tanganku ke arahnya. Bisa-bisanya dia sesantai itu menghadapi sikap dinginku.
“ Sekarang sudah pas. Pergilah! Aku tidak ingin tetanggaku mengira macam-macam karena menerima tamu lelaki di jam seperti ini.
“Tapi ini belum terlalu malam.”
“Ingat, kamu bukan siapa-siapaku. Kamu hanya kebetulan mantan suamiku. Semuanya sudah selesai diantara kita. Jangan berharap lebih dari itu.” Bentakku, membuka daun pintu lebar-lebar.
“Baiklah. Mungkin kedatanganku bukan waktu yang tepat. Besok siang aku datang lagi.” Petra bangkit dari sofa melangkah ke arahku. Saat di depanku dia menatapku dalam-dalam entah apa yang tersirat di hatinya jelas aku tidak tau dan tidak mau tau.
“Sebaiknya jangan datang lagi. Kita sudah tidak punya ikatan apa-apa lagi. Jangan seenakmu mau datang dan pergi.” Aku berucap tajam, tidak peduli apa reaksi Petra mendengar kata-kataku. Sungguh, aku tidak ingin dia tahu kehidupanku selama sepuluh tahun terakhir ini. ***
Petra menghentikan langkahnya tepat didepanku, saat aku berbicara. Menatapku dengan tajam dan dalam sedetik berubah sayu.
"Besok aku datang lagi. Banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu. Tolong jangan mengusirku lagi," ucapnya lirih. Membuat tubuhku menegang. Apa aku tidak salah dengar? Ah, peduli apa aku, hatiku sudah terlanjur mati oleh perbuatannya. Dia yang selalu mengabaikanku. Dia yang tidak pernah menganggapku sebagai istri. Baginya aku adalah orang lain yang kebetulan jadi istrinya. Itu yang pernah diucapkan dulu, yang mematahkan hatiku . Menghancurkannya hingga jadi serpihan.
Aku menatap punggung Petra, yang berjalan lesu dan menghilang di ujung gang. Kegelapan malam membuat pandanganku tidak fokus melihatnya berbelok ke arah mana.
Kututup kembali pintu rumah dan duduk diatas sofa. Menatap layar kaca yang menayangkan sebuah sinetron kesukaanku. Hanya mataku yang melihat layar kaca, sedang hati dan pikiranku melayang kemana- mana. Terus terang aku masih tidak percaya dengan kejadian tadi atas kemunculan Petra yang tiba- tiba di rumahku.
Padahal aku sudah pindah dari tempat lama. Dia dapat info darimana bisa tau keberadaanku saat ini. Jangan-jangan Petra tau kalau aku sudah punya anak. Apakah dia sengaja mencari keberadaanku? Apa yang membuatnya berubah pikiran setelah sekian lama tidak peduli padaku.
Ucapan salam dan ketukan di pintu, kembali membuatku kaget. Aku sempat terlonjak karena pikiranku fokus pada Petra. Aku buru-buru membuka pintu.
"Mama, tumben mengunci pintu?" tatap Bella keheranan.
"Tadi Mama di dapur sayang, ntar ada orang nyelonong masuk mama gak dengar," alihku. Bella hanya manggut dan melepas tas dari punggungnya. Kulihat wajahnya agak muram tidak seperti biasanya.
"Ada apa sayang. Ada pelajaran yang sulit ya?" ucapku.
"Gak Ma, Bella bisa kok jawabnya," ucapnya lesu.
"Trus, kenapa wajahnya muram begitu?" Kubingkai wajahnya dengan kedua telapak tanganku. Sorot mataku menelusuri wajahnya yang sangat mirip dengan, Petra.
"Gak pa-pa kok, Ma. Bella cuma lelah aja."
Aku tahu Bella hanya menghibur hatiku, agar tidak khawatir padanya. Percuma juga mengorek keterangan darinya secara paksa.
"Kita makan malam yuk, Mama udah masak ayam kesukaanmu." Alihku, mencoba mengurai suasana hatinya. Benar saja, wajah itu sekejap berubah ceria saat kusebut masakan kesukaannya.
Bella berlari mendahului langkahku menuju ruang makan, sekaligus dapur. Setelah berdoa lebih dulu Bella mencicipi ayam crispy dengan lahap.
"Masakan Mama the best!" Bella mengacungkan kedua jempol tangannya. Aku tersenyum melihat polahnya dan kami menikmati makan malam penuh hikmat.
"Ma, Papa Bella beneran dah meninggal ya? Kenapa kita gak pernah pergi ziarah, Ma?" celetuk Bella tiba-tiba membuatku kaget. Hampir saja nasi dimulutku tersembur saat mendengar pertanyaannya itu.
Selama ini Bella tidak pernah bertanya soal papanya. Dia selalu percaya kalau papanya telah meninggal. Baru kali ini dia menanyakan soal kuburan papanya.
"Tempatnya jauh nak, Mama tidak punya cukup uang kita pergi ke sana," ucapku setenang mungkin. Aku sadar Bella sudah mulai kritis, melihat lingkungannya. Dan hal-hal yang aku takutkan dulu akhirnya tiba juga.
Entah bagaimana aku harus menjelaskan situasi ini padanya. Apalagi dengan kemunculan Petra yang tiba-tiba. Sampai kapan aku bisa menyembunyikan keberadaan Petra dari Bella. Sebaliknya juga Bella kepada Petra. Apalagi Petra telah berjanji akan datang lagi besok. Ah, apa yang harus aku lakukan. Perasaan panik itu membuatku stres sepanjang malam.
"Iya, Ma. Gak apa-apa kok. Tunggu sampai Mama dapat uang banyak ya. Tapi Ma, apa Bella juga tidak punya kakek dan nenek? Seperti Maria?" ucapnya. Kali ini aku tersedak mendengar pertanyaan itu. Buru-buru aku meminum air putih dalam gelas hingga tandas.
"Mama baik-baik saja?" Bella mengusap punggungku lembut. Wajah polosnya yang memandangku prihatin hampir saja menggulirkan air mataku.
"Mama baik-baik saja sayang." Aku menekan perasaanku agar bisa menguasai emosi.
"Mama keselek ya, Ma?" aku mengangguk sekenanya dan membuang wajah ke arah lain. Tidak ingin Bella melihat wajahku yang menahan rasa bersalah.
"Bentar ya sayang, Mama ke kamar mandi dulu." Aku bergegas masuk ke kamar mandi, membasahi wajahku dengan segayung air. Kutekan dadaku menahan sakit yang selama ini aku pendam. Aku yang selalu mencoba kuat dihadapannya. Sepertinya tidak mampu lagi bertahan. Hanya karena pertanyaan polosnya.
Aku segera keluar dari kamar mandi, agar Bella tidak mencurigaiku. Kuusap wajahku dengan tissu di atas meja.
Mama menangis ya?" lagi-lagi Bella bertanya dan menatapku dengan sorot bingung.
"Gak, nak. Tadi itu mata Mama kemasukan air saat cuci muka. Yuk, kita habiskan dulu makan malamnya." ucapku. Tapi jujur aku sudah tidak selera lagi menikmatinya dan kupaksakan agar Bella tidak curiga.
Setelah membereskan meja makan kami kembali ke ruang tengah. Bella menyusun buku sesuai roster pelajaran untuk besok. Sedang aku kembali melihat layar kaca yang masih menayangkan sinetron kesukaanku.
"Mama, minta tanda tangannya disini," Bella menyerahkan buku tugasnya untuk kutandatangani. Aku membubuhkan tanda tangan di buku PR nya. Saat akan mengembalikan buku itu, secaruk kertas terjatuh dari buku itu. Bella tidak menyadarinya. Kupungut kertas itu ternyata gambar entah hasil tangan Bella.
Coretan lukisan itu adalah tiga sosok yang saling bergandengan tangan. Sepasang suami istri dan anaknya.
"Eh, gambar Bella jatuh ya, Ma." Bella meminta kertas miliknya itu. Dia tersenyum malu karena aku telah melihat kertas itu.
"Siapa yang gambar ini, bagus kok," ucapku menatap Bella.
"Bella, Ma. Bu Guru menyuruh kami menggambar semalam."
"Oh, bagus sekali gambar kamu, Nak." kuserahkan kembali kertas itu.
"Makasih ya, Ma. Tapi sayang Bella sudah tidak punya papa lagi. Tapi Bella tetap menggambarnya, Ma. Seandainya papa masih hidup, papa pasti sayang sama Bella 'kan, Ma? Seperti Maria, papanya sangat sayang padanya. Setiap papanya pulang dari luar kota, ada aja hadiah yang diterimanya. Seperti tadi, dia dapat boneka dan baju baru, Ma. Dari papa dan neneknya."
Bagai disayat sembilu rasanya hati ini lalu disirami dengan garam. Perih! Hati ibu mana yang akan kuat mendengar kerinduan anaknya yang sangat mendambakan kasih sayang dari ayah dan neneknya.
Bella merindukan kasih sayang yang utuh dari ayah dan ibunya. Bagaimana aku harus menjelaskan padanya tentang ayah dan neneknya yang telah mengabaikan kami.
Haruskah aku menjejalkan cerita sedih itu padanya. Haruskan aku mengotori jiwa putihnya dengan kisah ibunya yang teraniaya. Ah, tidak! Bella tidak boleh tau kisah itu, setidaknya belum saatnya dia mengetahui itu.
Aku tidak ingin hati polosnya dijejali dengan pahitnya kehidupan ibunya di masa lalu. Jika nantinya dia mengetahuinya juga, harus kupastikan dia telah siap dengan semua itu. ***
Aku memarkir sepeda motor di halaman setelah menjemput Bella pulang sekolah. Bella berlari ke arah pintu hendak membukanya. Kuraih tas ransel Bella dan menyusul langkahnya.
Kakiku terhenti melangkah ketika tiba-tiba mendengar sapaan dari balik pintu pagar. Bukan hanya aku yang kaget, Bella juga. Anak kunci sampai terlepas dari tangannya. Ditatapnya tamu yang berdiri di ambang pintu pagar. Lalu menatapku juga saling bergantian.
Tubuhku menegang setelah menyadari siapa tamu yang datang. Darahku menggelegak atas kenekatan Petra datang lagi kerumah ini.
Hal yang aku takutkan itu terjadi juga. Petra telah melihat Bella. Kulihat langkahnya tertegun dan pandangan matanya nanar kearah Bella. Apakah dia menyadari sesuatu saat melihat Bella?
"El, kamu masuk dulu ya nak, ganti seragam cuci tangan dan kaki. Tunggu Mama di dalam kamar. Oke." bisikku lirih lantas membuka pintu rumah. Mendorong halus tubuh Bella karena aku melihatnya seolah kebingungan melihat tamu yang datang.
"Siapa dia, Ma?" bisik Bella tak kalah lirih.
"Bukan siapa-siapa. Mama mau bicara dulu ya." Bella masuk kedalam rumah. Setelah memastikan kalau Bella telah masuk ke kamarnya kudekati Petra yang masih berdiri dipintu pagar.
"Mau apa lagi datang kemari, Petra. Bukankah aku sudah bilang jangan pernah datang lagi."
"Siapa dia, Kay. Apakah kamu telah menikah lagi dan itu putrimu?" ucapnya mengabaikan perkataanku.
"Kamu tidak perlu tau siapa dia. Tidak ada hubungannya dengan kamu. Benar, aku telah menikah lagi. Kamu pikir aku akan sebodoh itu menunggumu. Pergilah! Jangan ganggu kehidupanku lagi!" Aku berbalik meninggalkan Petra di halaman.
"Tapi bukan seperti itu cerita yang aku dengar, Kay!" Aku berbalik dan menatap Petra tajam. Jadi benar dia telah menyelidiki tentang aku sebelumnya.
"Apapun yang kau dengar di luar sana, tidak ada sama sekali hubungannya dengan kamu. Ingat, kita sudah terpisah selama sepuluh tahun, meski tidak ada surat cerai tapi rentang waktu itu sudah cukup menandaskan kalau kita bukan lagi suami istri!" ucapku tajam. Pandanganku menguliti wajah Petra, rasa sakit yang dia torehkan sepuluh tahun lalu terpampang kembali di pupil mataku. Seperti slide film terputar tanpa bisa aku cegah.
"Jadi ini sebabnya kamu pergi tanpa pamit, Bang. Kamu menikah lagi diam-diam tanpa seizinku!" ucapku perih setelah aku mendengar khabar kalau Petra suamiku berada di kampung halamannya dan telah menikah lagi
Aku sengaja datang untuk membuktikan berita itu. Dan benar, aku memergoki Petra dan istri barunya tengah bermesraan di rumah.
"Kayla, ngapain kamu disini!" serunya kaget. Menjauhkan dirinya dari perempuan yang menggelendot manja dilengannya. Hatiku seperti di iris melihat kemesraan mereka.
"Kenapa? Aku tidak berhak ya. Bukankah kamu masih suami aku, Bang. Dan rumah ini masih rumah mertua aku. Siapa perempuan jalang itu!" Aku melangkah maju dan menarik perempuan itu dari sisi Petra. Wajahnya pucat pasi melihat kemarahanku.
"Cukup Kayla, dia Wulan istriku." ucap Petra salah tingkah.
"Apa Bang? Istri katamu! Lantas aku ini siapa! Teganya kamu menikah tanpa seizinku!" teriakku lantang sehingga menarik perhatian para tetangga.
"Pelankan suaramu, Kay, jangan membuat malu disini."
"Yang berbuat malu itu siapa, Bang. Apa salahku sampai abang tega lakukan ini padaku." Isakku lirih. Tiga bulan aku mencari keberadaannya, tapi sia-sia. Semua temannya aku tanya tidak ada satupun yang bisa memberiku jawaban yang pasti.
Petra pergi dari rumah hanya meninggalkan secarik kertas agar aku tidak mencari atau menunggunya. Tanpa pernah memberiku alasan kenapa dia lakukan semua itu.
Hingga akhirnya aku mendengar khabar kalau dia pulang ke kampung halamannya. Padahal aku sudah menghubungi keluarga mertuaku perihal suamiku yang menghilang. Tapi respon mereka dingin malah terkesan tidak peduli. Tak tahunya mereka menyembunyikan keberadaan suamiku.
"Bang jawab, kenapa kamu tega lakukan semua ini." Kuguncang tubuh suamiku, tapi dia tetap diam tak bergeming. Sementara, Wulan tetap memegangi lengan Petra.
"Cukup Kay! Harusnya kamu sadar diri, kalau kamu bukan seorang istri yang sempurna. Itulah sebabnya Petra menikah lagi." sebuah suara terdengar menengahi, aku berbalik arah. Ternyata dia ibu mertuaku.
"Maksud ibu apa?" ucapku bingung dengan perkataan ibu mertua yang menyebutku istri tak sempurna. Apakah karena aku belum bisa melahirkan seorang anak. Tiga tahun pernikahan kami, dan aku mengalami keguguran di tahun pertama. Apakah itu sudah cukup sebagai bukti untuk memvonisku sebagai istri tak sempurna.
Aku mengalami keguguran karena terpleset di kamar mandi. Atas kelalaian adik iparku yang tidak menyiram kamar mandi seusai mencuci pakaian. Dan membiarkan sabun deterjen tercecer di kamar mandi. Aku yang tidak tau apa- apa saat masuk kamar mandi langsung terpleset.
Kandunganku yang masih berusia tiga bulan terpaksa dikuret. Kejadian itu membuatku trauma, dan mengajak suamiku untuk pindah. Dua tahun setelah kejadian itu, aku memang belum hamil juga.
"Sampai sekarang kamu belum juga hamil. Sampai kapan kami menunggu, agar kamu bisa memberikan seorang cucu di keluarga ini." cibir ibu mertuaku tanpa perasaan.
"Aku tidak mandul, Bu. Hanya saja kami belum diberi kepercayaan oleh Tuhan."
"Sampai kapan kami menunggu? Sampai kami tua begitu! Petra satu-satunya anak lelaki di rumah ini. Kami butuh penerus marga, Kay!" hardik ibu mertuaku tanpa belas kasihan.
"A-apakah perempuan itu bisa menjamin akan memberi seorang cucu yang ibu rindukan, dengan menyakiti perasaan aku, Bu?" isakku pedih.
"Sudah pasti karena Wulan masih muda dan sehat. Tidak seperti kamu sikit-sikit sakit tak jelas." cebik ibu mertua angkuh.
"Ceraikan aku, Bang! Aku tidak sudi dimadu." seruku lantang.
"Tidak Kay, abang masih mencintaimu."
"Fuih! Persetan dengan cintamu. Toh kamu telah berz**ah karena pernikahanmu ini tidak sah tanpa izinku. Aku tunggu surat cerai itu." Aku langsung berbalik dan meninggalkan rumah mertua dengan hati yang hancur berkeping.
Satu bulan dua bulan aku menunggu tapi surat itu tidak pernah berada ditanganku. Saat itu aku harus menata kembali hidupku. Aku harus kuat dan bertahan. Terlebih setelah aku tau kalau ternyata dirahimku ada mahkluk kecil yang tidak aku sadari kehadirannya.
Aku jatuh sakit sepulang dari kampung mertua. Kupikir karena masuk aku mual dan muntah terus . Karena saat itu kondisi tubuhku terguncang karena pernikahan suamiku.
Ketika Dokter yang memeriksaku menyatakan kalau aku positif hamil dan sudah masuk delapan minggu. Aku tidak tau harus bagaimana saat itu mendengar khabar itu. Seharusnya itu menjadi khabar suka cita bagiku.
Aku tidak pernah memberitahukan kehamilanku itu. Luka hatiku tidak bisa ditawar. Akhirnya aku menjual rumah peninggalan orang tuaku. Aku pindah sejauh mungkin, ke tempat yang tidak akan bisa ditemukan Petra. ***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!